Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Wisuda Unesa: Refleksi Puisi Sitor Sitomorang

29 Maret 2015   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelaksanaan wisuda ke-82 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengalami pengunduran dari jadwal sebelumnya. Mulanya dijadwalkan pada 7 Maret 2015 namun karena beberapa hal, pelaksanaan wisuda tersebut diundur hingga Minggu, 29 Maret 2015. Pengunduran jadwal pelaksanaan tersebut sebenarnya tidak mengurangi kehikmatan acara wisuda. Sama sekali. Namun, ada hal unik yang cukup mengelitik dalam pikiran saya saat mengikuti pelaksanaan wisuda tersebut. Saya menyebutnya: refleksi puisi Sitor Sitomorang.

Acara seremonial wisuda dilaksanakan di gedung DBL jalan A. Yani 88 Surabaya. Tepatnya, di lantai dua. Sementara di lantai satu ditempati stand Humas, bagian konsumsi, dan keluarga wisudawan yang tidak berhak masuk ke ruang wisuda (sebab undangan hanya khusus untuk dua orang tua mahasiswa). Untuk keluarga mahasiswa yang tidak boleh masuk tersebut, disediakan dua buah TV dengan ukuran yang cukup besar dan sejumlah kursi tentunya. Mereka bisa melihat aktivitas wisuda melalui kedua TV tersebut.

Sekitar seratus orang yang mendapatkan kursi dapat menikmati tayangan TV dengan seksama. Mereka dapat melihat bagaimana prosesi wisuda melalui layar TV yang disediakan. Sedangkan anak-anak kecil yang sengaja dibiarkan bermain, berlarian di tengah-tengah halaman lantai satu tersebut dengan cukup leluasa. Sebagian keluarga mahasiswa yang tidak mendapat kursi dan juga tidak bisa melihat tayangan TV tersebut duduk di lesehan. Aktivitas mereka yang duduk di lesehan inilah yang kemudian mengelitik pikiran saya.

Yang duduk di lesehan tak lagi pandang buluh. Meskipun pakaian mereka (mungkin) sudah disiapkan sebaik-baiknya, namun karena kondisi yang memaksa, ada yang duduk melingkar, ada pula yang tidur tanpa alas di lantai. Kalau-kalau ada perempuan yang mau berdiri karena (mungkin) gengsi untuk duduk di lantai sebab pakaiannya yang masih bagus.

Sebagian di antara mereka masih pemuda dan anak-anak, tapi sebagian lagi sudah paruh baya. Untuk yang anak-anak, mereka dapat bermain sambil jumpalitan. Bagi pemuda-pemuda, seperti biasa, mereka dapat membentuk lingkaran dan bercengkrama ke sana-kemari. Mereka seolah-olah tak peduli terhadap kondisinya yang memaksanya duduk di lesehan. Barangkali, sebagaimana pada umumnya, mereka sudah terbiasa cangkrukan di warung kopi sehingga hal-hal seperti itu dapat dianggap biasa.

Akan tetapi, kondisinya sangat berbeda ketika yang saya lihat adalah ibu-ibu yang sudah memakai kosmetik lengkap. Harapannya, mereka bisa melihat keponakan, cucu, atau entah apanya yang sedang diwisuda. Dari desa mereka sudah menyiapkan diri dengan penampilan yang dianggap sudah maksimal demi mendampingi wisudawannya. Namun, apa boleh buat, mereka harus duduk di lesehan tanpa alas karena tidak mendapatkan kursi. Bahkan mereka pun tidak bisa melihat tayangan di TV seperti yang lain.

Di antara mereka ada yang sambil memangku anak kecil. Mereka duduk bersandar ke dinding dengan penampilan wajah yang tampaknya sedang melayang. Beberapa orang bahkan memilih untuk merebahkan tubuhnya (tidur) di samping pintu. Tentu saja mereka juga tanpa alas sama sekali. Tubuh mereka dapat merasakan dinginnya lantai dan belaian angin.

Memang kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Unesa. Di perguruan-perguruan tinggi lain pun mengalami hal yang sama. Saya ingat betul saat mendampingi kakak saya yang hendak diwisuda. Yang bisa masuk ke ruangan hanya Ibu saya dan paman saya (sebagai pengganti Allahummaghfirlahu Bapak saya). Sementara saya dan kakak sepupu bersama tunangannya harus duduk di lesehan, di emperan depan pos satpam.

Kali itu, saya juga tidak dapat melihat tayangan wisuda di TV karena saya tidak tahu kalau di samping timur gedung tempat pelaksanaan wisuda tersebut disediakan satu TV. Ya, hanya satu TV. Kalau di Unesa masih dua TV. Namun, duduk menunggu acara wisuda tersebut tentunya memberikan kesan tersendiri. Aktivitas menunggu saja sudah merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan apalagi kondisi tempat menunggu yang sangat tidak nyaman, tentu sangat membosankan.

Dari situlah kemudian saya ingat puisi pendek karya Sitor Sitomorang. Begini puisinya:

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Ya, puisi ini sangat mudah dihafal sebab hanya terdiri dari satu judul dan satu isi. Namun, puisi tersebut membawa pembaca untuk memikirkan maknanya. Dulu, seorang guru saya mengatakan bahwa ada banyak kemungkinan dalam memberikan makna terhadap puisi tersebut. Salah satunya adalah ada kemungkinan puisi tersebut ingin mengisaratkan bahwa di satu sisi ada kebahagiaan namun di sisi lain ada kesedihan yang digambarkan dengan kuburan.

Saya sepakat untuk mengambil terjemahan demikian saja untuk menggambarkan kondisi yang saya lihat saat itu. Acara seremonial wisuda di lantai dua memang sangat menyenangkan karena itu merupakan waktu yang dinanti-nati oleh para wisudawan. Mereka sudah lama berjuang untuk bisa menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah. Setelah mereka diwisuda maka berarti mereka telah menyelesaikan perjuangannya. Tinggal melanjutkan perjuangan ke kehidupan selanjutnya.

Namun, di sisi lain, di lantai satu, banyak anggota keluarga mereka yang harus bertarung dengan rasa bosan, malas, dan tidak menyenangkan demi menunggu para wisudawan keluar. Mereka harus bisa bersabar menikmati lesehan tanpa alas sama sekali. Kondisi yang duduk di lantai satu ini saya gambarkan sebagai kuburan atau kondisi yang mengalami kesedihan, ketidakenakan. Saya merasakan bahwa kondisi demikian merupakan gambaran lengkap dari puisi almarhum Sitor Sitomorang.

Demikian, tulisan ini hanyalah sepotong curahan hati setelah mengikuti pelaksanaan wisuda ke-82 Unesa. Terlepas dari semuanya, semoga para wisudawan dapat terus berjuang untuk meraih kesuksesannya. Sebab, wisuda bukanlah akhir dari sebuah perjuangan namun hanya sebuah pintu memasuki dunia nyata. Dunia yang tidak menanyakan nilai berupa angka lagi melainkan bagaimana mereka mampu berkonstribusi di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya. Semoga sukses!

Surabaya, 29 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun