Awal tahun 2015, tepatnya pada 4 Januari 2015, saya benar-benar merasa “iri” dan malu. Satu minggu sebelumnya, saya di-inbox oleh Pak Khoiri (penulis dan dosen Unesa). Beliau menyampaikan bahwa akan menjadi pembicara dalam bedah antologi puisi “Titik Temu” di kota kelahiran saya, Sumenep. Saya kaget! Saya mengenal beliau sebagai penulis artikel populer. Beberapa buku karyanya sudah saya baca.
Setelah berbincang-bincang agak lama di facebook ternyata saya diajak untuk mendampingi beliau. Ini adalah kesempatan luar biasa bagi saya. Saya bisa berjalan-jalan bersama seorang penulis hebat. Saya akan mendapatkan banyak ilmu dari beliau. Jurus-jurus saktinya untuk menghasilkan karya pasti akan lebih mudah saya dapatkan.
Sepanjang perjalanan, kami tak henti-hentinya berbagi seputar pengalaman menulis. Perjuangan proses yang tidak mudah dan penuh liku-liku. Terkadang saya diam karena takut mengganggu beliau yang sedang mengoreksi naskahnya di bis. Begitu asyik rasanya beliau bergulat dengan naskah yang akan segera diterbitkan oleh satu satu penerbit mayor itu.
Bahkan saya juga diberi kesempatan untuk membaca naskah itu. Saya diminta untuk mengomentarinya. Ah! Tentu saja saya tidak bisa berkomentar apa-apa. Selama ini saya hanya bisa membaca naskah tanpa bisa menelaah apalagi mengoreksi naskah. “Sederhana dan mudah dipahami.” Mungkin hanya itu yang dapat saya ucapkan. Tulisannya memang ringan dan sangat bersahabat untuk dibaca oleh kalangan awam sekalipun.
Kami bermalam di hotel Suramadu. Banyak pertanyaan yang saya ajukan mengenai dunia penulisan yang beliau jalani. Saya benar-benar ingin belajar, ingin menimba ilmu dari beliau. Hanya saja beliau merasa lelah dalam perjalanan sehingga beliau harus istirahat lebih dulu. Sementara saya, sebelum tidur, saya mencoba menulis, mengungkapkan kebahagiaan saya mendampingi seorang penulis.
Pagi-pagi kami bersiap-siap untuk datang ke studio RRI Sumenep. Ya, acara yang akan kami hadiri adalah di sana. Pak Khoiri menjadi pembicara tunggal. Kebahagiaan saya semakin berlipat sebab saya tidak hanya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang ada di Sumenep. Saya juga bertemu dengan para penyair ternama seperti Syaf Anton, Amin Bashiri, Mahendra, M. Faizi, Hidayat Raharja, dan lain-lain.
Ruangan penuh dengan peserta. Panitia meminta Pak Khoiri untuk tidak hanya membedah antologi puisi “Titik Temu” tersebut. Lebih dari itu, harapan panitia adalah menyalurkan semangat menulis yang dimiliki Pak Khoiri kepada peserta. Panitia ingin membongkar semangat peserta untuk menulis.
Namun, di tengah-tengah acara, saya merasa “iri” kepada Pak Khoiri. Bukan iri karena apa, tapi karena kenapa bukan saya yang duduk di depan sana untuk memberi semangat kepada anak-anak Sumenep? Bukankah saya anak asli Sumenep? Kenapa mesti mengundang orang lain?
Memang sebenarnya jawaban dari rasa iri tersebut hanya satu, “Karena saya tidak bisa. Itulah kenapa anak Sumenep mengundang orang lain!” Saya membayangkan, seandainya saya bisa, bisa menulis dengan bagus, bisa menjadi penulis andal, hebat, tentu tak perlu mengundang orang dari seberang. Biarkan saya yang memegang daerah saya tercinta.
Di satu sisi, saya sangat bangga menjadi pendamping seorang penulis ternama. Namun, di sisi lain, saya merasa iri sebab ke daerah saya sendiri saja, saya hanya menjadi pendamping, bukan pembicara. Saya merasa malu kepada Sumenep. Mestinya saya yang menjadi mercusuar bagi kota kelahiran saya, bukan orang lain.
Dari situlah kemudian muncul keinginan yang semakin kuat dari dalam diri saya. Saya harus belajar lebih semangat lagi. Saya harus bisa membuktikan bahwa dalam waktu dekat saya juga pasti bisa duduk di depan sana. Berbicara menyampaikan sejuta motivasi kepada anak-anak Sumenep. Sebagai anak Sumenep, saya pasti bisa membanggakan tanah kelahiran saya.
Saya tak ingin memadamkan semangat yang sudah muncul. Saya berusaha belajar lebih giat lagi dalam hal menulis. Guru saya dalam hal menulis sangat banyak. Di Unesa, saya memiliki guru-guru penulis hebat, misalnya Pak Khoiri, Mas Eko, Pak Yatno, Mas Basir, Mas Rohman, Mas Bayu, dan lain-lain. Saya terus belajar pada beliau-beliau.
Saya juga mulai membangun prinsip, kalau guru-guru saya hebat, masa saya tidak bisa hebat? Saya ingat ucapan wali kelas saya waktu masih kelas VI SD, “Seorang guru itu baru dikatakan berhasil bila muridnya lebih hebat dari gurunya.” Namun, yang perlu saya ingat adalah tetap menghormati guru dan tidak sombong. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya debu.
Belakangan ini, saya juga membayangkan jika pemuda-pemuda memiliki rasa malu pada negara-negara lain, maka saya yakin kelak Indonesia akan maju. Malu jika masih untuk belajar bahasa Jawa saja harus belajar ke negera lain, Belanda. Malu jika hanya untuk mengolah kekayaan sumber daya alam negerinya sendiri saja harus mengundang negera lain. Malu jika hanya untuk belajar sejarah Indonesia saja harus mencari literatur dari negara lain.
Kemudian, para pemuda berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar tidak malu lagi. Mereka berusaha sekuat tenaga. Belajar dengan giat. Sehingga anak cucu kelak bisa mendapatkan ilmu dengan mudah di negerinya sendiri. Anak cucu kelak tidak perlu jauh-jauh untuk mencari ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H