Dengan metode seperti itu, siswa atau santri menjadi kecanduan untuk terus menulis. Apalagi, tulisan seorang siswa dapat dibaca oleh teman-teman sekelasnya dan diapresiasi. Tentu ada motivasi tersendiri untuk terus menulis yang lebih bagus lagi pada giliran berikutnya.
Metode buku besar tersebut sebenarnya hanyalah sebuah pancingan agar siswa dapat menulis. Sebab, setelah mereka merasa senang dengan menulis, di samping menulis buku besar, mereka menulis sendiri secara individu. Awalnya memang hanya main-main di buku besar namun ternyata dapat menjadi sungguhan.
Tak heran jika di kemudian hari banyak antologi cerpen, puisi, dan novel yang diterbitkan oleh santri atau siswa yang berasal dari Guluk-Guluk. Kalau pun tidak menulis secara pribadi, tulisan dalam buku besar tersebut dapat disisir kemudian dijadikan antologi bersama. Tentunya akan memiliki nilai lebih ketika tulisan itu dibukukan dan dibagikan ke teman-teman sekelasnya. Ada kenangan tersendiri.
Itulah metode yang kutemukan dari cerita teman tentang bagaimana pesantren di Guluk-Guluk melahirkan para penulis. Saya rasa metode ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh para civitas akademika Unesa. Bagaimanapun Unesa sudah memproklamirkan diri sebagai Pusat Kajian dan Gerakan Literasi. Itu artinya Unesa seharusnya dapat menjadi contoh teladan bagi perguruan tinggi lain untuk selalu menghasilkan tulisan.
Namun, saya sadari untuk memulai tentunya sangat sulit. Untuk menggerakkan para mahasiswa menulis dan juga dosen menulis tentu butuh perjuangan keras. Nah, tampaknya metode ini dapat dijadikan contoh untuk menggerakkan mahasiswa menulis. Saya yakin dengan metode ini, setiap tahun akan lahir ratusan tulisan dari para mahasiswa. Dan Unesa akan benar-benar berubah dan akan menjadi role model dalam dunia literasi.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H