Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Temukan Isi Dapurmu, Ketahuilah Kasih Sayang Ibumu

5 April 2015   23:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 2 April 2015, tanpa ada perencanaan yang matang, saya pulang kampung. Sebenarnya rasa rindu kepada ibu sudah sangat dalam setelah tiga bulan tidak pulang sama sekali, sejak liburan semester tiga. Namun, karena beberapa pertimbangan, saya terpaksa tidak pulang kampung. Salah satunya, saya berpikir, daripada ongkos pulang pergi sebesar lebih kurang 100 ribu itu diberikan kepada bis, lebih baik saya berikan kepada ibu. Akan tetapi, pertimbangan itu berubah ketika kerinduan sudah membakar.

Saya sengaja tidak memberitahu jauh-jauh hari kepada ibu bahwa saya akan pulang kampung pada saat itu. Sedikitnya, ada dua alasan utama mengapa terkadang saya harus pulang dadakan tanpa memberitahu ibu jauh-jauh hari. Satu alasan pernah saya kisahkan kepada adik-adik angkatan saat saya menjadi pembicara dalam pelatihan jurnalistik di jurusan saya, pendidikan ekonomi.

Alasan pertama, kondisi keuangan yang tidak stabil. Sejak meninggalnya bapak, saya harus bertarung sendiri, mengatur semua sirkulasi keuangan keluarga, baik untuk keberlanjutan pendidikan saya di Surabaya maupun untuk keluarga. Bagaimanapun, saya harus bersyukur karena saya mendapat beasiswa bidikmisi yang cair setiap bulan. Meskipun secara hitung-hitungan, uang beasiswa tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri apalagi masih untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga di Madura.

Tapi, saya ingat apa yang dikatakan oleh Mas Eko Prasetyo dalam tulisannya yang dimuat di majalah Nurul Falah. Ia mengatakan dengan tegas bahwa mungkin saja pendapatan seseorang itu tetap, akan tetapi rezeki seseorang itu tidak ada yang tahu. Mungkin saja gaji seorang PNS itu tetap jumlahnya tiap bulan akan tetapi rezeki yang “datangnya dari arah yang tak disangka-sangka” (al-ayah) itu tak ada yang tahu.

Begitu juga terhadap apa yang saya rasakan. Rezeki adalah sesuatu yang ajaib adanya. Ia datang sesuai kebutuhan bukan sesuai dengan keinginan. Barangkali, hal ini juga untuk menguatkan firman Allah yang kurang lebih bermakna, “Allah tidak menciptakan dengan sia-sia.” Semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi pastilah bermanfaat. Hanya saja, karena buruk sangka yang selalu tumbuh dalam hati manusia, terkadang sulit menemukan manfaat tersebut terhadap beberapa ciptaan Allah.

Bila mau bermain logika sederhana saja, uang yang cair setiap bulan dari beasiswa bidikmisi sebesar 600 ribu tidaklah cukup untuk memenuhi segala kebutuhan di Surabaya yang notebene serba mahal. Sekali makan tanpa minum sudah harus membayar 6.500 – 7.000 rupiah. Bila ditambah dengan minum bisa mencapai 10.000 rupiah dalam sekali makan. Jika dalam satu hari makan dua kali berarti sudah menghabiskan uang sebesar 600 ribu rupiah atau setara dengan pendapatan beasiswa.

Lantas dari mana saya harus mencari pendapatan untuk memenuhi tugas kuliah dan yang tak kalah pentingnya juga untuk membantu kebutuhan keluarga? Di situlah saya merasakan keajaiban Allah SWT dalam memberikan rezeki. Allah tetap memberikan rezeki tanpa pernah saya perhitungkan sebelumnya. Allah memberikan anugerah kelebihan (di samping kekurangannya) kepada saya sebagai bagian dari sumber rezeki. Beberapa teman merasa perlu meminta pertimbangan saya saat mau mengambil keputusan terkait Ormawa. Dan setiap pengambilan keputusan biasanya saya diajak ke warung kopi. Di sana kami berdiskusi sambil makan dan saya ditanggung, meski kadang saya juga harus menanggung.

Ah, saya jadi ingat budaya yang ada di Australia. Dulu, saya pernah membaca Kangguru Magazine. Meski belepotan mengartikan bahasa Inggris tapi saya masih bisa menangkap makna tulisan yang ada di sana. Katanya, kebudayaan dalam sistem traktir-mentraktir, antara Indonesia dan Australia berbeda. Jika di Australia, kalau seseorang mengajak orang lain makan, maka yang membayar/mentraktir nantinya adalah orang yang diajak. Tapi, kalau di Indonesia, yang mentraktir adalah yang mengajak.

Selain itu, teman-teman kadang juga merasa perlu kepada saya saat melakukan diskusi. Barangkali ini keuntungan bagi saya karena saya telah lebih dulu membaca buku atau berita. Sehingga, pemikiran teman-teman yang masih berupa asumsi-asumsi dapat saya bantu menemukan data atau teori penguatnya. Setidaknya, ini akan sangat bermanfaat bagi saya dan teman-teman saya. Kami bisa saling berbagi pengetahuan dan pemikiran.

Alasan kedua, kenapa kadang saya perlu pulang kampung tanpa memberitahu keluarga, adalah untuk mengetahui betapa hidup orang tua yang sebenarnya lebih susah daripada hidup anaknya. Alasan ini pernah saya ceritakan di depan adik-adik angkatan dengan maksud agar mereka memiliki semangat baja dalam mencari ilmu. Agar mereka tahu betapa besarnya harapan orang tua terhadap anaknya.

“Cobalah pulang kampung tanpa memberitahu orang tua terlebih dahulu. Ketika tiba di rumah, ciumlah tangan orang tuamu dan datanglah ke dapurmu. Apa yang akan kamu temukan di sana adalah sebagai bagian dari tanda bahwa orang tuamu sangat mencintaimu. Coba perhatikan apakah di dapurmu ada makanan yang enak, seenak yang kamu makan di Surabaya? Tentu hal itu tidak akan kamu temukan jika kamu memberitahu terlebih dahulu. Sebab orang tuamu akan menyiapkan sambutan yang indah untuk anaknya yang tersayang.” Demikian yang pernah saya katakan.

Barangkali alasan seperti ini tidak selalu benar adanya. Mungkin kebetulan saja jika saat anaknya pulang semua makanan sudah habis. Atau, mungkin saja sejak anaknya menuntut ilmu ke tempat jauh, orang tua lebih suka membeli daripada masak sendiri sehingga tak ditemukan makanan di dapur. Meski di lain kesempatan, ada kemungkinan juga, jika tidak ditemukan makanan di dapur berarti sebenarnya orang tua sedang dalam kesulitan ekonomi hanya saja tidak pernah diceritakan kepada anaknya. Semoga bermanfaat!

Sumenep, 3 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun