Sinopsis
Berawal dari ketenangan hidup seorang nenek bersama cucu semata wayangnya yang kian terusik kala melihat ketimpangan didepan mata, meski telah memasuki usia senja tetapi semangat hidupnya tak mudah surut. Berpendirian samin dan tetap memegang teguh adat dan tradisi, tetapi ia menghargai dan terbuka dengan adanya pembangunan dan modernisasi demi kemajuan hidup ummat manusia. Ia mengisi hari-harinya di pematang sawah yang berada tepat dipinggir sungai. Suaminya telah tiada sejak bertahun-tahun silam, hanya bersama Qohar cucu satu-satunya Aminah, perempuan tua itu melanjutkan hidup. Qohar adalah cucu yang terlahir dari si bungsu, Marsiyah yang wafat sesaat setelah melahirkan.
Hari-hari mereka sebagai keluarga kecil terasa tentram dan bersahaja meski beberapa kerikil tajam terkadang datang mendera, sampai kemudian drama itu terjadi. Aminah digelandang ke balai desa Rakusan hanya gara-gara sehari sebelumnya Aminah melayangkan sebuah surat protes ke kelurahan, mengkritisi sistem pelayanan pemerintah desa yang amburadul dan terkesan dipersulit.
Cara memprotesnya berbeda dari pada orang-orang tua pada umumnya. Lewat selembar kertas. Ya. Lewat selembar kertas yang digarap keponakannya Mansyur, perempuan tua nan sableng itu sanggup membuat mata dan telinga para perangkat desa Rakusan kian memerah berbalut amarah, hingga kemudian Aminah“kalah” dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Di balai desa ia disidang dan terpaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dari para perangkat desa Rakusan. Tanpa diduga sebelumnya Aminah mendapat sokongan dari pak Amin Ong, seorang wartawan lepas sebuah harian terkemuka di Ibu kota yang juga merangkap karier sebagai seorang konsultant. Tanpa diketahui Aminah lebih jauh kasus itu dilaporkan dan diperkarakan ke Kepolisian oleh pak Amin Ong. Ketika permohonan penyelidikan sengaja diabaikan dan diulur-ulur oleh pihak Kepolisian, pak Amin Ong lalu tidak percaya lagi dengan sistem hukum. Tiada kejelasan kapan kasus itu diselidiki dan dilimpahkan ke kejaksaan. Pak Amin Ong kemudian menggunakan caranya sendiri. Ia mengancam pihak Kepolisian dengan membocorkan kebobrokan sistem pelayanan ke publik, ke berbagai media massa dan televisi apabila tuntutan penyelidikan tidak segera dipenuhi.
Tanpa menghitung hari dan hanya beberapa jam kemudian kepala desa Rakusan beserta kroni-kroninya digrebek pihak kepolisian, mereka kemudian ditahan. Dalam hal ini masyarakat desa Rakusan tidak mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang memperkarakan masalah ini. Kemudian kecurigaan mengarah kepada Aminah yang sebelumnya terlibat bermasalah dengan orang-orang balai desa. Pada hal Aminah pun demikian, tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Dan ketika kasus balai desa mulai diselidiki, sepercik sinar keadilan menyeruak sebagai bentuk kemenangan Aminah. Tetapi ternyata ketika Aminah akan menemukan sebuah keadilan, justru ia malah menjadi semakin terpuruk. Kali ini bahkan membuat jiwanya serasa terburai. Aminah terasing dalam sepi di tengah-tengah keramaian. Orang-orang di sekelilingnya tanpa sebab tiba-tiba menjaga jarak dan mengucilkannya. Hanya seorang cucu dan gubuk kecil di pematang sawah yang senantiasa menyambut kedatangannya.
Satu minggu berselang muncul berita mengenai kegigihan Aminah dalam mengkritisi pemerintah desa Rakusan di sebuah media massa. Imbasnya sejumlah media online dan televisi berebut informasi mengenai siapa jatidiri Aminah dan sepak terjang kehidupannya. Tetapi entah kenapa disaat orang-orang berebut ingin mendapatkan informasi darinya, Aminah justru malah menjadi semakin tertutup. Dibutuhkan ruang dan waktu yang cukup lama untuk mengorek keterangan mengenai dirinya.
Bahkan salah satu pemilik stasiun tv swasta rela menginap beberapa hari dirumahnya hanya demi sebuah informasi darinya. Akhir dibalik semua itu, Aminah kemudian di elu-elukan semua orang berkat kegigihan dan keberaniannya mendobrak pagar ketidak adilan dimuka bumi atas dasar kemanusiaan. Tak berhenti sampai disitu, sebuah organisasi HAM sedunia yang bermarkas di Belanda mengundangnya sebagai tamu kehormatan dalam sebuah peringatan hari HAM tingkat internasional yang diselenggarakan di Berlin.
