Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menulislah Seperti Mencuci Piring

9 Januari 2015   06:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya mulai belajar menulis sekitar tahun 2008 atau kira-kira kelas I SMP semester dua. Waktu itu saya takjub karena melihat puisi anak SMP dimuat di Buletin Sidogiri. Sayangnya, saya tidak konsisten dalam menulis. Saya memiliki kebiasaan buruk, yaitu ketika menyukai sesuatu maka saya cenderung berusaha sekuat tenaga untuk menggapai sesuatu itu. Tapi, tak lama kemudian saya merasa bosan dan meninggalkannya sama sekali. Ini penyakit saya dalam menulis sehingga membuat tulisan saya tidak bagus.

Namun, selama dalam masa pencarian itu, saya menemukan fakta yang menurut saya itu unik. Karena pada saat itu saya menyukai puisi meskipun sebenarnya saya tidak mengerti puisi itu apa. Saya mencoba mengumpulkan puisi-puisi di buku-buku SD dan SMP. Kadang saya juga meminjam buku antologi puisi ke guru.

Saya termasuk orang yang ketinggalan zaman, saya baru tahu internet setelah duduk di bangku SMP. Karena senangnya pada pengetahuan baru itu, saya tidak peduli menghabiskan uang berapa hanya untuk internet-an. Padahal sebenarnya, saya hanya mengenal Mozila. Saya browsing apa saja. Yang penting senang!

Nah, karena saya juga senang puisi, maka saya mencoba mencari-cari puisi para penyair yang ada di buku-buku SMP. Tentu saja yang banyak di sana adalah Taufik Ismail, Ramadhan K.H., W.S. Rendra, Chairil Anwar, dan D. Zawawi Imron (karena beliau masih tetangga saya). Di samping mencari-cari puisinya dan menge-print-nya, saya juga iseng-iseng cari biografi mereka. Ah, saya juga cari biografi D. Zawawi Imron karena meskipun tetangga, saya tidak tahu banyak tentang beliau.

Saya merasa heran saja waktu itu, sebab ternyata beberapa penyair yang saya kenal itu tidak berlatar belakang Jurusan Bahasa Indonesia. Mulanya saya berpikir, para penyair itu berasal dari Jurusan Sastra Indonesia sehingga tulisannya hebat-hebat. Ternyata dugaan saya salah!

D. Zawawi Imron hanya lulus Sekolah Rakyat dan mondok di pesantren Be-Cabbe. Kata guru saya, dulu D. Zawawi Imron suka mengumpulkan potongan-potongan koran untuk dibaca. Taufik Ismail ternyata seorang dokter hewan. Chairil Anwar berhenti sekolah setelah berumur 15 tahun. Pendidikan terakhirnya di bangku MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Kalau W.S. Rendra memang alumnus Sastra Inggris dan Ramadhan K.H. memang wartawan.

Pada saat itulah, saya mulai berpikir bahwa mungkin memang Jurusan Sastra tidak serta merta menjadikan alumninya sebagai sastrawan. Semuanya bergantung pada kemauan masing-masing individu. Bolehlah dalam hal jurusan, Taufik Ismail sebagai dokter hewan tapi kalau beliau memang suka menulis sastra maka ya itu akan menjadi nilai plus tersendiri baginya.

Dan dugaan saya mengenai ketidakadaan hubungan antara jurusan dan kemauan untuk menulis itu sebenarnya dua hal yang mutlak semakin kuat ketika membaca pelajaran menulis ketujuh dari Dr. Suyatno, M.Pd. Beliau menyampaikan, “Menulis bukan ilmu dari buku besar yang harus dipelajari tetapi keterampilan menuangkan gagasan dalam bentuk tulis. Semakin sering menulis, seseorang akan semakin terampil membuat tulisan. Menulis sama dengan keterampilan mencuci piring.”

Kalau memang demikian adanya, berarti menulis bukan hal yang rumit. Belajar menulis tidak sama dengan belajar akuntansi, ekonomi makro, atau pelajaran formal di sekolah-sekolah. Menulis hanya sebuah keterampilan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga tak heran jika D. Zawawi Imron dapat menjadi penyair meskipun pendidikannya hanya pada tingkat Sekolah Rakyat. Sebab beliau memiliki keterampilan untuk itu.

Keterampilan hanya akan berkembang jika selalu diasah. Ia tak ubahnya mata pisau, akan tajam jika diasah. Sebaliknya akan tumpul atau bahkan berkarat jika dibiarkan begitu saja. Dan tak ada alat untuk mengasah kemampuan menulis kecuali menulis. Kali pertama saya temukan pelajaran itu dalam buku “Menembus Kabut Puisi” karya Tengsoe Tjahjono. Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa tiga kunci untuk dapat menulis adalah menulis, menulis, dan menulis.

Benar seperti yang disampaikan oleh Dr. Suyatno, M.Pd. Analoginya, dalam belajar menulis itu sama dengan mencuci piring. Semakin sering mencuci piring maka semakin lihai dan bersih pula hasil cuciannya. Kalau Tere Liye (novelis best seller) itu mengatakan bahwa penulis itu sama dengan Koki. Kalau sudah sering memasak ya akan sangat mudah baginya memasak apapun. Mencampur bumbu-bumbu dan sebagainya akan sangat lihai dan hasilnya pun enak. Beda dengan orang yang baru belajar masak. Sudah sangat hati-hati dalam mencampurkan bumbu ternyata masih saja gak enak.

Tidak hanya itu, melalui pelajaran dari Dr. Suyatno, M.Pd. akhirnya saya tiak psimis salah jurusan lagi. Dulu saya sangat bingung karena kesukaan saya selalu bertentangan dengan keilmuan yang saya geluti. Pada waktu di MAN Sumenep, saya memilih Jurusan IPA karena konon kalau Jurusan IPA itu orangnya pintar-pintar dan merupakan jurusan paling bergengsi. Sedangkan Jurusan IPS adalah jurusan yang dinomorduakan. Apalagi Jurusan Bahasa. Bahkan pada tahun 2012, Jurusan Bahasa di sekolah saya dihapus dan diganti Jurusan Agama pada tahun 2013. Tapi, ya tetap saja jurusan yang paling digandrungi siswa adalah Jurusan IPA.

Karena mengikuti gengsi itulah, akhirnya saya mengambil Jurusan IPA meskipun dalam prakteknya saya lebih suka baca masalah-masalah IPS dan Bahasa. Mata pelajaran yang paling saya sukai di Jurusan IPA waktu itu hanya matematika. Kemudian setelah masuk ke bangku kuliah, saya mengambil Jurusan Pendidikan Ekonomi. Tentu saja guru-guru saya di MAN geleng-geleng kepala.

Namun, di sini ada perbedaan, kalau guru-guru saya di MAN geleng-geleng kepala sebab saya mengambil jurusan yang tidak linier dengan sewaktu di MAN, tapi kalau teman-teman dan dosen saya (termasuk juga Dr. Suyatno, M.Pd.) mengatakan bahwa saya salah jurusan karena saya suka menulis. Katanya, semestinya saya mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tapi, dengan pelajaran dari Dr. Suyatno, M.Pd. kini saya punya alasan untuk membantah kalau saya dibilang salah jurusan. Memang akibatnya saya belum memiliki ilmu yang mumpuni dalam menulis sebab saya tidak ada pelajaran formal secara khusus, sangat beda dengan mahasiswa yang dari Jurusan Bahasa. Saya hanya mencoba-coba menulis apa saja. Bukankah untuk menjadi penulis hanya dengan menulis?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun