NEGERIKU: SARANG TIKUS YANG PALING EFEKTIF!
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kelebihan luar biasa yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Daerah geografis yang strategis serta kekayaan alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke merupakan bukti nyata keistimewaan Indonesia. Selain itu, tanah subur yang dijuluki tanah surga menjadikan Indonesia berpotensi sekali sebagai negara agraris yang produktif. Kalau boleh kita kembali mengingat sejarah penjajahan maka kita tahu bahwa salah satu alasan kenapa bangsa berkulit putih menjajah Indonesia adalah karena hasil bumi Indonesia yang tidak dimiliki di negaranya. Dalam salah satu lagu yang bejudul Kolam Susu itu sangat memberikan gambaran bagaimana keistimewaan negara Indonesia.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang Indonesia sudah berhasil menikmati kedaulatannya sebagai negara yang bebas dari intervensi negara lain. Tanah surga itu sudah benar-benar dinikmati oleh bangsa Indonesia sebagai pemilik yang sah. 68 tahun sudah Indonesia keluar dari kegelapan penjajahan.
Seiring dengan perkembangannya negara Indonesia tidak saja produktif menjadi negara agraris.Tapi juga menjadi negara produktif dalam melahirkan tikus-tikus berdasi yang mampu bersaing di dunia internasional. Zaman Orde Baru merupakan bibit unggul yang memberikan hasil luar biasa hingga saat ini. Soeharto adalah bapak koruptor terbesar dalam sejarah. Beliau mampu mengkorup sebesar 15-35 dollar Amerika. Kalau boleh meminjam kata-kata Gus Dur, Soeharto itu selain banyak amalnya ke negara ini karena beliau merupakan TNI dan presiden juga banyak dosanya.
Terlepas dari sejarah kelam Orde Baru, hingga saat ini negara Indonesia masih memiliki prestasi yang besar di dunia internasional. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh para pejabat-pejabat tinggi negara. Akan tetapi telah merembet ke tingkat paling kecil dari sebuah kekuasaan. Menurut Kemendagri koruptor di Indonesia secara keseluruhan berjumlah 1.500-an. Sedangkan menurut data yang dilansir oleh ACC pelaku korupsi terbanyak dilakukan oleh swasta. Dan kebanyakan pelaku koruptor adalah PNS. Yang luar biasa lagi, pelaku korup itu tidak hanya dilakukan oleh para kaum tua akan tetapi telah meregenerasi ke kaum muda. Koruptor yang berlatar belakang PNS itu menyoritas berumur lebih kurang 28 tahun.
Melihat potensi negara Indonesia dalam melahirkan koruptor atau yang lebih dikenal dengan sebutan tikus-tikus berdasi itu membuat kita sebagai bangsa Indonesia merasa miris. Fakta nyata sejak tahun 2004-2013 grafik pelaku korupsi terus meningkat. Dan jumlahnya sudah mencapai 391 orang koruptor dari semua instansi dan dari berbagai tingkat jabatan. Oleh karena itu, perlu sekali diadakan berbagai alternatif untuk memberantas tikus-tikus tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu media yang dinilai efektif dalam menangani koruptor. Meskipun demikian adanya KPK tidaklah mampu menurunkan jumlah koruptor. Pada tahun 2004 jumlah koruptor yang sudah terbukti adalah 4 orang. Kemudian selanjutnya ada peningkatan hingga pada tahun 2013 jumlah koruptor yang terbukti menjadi 53 koruptor.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kenapa negara indonesia menjadi ladang efektif bagi perkembangbiakan tikus berdasi. Kemudian dari hal-hal tersebutlah kita perlu memperbaiki sehingga menghambat atau bahkan mematikan pertumbuhan tikus-tikus tersebut. Beberapa hal itu adalah:
“Asal Bapak Senang” Masih Melekat dalam Masyarakat
Istilah “asal bapak senang” (ABS) merupakan istilah yang sudah ada sejak Orde Baru. Istilah ini ditanam pada masa Soeharto agar tidak ada perlawanan terhadap apa yang dikatakan atau keputusan pemerintah. Istilah ini membentuk pola pikir yang kuat dalam masyarakat. Masyarakat akan melakukan apa saja termasuk yang melanggar aturan dengan orientasi kesenangan bapak. Ironisnya, kesenangan bapak lebih cenderung pada materialistis. Sehingga demi kesenangan bapak tersebut anak melupakan hal-hal mendasar (moral).
Bagaimana praktek tersebut sekarang berlaku? Praktek ABS sekarang ditanamkan pada anak sejak dini oleh bapak dalam lingkungan keluarga. Misalnya anak harus melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya demi menyenangkan atau menyelamatkan bapak atau siapa saja dalam keluarga. Dengan kata lain anak diajari berbohong. Yang paling sering dijadikan contoh oleh para da’i dalam hal ini adalah anak disuruh bilang “tidak ada” meskipun sebenarnya ada ketika ada orang yang tidak disukai kehadirannya bertanya “bapakmu ada?”
Kebiasaan buruk yang dianggap sepele yang ditanamkan pada anak kecil secara berulang-ulang ini mengakibatkan pembentukan karakter yang buruk pada anak tersebut. Sebagaimana kita ketahui kondisi psikologis anak-anak yang masih rentan dan mudah mengikuti orang lain menyebabkan anak-anak mudah terpengaruh. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian lebih terhadap anak-anak agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal buruk yang akan menyebabkan pembentukan karakter buruk pada anak tersebut. Sterilisasi lingkungan demi pembentukan karakter bagi anak merupakan hal yang sangat signifikan.
Pendidikan Mencari Nilai (Mark)
Pada prinsipnya tujuan dari pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, untuk mengeluarkan manusia dari kungkungan kebodohan dan untuk mencerahkan perjalanan kehidupan manusia. Dan pendidikan ini juga merupakan salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke empat.
Dari inti tujuan pendidikan tersebut kita bisa menarik satu pemikiran bahwa sebenarnya eksistensi dari pendidikan itu lebih menyentuh dasar kemanusiaan, yakni jiwa, karakter, dan pola pikir manusia. Pendidikan membentuk ketiga komponen dasar kemanusiaan tersebut sehingga melahirkan perilaku (attitude) yang luhur. Meminjam istilahnya Prof. DR. Quraish Shihab, “gelas yang berisi susu tidak akan menumpahkan kopi”. Jadi ketika pendidikan itu sudah mampu membentuk komponen-komponen dasar kemanusiaan dan berhasil membentuknya menjadi kombinasi yang sempurna maka secara otomatis manusia tersebut akan berperilaku sempurna pula.
Namun demikian, proses transformasi pendidikan yang sempurna tersebut tidak selalu tercapai bahkan sering kali gagal. Kegagalan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal misalnya lingkungan atau stakeholder pendidikan itu sendiri. Kegagalan yang paling jelas yang berhubungan dengan pembahasan kita kali ini adalah karena mindset masyarakat dan para siswa-siswi yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Mindset yang lebih cenderung pada nilai yang bersifat materi (mark) lebih besar dari pada nilai yang bersifat kepribadian (value). Ini terbukti dari orientasi sekolah untuk mendapatkan ijazah, nilai yang bagus di raport, atau lagi-lagi demi menyenangkan orang tua daripada pembentukan pribadi yang sempurna.
Kesalahan mindset ini menyebabkan kegersangan jiwa peserta didik. Karena apa yang seharusnya menjadi orientasi pendidikan tidak tersentuh sama sekali. Pendidikan hanya lebih fokus pada hal-hal yang bersifat mark dari pada value. Kegagalan ini kemudian membentuk kepribadian yang kurang baik. Di mana kepribadian ini menjadi cikal bakal bagi diri seseorang untuk melakukan hal-hal yang lebih amoral pada saat berada pada sebuah kekuasaan. Kalau generasi sudah mengalami kegersangan maka dapat diprediksi masa depan bangsa akan semakin rusak.
Peraturan yang Kontradiktif
Dalam TAP MPR RI No. VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa:”melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya”.
Kalau melihat bunyi TAP MPR RI di atas maka seyogyanya ada efek jera bagi para koruptor untuk melakukan tindakan korupsi. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Data yang diberikan oleh KPK selalu menunjukkan adanya peningkatan jumlah koruptor. Barangkali hal ini juga disebabkan karena belas kasihan negara terhadap tikus-tikus berdasi itu sehingga dalam TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pasal 4 menyatakan:”upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.
Kalau kita mau berfikir lebih ekstrem maka kita akan bertanya maksud dari kata “praduga tak bersalah” itu. Apakah masih pantas prinsip itu digunakan ketika sudah ditemukan sekitar 2.000 lembar bukti bahwa Soeharto terjerat korupsi? Dan apakah benar hukuman yang tegas serta berat itu sudah dilakukan ketika koruptor ditaruh dipenjara yang berfasilitas super lengkap? Kenapa pencuri ayam disiksa di penjara sampai berdarah sedangkan koruptor disiksa dengan springbed dan kulkas? Apakah hanya dengan alasan psikologis sehingga koruptor diberi tempat yang nyaman?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin terlalu apatis ketika dilontarkan. Akan tetapi kenyataan hukum yang cenderung tidak adil menyebabkan koruptor masih mampu tersenyum dan melambaikan tangan tanpa merasa bersalah ketika diringkus oleh polisi. Tindakan koruptor ini menunjukkan tidak adanya efek jera dan kegersangan jiwa. Bukanlah maksud menvonis buruk penegak hukum, hanya saja melihat fakta nyata yang sudah semakin tragis.
Penegakan Hukum Kurang Serius
Selain adanya kontradiktif pada hukum itu sendiri juga terjadi ketimpangan pada penegakan hukum. Penegakan hukum yang masih kurang serius seringkali terjadi. Semacam ada indikasi pandang bulu merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Kalau kita ingat bagaimana kasus Bank Century maka kita akan tahu bagaimana kasus itu seperti kasus musiman ditayangkan di media. Tiba-tiba kasus itu muncul yang menyebabkan semua media meliputnya kemudian secara tiba-tiba raib. Dan sekarang lagi-lagi kasus itu muncul memenuhi setiap media. Ini menunjukkan adanya indikasi tidak serius dalam menegakkan hukum sehingga tidak tuntas dalam mengusut sebuah permasalahan.
Desentegrasi Nilai Pancasila dalam Kehidupan
Ini merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Dengan melihat kondisi Indonesia yang semakin amoral ini membuat timbul tanda tanya.
Akhirnya, dengan mengkaji beberapa hal yang menjadi penyebab tingkat perkembangan koruptor yang semakin besar maka perlu diadakan evaluasi dan perbaikan terhadap hal-hal tersebut. Penanaman pendidikan budi pekerti yang luhur dan pembentukan karakter yang baik bagi anak-anak sejak dini merupakan salah satu usaha nyata sebagai investasi masa depan bangsa yang lebih baik. Karena bagaimanapun masa depan bangsa ini akan sangat ditentukan oleh generasi bangsa ini. Selain itu, perbaikan undang-undang dan penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan merupakan hal yang tidak boleh terlupakan. Singkatnya, perlu ada dukungan dari semua aspek dalam membrantas perkembangan tikus-tikus berdasi ini. Baik mulai dari masyarakat bawah hingga para aparatur pemerintah harus bersinergi dalam membersihkan negara ini dari koruptor sehingga negara ini benar-benar menjadi tanah surga. Waallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H