Pergeseran masa memang tidak dapat dihindari. Bahkan dunia pendidikan kita pun harus ikut tergeser pula. Melihat berbagai kenyataan yang ada, kini lembaga pendidikan justru dibawa ke arah yang kurang begitu jelas. Lembaga pendidikan serupa pabrik-pabrik ijazah yang sudah tergadaikan. Nilai yang berupa angka-angka pada lembaran ijazah sudah tampak tak memiliki siungnya lagi. Mengejar nilai sama dengan mengejar bayang-bayang yang justru melahirkan kegelapan.
Entah kenapa kali ini saya sangat suka membicarakan tentang menteri Kelautan Susi Pudjiastuti. Barangkali karena saya masih percaya bahwa beliau merupakan satu-satunya menteri yang cukup nyenterik dengan segala atributnya yang saat ini dia sandang. Terutama latar belakangnya yang telah membuat sebagian orang, khususnya saya, harus berpikir panjang tidak hanya mengenai kebijakan politik melainkan juga kebijakan pendidikan.
Susi Pudjiastuti merupakan menteri yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang menakjubkan. Justru dia memilih tidak melanjutkan sekolah setelah kelas 2 SMA. Dia memilih untuk berjuang menyambung hidupnya dengan cara berwirausaha. Suatu kenyataan telah terjadi, dia bisa sukses dengan usahanya itu. Saya tidak mengatakan bahwa itu merupakan sebuah keberuntungan. Sebab, bagaimanapun di sana ada unsur usaha yang keras, pantang menyerah, dan skill yang dimilikinya.
Masih tentang Susi Pudjiastuti, dia pun semakin mulus perjalanan hidupnya setelah menikah dengan seorang laki-laki yang juga cukup sukses. Artinya, setelah pernikahannya itu, jaringan atau networking untuk mengembangkan usahanya semakin luas. Dan kini Susi pun menggapai kesuksesan yang luar biasa bahkan dapat duduk di kursi parlemen.
Kalau dilihat, kisah Susi itu tidak menunjukkan nilai yang ada di lembaran ijazah sama sekali. Dia hanya bermodalkan skill dan jaringan sehingga mengantarkannya menuju kesuksesan. Dua komponen itu menjadi komponen utama kesuksesan Susi.
Karena itulah, saya mulai berpikir tentang nasib lembaga pendidikan. Khususnya bagi para pelajar yang hingga kini masih didoktrin untuk memiliki nilai yang tinggi. Hampir setiap orang tua pelajar akan sangat senang jika anaknya memiliki nilai yang tinggi. Berbagai cara pun dilakukan agar anaknya mendapatkan peringkat yang tinggi. Bahkan, orang tua rela mengurung anaknya demi angka di lembaran ijazah. Mereka tidak peduli dengan kehidupan sosial masa depan sang anak.
Doktrinasi itu tidak hanya terjadi di kalangan orang awam. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi pun seringkali memaksakan kehendaknya demi mencapai nilai yang tinggi. Akibatnya, banyak orang yang mulai membangun kursus-kursus privat yang menjanjikan prestasi bagi peserta didik. Seolah-olah, nilai menjadi tujuan utama dalam dunia pendidikan. Sementara, sisi lain, di luar nilai yang tercantum di atas kertas dapat dibilang tersingkirkan.
Padahal kalau kita mau melihat kisah Susi Pudjiastuti di atas justru membuat kita harus membuka mata lebih lebar lagi. Entah apakah ini juga termasuk langkah Jokowi mengenai ide revolusi mentalnya atau hanya berupa ketidaksengajaan. Akan tetapi, terpilihnya Susi sudah menunjukkan lahirnya dunia pendidikan baru di Indonesia.
Keberadaan nilai yang berupa angka-angka di atas kertas sudah bukan hal yang sakral lagi. Memburu angka nilai akan sangat tidak bermakna tanpa ada skill dan jaringan yang bisa ditawarkan. Hal itu sudah dibuktikan oleh Susi. Untuk menduduki sebuah jabatan petinggi negara tidak perlu lagi membawa ijazah, hanya dengan menawarkan dua komponen itu sudah cukup.
Dengan begitu, lembaga pendidikan hari ini terasa kurang afdhal tanpa memberikan atau mendidik peserta didiknya untuk mengembangkan skill dan networking. Kalau lembaga pendidikan masih lebih senang mensakralkan nilai di atas kertas tanpa memperhatikan dua komponen itu maka sama dengan membunuh masa depan generasi bangsa.
Keberadaan lembaga pendidikan sudah bukan waktunya lagi menjadi produsen ijazah, melainkan yang terpenting bagaimana agar lembaga pendidikan dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk mengembangkan skill-nya dan juga menyediakan jaringan yang bermanfaat bagi masa depan peserta didik.
Dari sanalah sebenarnya lembaga pendidikan akan menemukan hakikatnya. Apalagi dalam waktu sekejap mata, Indonesia harus mengikuti dunia liberalisasi atau AEC 2015. Jika pendidikan Indonesia masih terperangkap dalam kepuasan kepandaian dalam teori dan nilai tanpa memberikan pengalaman nyata dan melatih skill tentu Indonesia akan kick out (KO) lebih awal.
Oleh karena itu, saatnya pendidikan Indonesia tidak hanya menggunakan tolok-ukur nilai ijazah. Saatnya lembaga pendidikan juga harus lebih melihat skill yang dimiliki oleh setiap individu. Susi Pudjiastuti adalah contoh nyata bagaimana saat ini untuk menjadi pejabat negeri tidak lagi butuh ijazah sebagai tiket. Akan tetapi, bagaimana individu tersebut dapat mengeksplorasi skill dan jaringannya dengan baik. Semoga semakin maju!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H