Dalam sebuah cukilan pidatonya di Berlin, Aminah mengutarakan keinginannya menghabiskan sisa umur bersama cucunya disebuah kota di Berlin. Baginya Berlin adalah sebuah kota yang nyaman dan penuh kedamaian, kota yang tidak pernah terbayangkan didalam benaknya selama ini. Namun lagi-lagi liku-liku hidup kembali menghadang, kali ini ia tidak diperbolehkan meninggal dan dikuburkan di Berlin. Aturan pemerintah setempat melarang warganya meninggal dan menguburkan jasad di Berlin dengan alasan, semua areal pemakaman sudah penuh dengan pengecualian mempunyai area pemakaman pribadi.
Surga Dunia
Telah tercipta
Surga dunia
Bagi orang-orang yang bersyukur
Tetapi kala surga menjadi tujuan
Meski seorang alim, abid
Menyelubung harap
Maka surga enggan menyapa
Usianya telah senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Matanya cekung, gigi serinya masih utuh meski terlihat agak kusam oleh sebab kebiasaan mengunyah daun sirih, hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, semakin keriput karena ditelan masa, dihempas oleh perjalanan waktu.
Jika diukur dengan usia semestinya ia sudah saatnya beristirahat ongkang-ongkang kaki di rumah, tetapi ia tetap saja melakoni rutinitasnya di pematang sawah saban hari meski sudah udzur. Kedua kakinya sebenarnya sudah ringkih, tetapi masih sanggup menopang tubuh rentanya. Masih mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Menapaki jalanan beberapa kilometer jauhnya. Semua itu adalah ungkapan dari rasa syukur kepada yang kuasa. jika matahari sudah serasa diubun-ubun ia lalu melepas lelah dan menghabiskan waktunya disebuah gubuk dipinggiran sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek. Tidak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas perawakan tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya.
Di saat bayang-bayang matahari mulai sedikit bergeser ke arah timur, diatas jerami kering diantara bebatuan, perempuan tua itu duduk bersila dipinggir sungai, dibawah pohon nangka yang rimbun. Dengan ditemani semilirnya angin perempuan tua itu bermunajat kepada yang kuasa sembari berdzikir dan bertafakur. Dengan bermunajat dan bertafakkur itulah yang membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila sembari membuang lelah setelah seharian bekerja.
Di atas sungai terbentang sawah beberapa petak peninggalan dari suaminya. Sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya didalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan dan sebagian lagi berupa hibah dari pemerintah kolonial belanda. Waktu dzohor telah berlalu beberapa jam yang lalu,panas terik mentari telah mulai berkurang. Perempuan tua itu masih belum beranjak dari musholla yang didesainnya dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh sembari melawan kantuk. Dari kedua bibirnya tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah, memanjatkan rasa syukur teriring dzikir lalu diakhiri doa sapu jagat seperti biasanya.
Setiap kali pergi kesawah perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa bekal makanan secukupnya, dua lapis jarek untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih. jika lupa membawa biasanya ia sempatkan pulang sebelum tiba saatnya waktu dzohor.
Terkadang ia sengaja menyimpan jarek atau mukena di pojok atas gubuknya. Usai melawan kantuk dengan berdzikir di akhiri doa sapu jagat, ia lalu beranjak menuju cangkruk, sebuah gubuk kecil yang didesainnya sendiri pula untuk sekedar istirahat disela-sela kesibukannya disawah. Didalam bilik tanpa jendela dan hanya diberi rumbai-rumbai pelepah daun pisang kering itu ia duduk selonjor beberapa saat. Selembar daun pisang diambilnya langsung dari pohonnya yang tak jauh dari tempatnya. Selembar daun pisang itu lalu dijadikannya sebagai alas makan pengganti piring. Diambilnya nasi beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung dan ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang.
Apabila sudah dihadapkan dengan kenikmatan duniawi maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa dibeli maupun ditukar meskipun ditukar dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka wajar jika didalam pikirannya tidak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di Akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah lebih dari cukup. Hanya satu kata yang senantiasa mengiringi langkah hidupnya, yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah.
jika teringat bagaimana zaman penjajahan mati-matian berjuang untuk bertahan hidup, membuat perempuan tua itu sangat mensyukuri dan menghargai kehidupannya. Sisa umurnya yang kian berkurang tak ingin disia-siakannya dengan cara berdzikir setiap sehabis shalat fardlu. Kelak yang ia harapkan setelah dirinya dipanggil yang Maha Kuasa bukanlah surga maupun neraka, melainkan keridzaannya. Ia ingin menjadi hamba yang diridzai Allah di Akhirat kelak dan tidak lebih.
