Ini adalah kerja gila. Hal yang mustahil bila dapat menulis 20 artikel yang tiap artikel sepanjang 2 halaman kertas A4, spasi 1,15, dan font 12 TNR dalam waktu 20 menit. Tapi ini adalah pengalaman saya yang cukup membuat saya merasa benar-benar digembleng. Saya dipaksa tanpa ampun oleh mantan editor Jawa Pos.
Malam itu, setelah menulis dua buah artikel santai, saya mengisi perut dengan sekotak nasi yang diberi oleh salah seorang dosen bahasa Indonesia. Seperti biasa, saya makan di depan notebook sembari memperhatikan outline-outline yang harus ditulis. Namun, tak berapa lama Mas Eko meng-upload sebuah foto. Beberapa komentar telah berjejer di bawah dindingnya.
Melihat fotonya, saya pun terpanggil untuk mengomentari juga. Iseng! Setelah komentar pertama yang lebih bersifat gurauan, saya melanjutkan komentar berikutnya. Saya menyampaikan bahwa saya berkeinginan untuk menerbitkan dua buah buku di bulan depan, Maret. Saya butuh bantuan beliau dalam hal ini. Kemudian saya juga bertanya mengenai rencana mau menulis buku bersama.
Hari sebelumnya, kami memang sudah sepakat untuk menulis buku bersama. Meskipun saya tidak memiliki dana tapi beliau katanya siap untuk mendanai saya. Saya hanya diminta untuk menyumbang 20 artikel yang akan digabung dengan 20 artikel miliknya. Ini adalah kehormatan besar bagi saya sebab sudah diberi kesempatan untuk menulis bersama penulis yang sudah melahirkan 31 buku tunggal dan ratusan artikel di media massa.
Akan tetapi, permintaannya yang begitu mendadak sangat tidak mungkin rasanya bagi saya. Saya rasa siapapun tidak akan mampu menulis artikel sebagaimana syarat di atas. Tapi, dia tetap memaksa saya bahkan sangat keras pemaksaannya. “Kalau tidak bisa, kembalikan kejuaraanmu!” begitu kira-kira yang dikatakan di komentarnya.
Waktu itu, saya meminta waktu empat dua hari lagi untuk menyelesaikan permintaannya tersebut, dengan pertimbangan dalam satu hari menghasilkan lima buah artikel. Soalnya malam itu, saya sudah menulis (maksud saya yang tematik) sebanyak enam artikel dan empat artikel lagi sudah siap ditulis. Jadi malam itu saya pastikan sudah siap sepuluh artikel dengan catatan malam itu saya harus lembur menulis empat artikel yang belum ditulis.
Namun, yang namanya mantan editor Jawa Pos tidak mau menerima ampun dari saya. Beliau tetap memaksa saya untuk menyelesaikan permintaannya jika benar-benar ingin menulis buku bersamanya. Akhirnya beliau meminta saya untuk menyisir seluruh tulisan saya yang sudah ada di kompasiana.com. Karena sudah didesak terus menerus, akhirnya saya menyetujui. Secepat kilat saya tuntaskan makanan saya dan segera saya beraksi untuk menyelesaikan permintaannya.
Terlambat! Saya terlambat beberapa menit untuk mengirimkan naskah saya. Saya menyisir semua tulisan yang mungkin bisa dimasukkan ke dalam buku tersebut. Saya tidak mengeditnya lagi. Tidak sempat. Waktunya terlalu mepet. Setelah saya kirimkan, tak lupa saya juga menyampaikan kepada beliau agar tulisan saya sebaiknya diedit terlebih dahulu. Banyak kesalahan ejaan dan juga penulisan dalam naskah saya.
Eh, beliau malah berkata, “Kamu tega. Sudah saya bantu kamu menerbitkan buku masih nyuruh aku mengeditkannya.” Jleb! Komentarnya dalam sms membuat saya malu sekali. Rasanya saya tidak tahu berterima kasih. Akhirnya saya meminta waktu untuk mengedit semua naskah saya malam itu dan akan dikirim kembali malam itu juga. Beliau pun menyetujui dan memberikan waktu. Saya sangat bersyukur.
Saya lembur untuk mengedit beberapa kesalahan pengetikan dan beberapa ejaan sejauh pengetahuan saya. Pekerjaan itu saya lakukan hingga mendekati pukul dua belas malam. Dengan penuh kesabaran saya mengedit tulisan saya sendiri yang amburadul itu.
Mendekati pukul dua belas malam, tugas saya selesai. Alhamdulillah! Tak menunggu terlalu lama, saya langsung mengirimkannya kembali ke Mas Eko kemudian sms dan WA untuk memberi tahu. Namun, mungkin beliau sudah istirahat jadi tidak membalas pemberitahuan saya.
Keesokan harinya, saya kirimkan biodata singkat beserta foto untuk ditampilkan di belakang buku. Celakanya, saya baru ingat kalau naskah saya lupa tidak mencantumkan tanggal penulisan. Saya ingin merevisinya namun saya merasa tidak enak karena terlalu merepotkan Mas Eko. Beliau sudah banyak membantu saya untuk bisa menjadi lebih baik.
Beberapa pelajaran yang dapat saya ambil dari peristiwa yang sangat memaksa tersebut antara lain ada dua hal. Pertama, apabila keinginan sudah bulat dan kuat maka semangat akan muncul tak terbendung. Dengan kata lain, ketika ada tekanan yang besar terhadap diri ini maka akan muncul jiwa berontak. Nah, berontak terhadap hal yang positif ini sebenarnya yang sangat dinantikan. Contoh konkret lain adalah penjajahan di Indonesia. Akibat bangsa ini dijajah terus menerus akhirnya bangsa ini bangkit dan memberontak untuk memperoleh kemerdekaan.
Ketika, sebenarnya manusia itu diberi banyak kemampuan terutama dengan adanya akal. Melalui akal inilah akan muncul berbagai cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Sehingga apabila mendapat berbagai kesulitan maka tenangkan pikiran, bangun keyakinan bahwa bisa melakukan, dan pikirkan dengan tenang cara terbaik. Yang paling penting jangan ke depankan emosi. Wallahu a’lam.
Surabaya, 20 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H