Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menemukan Kebebasan dalam Menulis

5 Januari 2015   22:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:45 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mulanya saya bingung ketika sampai pada pelajaran menulis Dr. Suyatno, M.Pd. yang kelima. Ia mengatakan, "Orang yang sukses menulis adalah orang yang berani keluar dari kungkungan takut salah." Bukan karena saya tidak paham terhadap pernyataan tersebut melainkan lebih karena bingung bagaimana cara menyampaikan. Sekilas pernyataan tersebut memang tidak jauh berbeda dengan pernyataan yang baru saja saya tulis dengan judul "Jangan Takut Salah!" Namun, setelah melakukan perenungan beberapa saat, setelah salat duhur akhirnya saya menemukan titik-titik apa yang mesti saya tuliskan untuk menjelaskan pernyataan di atas.

Untuk membahas ini, saya ingin memulai dengan sebuah kisah seorang filsuf yang menolak untuk dijadikan seorang guru besar di Universitas Haidelberg. Baruch Spinoza namanya. Satu alasan yang diberikan terhadap penolakan tawaran itu (yang menurut saya cukup untuk mengantarkan penjelasan tulisan ini) adalah dia menolak karena dia khawatir ketika menjadi guru besar di universitas tersebut kebebasan berpikirnya terhambat. Kalau dipikir dalam zona nyaman, tentu penolakan dengan alasan tersebut merupakan penolakan yang bodoh. Di Indonesia, banyak doktor yang berlomba-lomba untuk menjadi guru besar tapi Baruch Spinoza malah memiliki prinsip yang berbeda.

Menurut saya, kisah di atas memang sangat relevan dengan pernyataan Dr. Suyatno, M.Pd. Kebebasan berpikir atau yang juga sering dikenal dengan thingking out of  the box sangat penting dimiliki oleh seorang penulis. Penulis yang pemikirannya "terpenjara" tentu saja akan sulit berkembang. Penjara yang saya maksud adalah penjara aturan atau sekadar bermakmum. Misalnya, masih kuat ingatan dalam benak saya bagaimana dahulu saya menentang seorang mahasiswa yang KKN di sekolah saya. Waktu itu, sang mahasiswa menyampaikan beberapa langkah untuk membuat puisi yang bagus. Namun, saya langsung menolak. "Kalau membuat puisi harus mengikuti langkah-langkah itu, tentu saja saya tidak akan dapat membuat puisi. Tapi saya tetap bisa membuat puisi meskipun tidak mengikuti langkah-langkah itu," protesku.

Dan akhirnya, sang mahasiswa mengakui bahwa memang dalam menulis tidak perlu terpaku atau terpenjara oleh metode. Metode yang diajarkan di sekolah-sekolah hanyalah sebuah formalitas meskipun memang (pasti) tetap ada manfaatnya. Namun, seorang penulis yang hebat justru seringkali tidak mengikuti metode formal. Ia keluar dengan kebebasan berpikirnya. Ia mengeksplorasi dunianya sedemikian rupa sehingga menghasilkan banyak perubahan dan pengembangan yang luar biasa.

Seorang penulis yang semakin berani mengeksplorasi dunianya dengan bebas maka semakin bagus pula hasilnya. Hal ini sering dan bahkan sangat sering kita jumpai dalam penulisan karya sastra. Penulis sastra selalu dituntut untuk mengeksplorasi dunia lingkungannya dan juga bahasa yang digunakan. Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair yang selalu mengeksplorasi bahasa dalam puisi-puisinya.

Kata "kungkungan" yang dimaksud dalam pernyataan di atas merujuk pada wadah (the box). Tentunya wadah tidak hanya wadah secara aturan. Melainkan juga wadah dalam makna fisik yang membuat seseorang terhambat untuk bergerak bebas. Secara fisik, seorang penulis boleh saja dipenjara namun secara pemikiran seorang penulis tidak boleh.

Siapa yang tidak kenal Antonio Gramsci, seorang filsuf asal Prancis itu? Secara kasat mata, fisiknya memang dipenjara namun pemikirannya tetap terbang bebas sehingga kelak ia menghasilkan buku yang ditulis selama dalam penjara dengan judul "Prison Notebooks". Tokoh Indonesia yang memiliki nasib sama adalah Tan Malaka, Arswendo Atmowiloto, dan lain-lain. Secara fisik tubuh mereka memang mendekam di penjara namun tidak dengan pemikirannya.

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa apa yang dimaksud oleh pernyataan Dr. Suyatno, M.Pd. condong terhadap gaya berpikir. Di mana, seharusnya, keberadaan fisik bukanlah hambatan untuk berkarya dalam kepenulisan sebab kebebasan seorang penulis tidak hanya terletak pada fisik namun lebih pada kebebasan berpikir.

Barangkali Wang Qianjin juga dapat dijadikan salah satu pandangan berkaitan dengan kebebasan berpikir seorang penulis ini. Wang Qianjin adalah seorang penulis novel berusia delapan belas tahun tanpa tangan. Mulanya ia hanya menulis cerita-cerita bersambung di blog namun lambat laun banyak pembaca yang menggemari tulisannya dan memintanya untuk terus menuliskan ceritanya. Hingga jadilah tulisannya sebuah novel, sesuatu yang diimpikan dirinya.

Dapat kita bayangkan bagaimana seseorang dapat menulis sebuah novel tanpa tangan. Justru yang memiliki anggota badan lengkap yang seringkali beralasan tidak dapat menulis. Dengan berbagai alasan untuk membenarkan tindakannya sehingga keinginan untuk menulis hanya ada dalam awang-awang.

Selanjutnya, dapatlah dengan mudah kita menarik benang merah dari pernyataan Dr. Suyatno, M.Pd. di atas sebagai sebuah upaya untuk berpikir bebas. Memang berpikir bebas selama ini masih cenderung diidentikkan dengan prilaku seorang filsuf namun seorang penulis mestinya juga tidak boleh terkungkung. Pemikiran seorang penulis harus dapat terbang bebas melampaui kebiasaan. Tanpa adanya kebebasan berpikir dan masih terkungkung oleh sejumlah aturan yang memenjara proses berpikirnya, maka sang penulis tentu akan sangat kaku. Bahkan kemungkinan akan cenderung tidak produktif. Sebab ketakutan untuk mengeksplorasi kemampuannya masih besar.

Sebagai penutup subbab ini, saya ingin menunjukkan sebuah keberanian berpikir bebas yang meski hingga saat ini masih pro kontra di kalangan sastrawan adalah lahirnya Puisi Esai. Deny JA telah berupaya untuk melahirkan sesuatu yang baru. Kalau pada mulanya, antara puisi dan esai merupakan dua bagian karya tulis yang berbeda. Namun, Deny JA justru membuat gebrakan baru dengan menggabungkan keduanya.

Bahkan Deny JA tidak segan-segan mengeluarkan uang besar untuk mempromosikan idenya. Hingga terakhir ia mengumpulkan sejumlah penulis ternama untuk menuliskan profil 33 penyair paling berpengaruh. Memang lahirnya buku tersebut membuat perpecahan di antara penyair namun saya tidak hendak menitikkan pada perpecahan tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan bagaimana keberanian seorang penulis, Deny JA dalam melahirkan produk baru dalam dunia sastra. Berpikir out of the box.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun