Saya sangat menyadari bahwa tiga hal yang akan dilihat pertama kali oleh seorang pembaca terhadap suatu tulisan. Pertama, judul. Judul yang menarik akan membuat pembaca melirik dan ingin membaca isi sebuah tulisan. Oleh karena itu, dalam berita-berita biasanya judul dibuat sangat dramatis.
Misalnya, “Pemerintah Bingung, Jokowi Mogok Makan.” Padahal, mungkin saja isi beritanya hanya menyampaikan bahwa Jokowi tidak makan siang karena rapat tidak kunjung selesai. Tapi, dengan judul yang provokatif itulah, koran bisa laris manis.
Kedua, gambar. Nah, biasanya gambar yang humanis akan sangat mendorong pembaca untuk mengetahui isi berita. Tak heran bila gambar-gambar yang ada di koran biasanya juga provokatif. Masih ingat bukan bagaimana gambar yang dipublikasikan oleh media ketika Jokowi bertemu dengan Obama? Seolah-olah Jokowi sedang berbisik-bisik padahal mungkin saya itu mau salaman sambil menyentuhkan pipi kayak gayanya orang-orang Indonesia. Tapi, dengan gambar seperti itulah akhirnya pembaca ingin tahu apa sebenarnya yang dibicarakan Jokowi dan Obama. Kesepakatan apa yang akan dibuat.
Ketiga, lead atau kepala. Nah, yang ini sangat penting juga. Paragraf awal akan sangat menentukan apakah pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Bahkan sudah mafhum diketahui orang bahwa dalam sebuah seleksi lomba maupun seleksi media, paragraf awal inilah yang akan menentukan apakah tulisan tersebut akan dibaca hingga selesai oleh juri/redaktur atau akan langsung dibuang ke tempat sampah. Kalau juri/redaktur membaca tulisan yang lead-nya jelek maka dia tanpa ragu untuk melemparkannya. Bahkan dalam setiap penilaian awal sebuah lomba pun lead inilah yang akan diperiksa oleh juri.
Sebenarnya masih ada satu lagi yang akan menarik pembaca untuk membaca sebuah tulisan hingga tuntas, yaitu adanya quote-quote yang bagus. Biasanya, pembaca majalah, setelah melihat judul dan gambar tidak langsung membaca isi tulisan melainkan melihat quote-quote-nya terlebih dahulu. Untuk itu, seorang editor juga harus pandai memilih quote-quote yang menarik tapi singkat yang biasanya ditampilkan di tengah-tengah tulisan.
Namun, saya hanya ingin bercerita tentang lead atau kepala. Meskipun saya sudah menyadari akan pentingnya hal-hal yang tersebut di atas, tapi dalam mengaplikasikannya tidak mudah. Saya selalu mengalami kegagalan. Pernah saya diminta untuk menuliskan hasil wawancara saya bersama Rektor Unesa. Redaktur meminta saya untuk menuliskan dalam bentuk tanya-jawab. Karena saya memang senang belajar gaya-gaya penulisan baru, saya langsung menyetujui. Prinsip saya, yang penting mencoba. Kalaupun jelek toh nanti akan diajari oleh redaktur.
Dalam penulisan hasil wawancara dengan bentuk tanya-jawab, biasanya diawali pengantar atau lead untuk mengantarkan pembaca pada isi tulisan. Karena pemula, saya tidak tahu mau membentuk lead seperti apa. Saya menuliskan sekitar dua paragraf yang menurut saya sudah cukup menarik. Saya pun mengikuti saran dari redaktur bahwa untuk membuat lead tidak apa-apa mengambil satu hal yang menarik dari hasil wawancara.
Misalnya, pada waktu itu rektor mengatakan bahwa meskipun belum mencapai 100 persen, tapi 75 persen Unesa sudah siap menghadapi MEA 2015. Bagian yang cukup provokatif tersebut berada di akhir wawancara tapi redaktur menyarankan saya untuk mengangkat kata-kata itu di bagian lead. Saya sudah lakukan itu. Tapi, ternyata masih kurang menarik menurut redaktur. Katanya bahasa saya kurang manis.
Akhirnya, dua paragraf yang sudah saya upayakan sebaik-baiknya kuhapus. Solusinya adalah bertanya. Ya, hanya itu solusi yang saya pilih. Saya sudah baca gaya-gaya penulisan di majalah-majalah lain tapi masih belum berhasil. Alhamdulillah redaktur kemudian mengedit tulisan saya yang kurang manis itu menjadi satu paragraf yang lebih menarik. Seperti biasa, setelah diberitahu, saya hanya bisa bilang, “Oh iya ya?!” sambil ngangguk-ngangguk.
Tidak hanya pada tulisan itu, tapi tulisan-tulisan yang lain pun saya selalu gagal membuat lead-nya. Dalam penulisan profil alumni Unesa pun saya tidak bisa lepas dari kelemahan ini. Beberapa profil yang saya tulis, lead-nya dirombak lagi oleh editor. Lagi-lagi saya hanya bisa mengangguk-ngangguk. Barangkali karena sejak kecil untuk menuliskan sebuah cerita selalu diawali dengan kata: “Pada suatu hari.” Akhirnya kebiasaan itu terbawa hingga dewasa. Padahal kalau saja sebuah cerita langsung disajikan permasalahan tentu lebih menantang.
Apakah sekarang saya sudah berhasil memperbaiki kelemahan tersebut? Saya katakan dengan tegas, “Belum!” Hingga sekarang saya masih selalu mengalami hambatan dalam hal membuat lead. Bahkan terkadang saya marah ketika membaca tulisan saya yang sudah lama. Saya marah karena lead-nya terlalu biasa dan tidak membuat pembaca ngeh untuk membaca tulisan saya hingga selesai.
Konon, pembuatan lead ini juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengalaman seorang penulis. Penulis yang sudah memiliki pengalaman banyak biasanya akan lebih mudah membuat lead yang bagus. Bahkan dengan mata terpejam pun mereka bisa membuat lead yang bagus. Karena saya ingin juga bisa membuat lead yang bagus, maka saya terus berusaha sering menulis, memperhatikan lead-lead tulisan orang lain, dan juga berdiskusi atau bertanya kepada penulis-penulis yang sudah berpengalaman. Semoga berhasil! Amin!
Itu hanya masalah lead. Belum masuk pada hal-hal lain seperti judul, isi, dan penutup yang menggigit. Tiga masalah ini juga sangat pelik untuk dapat saya selesaikan. Saya masih mengalami banyak kelemahan sehingga tak heran bila tulisan saya jarang bisa nangkring di media massa apalagi menang lomba. Hal ini memerlukan kerja keras dan pantang menyerah untuk menjadi lebih baik. Semoga!
Surabaya, 21 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H