Densus 88 kembali mencium keberadaan teroris di Indonesia. Ini berarti teroris di Indonesia masih hidup. Belum berhasil dibasmi secara tuntas. Meskipun Densus 88 telah menangkap banyak teroris, namun bila akarnya belum dibasmi tentu akan terus tumbuh lagi.
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat mewawancarai dua mantan teroris. Mereka adalah bapak dan anaknya. Bapaknya adalah mantan ketua MMI provinsi. Saya dikawal tiga orang intel.Â
Dari wawancara tersebut, mereka bercerita bagaimana paham teroris bisa merasuki dirinya. Ada beberapa tahap yang mereka lakukan sehingga pemahaman itu menancap kuat.
Mengaji tanpa Tahu Track Record Gurunya
Mantan teroris itu bercerita bahwa pada mulanya mereka hanya ingin menimba ilmu agama. Mereka ikut mengaji bersama di rumah temannya. Namun, mereka tidak mengetahui track record gurunya. Dengan pemahaman agama yang masih sedikit, mereka menganggap apa pun yang disampaikan gurunya pastilah benar.
Perlahan-lahan, mereka merasa punya banyak dosa sehingga harus membersihkan diri. Mereka pun semakin rajin beribadah. Salat wajib dan sunah dijaga. Puasa juga dijalankan.
Merasa Lebih Suci dan Benar
Sayangnya, ibadah yang dilakukan ternyata berubah haluan. Tidak lagi ikhlas. Justru lama-kelamaan, akibat terus diasupi pemahaman yang "bengkok", mereka menjadi merasa lebih suci dari lingkungan sekitarnya. Mereka mulai menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Proses itu terus berjalan hingga akhirnya menganggap orang-orang yang tidak sepemahaman dengan kelompoknya dianggap sebagai orang jahiliyah dan sesat. Mereka menganggap orang di luar kelompoknya sebagai orang-orang yang selalu berada dalam kemaksiatan.
Kacamata Kuda
Secara bertahap, mereka dilarang membaca buku atau kitab selain yang telah direferensikan oleh guru atau pemimpinnya. Bahkan seiring perjalanan waktu, mereka dilarang ikut kajian atau diskusi dengan orang di luar kelompoknya.Â