Menulis memang tidak dapat dianggap terlalu mudah. Selain karena menulis termasuk kegiatan yang kompleks dari segi teknis, seorang penulis juga memiliki tanggung jawab moral.
Sore tadi, ada seorang perempuan yang ngajak diskusi tentang dunia kepenulisan di gubuk saya. Kebetulan dia sedang menulis perjalanan cintanya bersama almarhum suaminya. Kisah yang amat menyentuh dan heroik.
Banyak kisah inspiratif yang dia tulis. Mulai dari masa perkenalan hingga sang suami meninggal. Semua suka dan duka yang dialami ditulis secara terperinci.
Diskusi kami mengalir lancar. Hingga sampai pada satu topik penting tentang tanggung jawab moral. Yakni, menulis bukan sekadar menyampaikan ide, pengalaman, atau imajinasi semata.
Sebelum dipublikasikan, penulis juga harus mempertimbangkan dampak tulisannya. Misalnya, tulisan perjalanan cinta yang dialami perempuan tadi.
Kami diskusikan apakah setiap kisah cinta yang dialami harus ditulis secara vulgar? Apakah tidak perlu dipertimbangkan dampak terhadap anak atau pembaca?
Sebagai umat muslim, kami meyakini adanya amal jariyah. Jangan sampai kisah-kisah negatif kami ditulis secara vulgar, kemudian menjadi jariyah keburukan yang akan kami bawa hingga akhirat.
Perilaku-perilaku yang dilarang agama harus benar-benar disaring. Jangan sampai anak-anak kami atau pembaca mencontoh perilaku negatif kami.
Kalaupun ada perilaku negatif dalam kisah perjalanan hidup kami, upayakan itu disampaikan secara lebih samar atau bahkan dihilangkan saja. Bukan berarti kami sok suci, akan tetapi kami harus menjaga agar keburukan kami tidak berlanjut. Biarkan keburukan kami dibawa mati sementara kebaikan semoga terus mengalir menjadi amal jariyah.
Kami juga tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Siapa tahu satu saat ada yang mengidolakan kami. Lantas mereka membaca keburukan kami. Lalu mereka melakukan keburukan dengan alasan kami pernah melakukan juga. Sungguh celaka kami.