Mohon tunggu...
Cerpen

Terbaring Memandangi Langit yang Penuh Bintang

12 April 2016   12:04 Diperbarui: 12 April 2016   12:12 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya paling penakut untuk urusan bela diri. Saking takutnya berkelahi, saya pernah rela dipalak anak TK pas masih SD. Kejadiannya di komplek Sandang, saat itu saya lagi istirahat sekolah dan berniat untuk mencari makan, tiba-tiba seorang anak TK bermuka sangar meminta uang. Karena takut dipukuli, dengan gemeteran saya pun memberikan semua uang jajan saya. Rasanya hina sekali pada hari itu!!!

Pada suatu hari ada tawaran untuk mengikuti kegiatan bela diri, saya merasa ini kesempatan untuk bisa menjadi lebih macho. Saya bisa membayangkan, bila saya sudah mengikuti beberapa kegiatan beladiri ini akan membantu saya, kalau ketemu tukang palak kayak waktu itu lagi di jalan. Minimal, kaki saya bisa lebih berotot, sehingga lari bisa lebih kencang.

Bela diri pertama yang akan saya pelajari adalah gulat tradisional orang Sunda. Untuk mempelajarinya saya harus pergi berkelana ke ujung kota Banten. Rencananya saya akan belajar gulat tradisional orang Sunda selama lima hari, lalu pada hari kelima saya akan malawan jawara kampung di sana. Ini berarti, saya akan mati pada hari kelima di kota Banten.

Perjalanan ke ujung kota Banten dari Jakarta memakan waktu sekitar enam jam. Saya menghabiskan banyak waktu di jalan untuk tidur dan baru bangun ketika rombongan sudah tiba di alun-alun ujung kota Banten, di situ kami menunggu orang-orang padepokan gulat untuk menjemput.

Saya dan rombongan terus melintasi ujung kota  Banten hingga pada akhirnya di jalan menanjak ke arah perbukitan, sampai akhirnya tiba di tempat desa Kepoera. Melihat ke kanan dan ke kiri tidak ada penginapan udaranya pun juga dingin dan sepanjang mata memandang hanya dataran luas.

Ketika saya turun dari mobil, lewat serombongan ibu-ibu berhijab sambil membawa kacang panjang. Rupanya, mereka baru pulang memetik kacang panjang dari sebuah perkebunan yang ada di desa Kepoera ini. Pemandangan dan suasana pedesaan yang sangat indah ini terasa asing buat saya yang seumur hidup tinggal di kota besar.

Selanjutnya, kami beranjak pergi ke sawah menuju tempat Abah Entis. Beliau adalah pemimpin gulat di desa Kepoera ini. Abah Entis dan murid lainnya sudah menunggu kedatangan saya di sana. Kami menyusuri jalan ke area menanjak, semakin lama semakin ke atas, belum latihan gulat saja saya sudah mau mati rasanya, mendaki dataran yang semakin lama semakin terjal.

Sekitar satu jam berjalan mendaki, akhirnya saya menemukan Abah Entis, seorang kakek berusia 80 tahun dengan menggunakan balutan pakaian hitam-hitam dan ikat kepala putih, sedang duduk di sebuah saung tepat di tengah hamparan sawah yang luas. Di depan Abah Entis, ada beberapa anak didiknya sedang bergulat satu dengan lainya.

Empat hari pun berjalan saya yang sudah di latih gulat oleh eorang Abah Entis, akhirnya besok saya akan bertanding melawan jawara di desa kepoera tersebut. Keesokan harinya tepat di hari ke lima tepat di mana saya akan melawan jawara dari desa kepoera tersebut, saya pun langsung datang ke lapangan dan berdiri di tengah lapangan tepat di depan jawara desa kepoera tersebut.

Saya di depannya sambil tersenyum berharap keramahan akan membuat dia lebih tidak jinak sewaktu menganiaya saya sebentar lagi, tetapi jawara desa tersebut tidak membalas senyum saya. “MATI LAH!!!”

Wasit menyuruh kami saling lebih mendekat tanda pertandingan akan dimulai. Wasit lalu memberikan intruksi, ‘siap?mulai!’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun