Hal itulah yang diamini Abdul Qadir, salah seorang juru kunci makam. Menurutnya, makam itu hanya ramai setiap Jumat (Wage) dan saat Suro (Muharram) tiba. Qadir menuturkan, peziarah yang datang tidak seramai di Mantingan. Penduduk Kalinyamatan dan sekitarnya yang berziarah menurut dia bisa dihitung dengan hitungan jari.
Semestinya, makam peninggalan Adipati Tjitrosomo dijadikan salah satu rujukan wisata religi di kabupaten Jepara. Apalagi letaknya bisa dijangkau dari berbagai arah (Kudus, Demak maupun Semarang). Setelah berhenti dipertigaan Purwogondo lalu kurang lebih ditempuh 500 meter ke arah desa Sendang sampailah di tempat tujuan.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten perlu mengagendakan beberapa hal diantaranya menjadikannya salah satu tujuan wisata. Artinya menjadikannya referensi wisata religi di kota ukir. Mudahnya melalui dinas terkait mempromosikan kawasan itu kepada publik. Selain itu, pemkab perlu bekerjasama dengan peneliti sejarah untuk membukukan kepahlawanan Adipati Tjitrosmo. Melalui buku itu nantinya masyarakat menjadi lebih tahu.
Tentu, bukan hanya tugas pemkab saja melainkan warga desa Sendang khususnya dan kecamatan Kalinyamatan pada umumnya dengan perlu nguri-nguri peninggalan beliau. Yakni dengan menggelar pelbagai ritual sosial-keagamaan yang akan menjadikan masjid dan makam itu makin ramai. Adipati Tjitrosomo memang telah tiada. Kini kita hanya bisa mengenang jasa-jasa baiknya. Meramaikan sisa-sisa peninggalannya dengan laku positif tentu sudah dikategorikan sebagai amal yang mulia. Begitu. (Syaiful Mustaqim)
(artikel ini kali pertama saya muat di blog pribadi syaifulmustaqim.blogspot.co.id 7 Maret 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H