Seusai makan lalu diteguknya air kendi. Ces!! dingin dan sejuk. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan disekujur punggungnya mulai keluar perlahan, mengalir membasahi bajunya. Lalu angin sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa didapat dipersawahan, dibawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang bersyukur.
Tak jauh dari tempat perempuan tua itu, sekumpulan ikan bader dan udang berkejaran lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja disisakan untuknya. ketika sisa-sisa nasi putihnya ditumpahkan ke arah aliran sungai, ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.
Menyaksikan sebuah sandiwara kecil makhluk-mahluk lain adalah suatu keistimewaan tersendiri. Perempuan tua itu telah menyatu dengan alam, demikian pula dengan burung-burung terkuok, berkeliaran bebas berkejar-kejaran disatu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya disiang hari kala suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Disaat orang-orang mulai kembali pulang melepas lelah dan letih setelah setengah hari bekerja.
Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana senyap. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Jalannya tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam dibagian ekornya. Sesekali burung-burung itu menyelam, menghilang kedasar sungai sambil mencari mangsa dengan lincahnya.
Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat, burung yang terbiasa berenang-renang berlalu lalang dan berkejar-kejaran dikala senyap itu, kini sudah mulai berkurang oleh sebab perburuan yang semakin membabi buta, pada hal kemunculannya disaat-saat sepi setelah keadaan terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak, tetapi ada pula yang bermalas-malasan bertengger didahan dan ranting-ranting rumpun pohonan bambu sehingga mudah untuk diburu. Apalagi telurnya yang lebih mirip seukuran telur ayam seringkali menarik minat pemuda-pemuda kampung untuk mayoran蜉1. Hanya didekat perempuan tua itu burung-burung terkuok berani menampakkan diri.
Setelah burung-burung terkuok berlalu pergi. Datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung terkuok. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu seperti menyadari kekalahan dan kelemahannya, rela menunggu lalu silih berganti sampai menjelang sore.
Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Siang itu burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan, mereka memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw.
Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya mencoba menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut dipinggiran sungai.
Walau hanya sekedar melintas, sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun dipagi hari yang senantiasa disambut kehadirannya.
Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan Keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia. Hampir dibeberapa tempat Perempuan tua itu menjumpai sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama berdosis tinggi. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, katak, belut dan berbagai jenis serangga air yang mati disepanjang aliran sungai. Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil dan serangga air mati secara tidak wajar. sementara ditempat yang lain hampir setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang senapan angin untuk berburu apa saja disepanjang sungai.
Jika menyaksikan ulah para pemuda yang mencari sarang burung dengan membabi buta, seolah perempuan tua itu ingin melarang, mengusir atau bahkan menghardiknya dengan suara lantang. Tetapi semua itu hanya timbul sesaat didalam hatinya, ia merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi memarahinya. Ulah para pemuda itu pelan dan pasti telah merusak ekosistem sungai. Terakhir kali rombongan para pemuda beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas dan insektisida, racun-racun itu ditebar disepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai sebagai satu bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.
Sepulangnya dari sawah perempuan Tua itu menyempatkan waktunya untuk memulung kacang tanah yang telah selesai dipanen. Bagi orang-orang kampung seperti perempuan tua itu, memulung kacang tanah merupakan suatu kepuasan tersendiri. Biasanya dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Kacang tanah yang telah dimasak terlebih dahulu itu apabila dikeringkan bisa bertahan hingga enam bulan lamanya.
Ketika memulung hingga setengah hari biasanya terkumpul tiga ember ukuran sedang atau satu ember besar, lebih dari cukup untuk sekedar sebagai camilan selama satu minggu. Jika tersisa tidak sempat dimakan, maka kacang-kacang itu kemudian dikeringkan begitu seterusnya. Tanpa terasa kacang kering menjadi semakin banyak untuk persediaan camilan dimusim penghujan. Telah menjadi semacam tradisi apabila datang musim hujan, orang-orang dusun biasanya selalu ingin ngemil, terutama cemilan yang mengandung banyak karbohidrat. Semacam singkong, talas maupun umbi-umbian lainnya. Musim penghujan yang cenderung berhawa dingin diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghangatkan badan.
Setiap perempuan tua itu pulang dari sawah selalu membawa barang-barang bawaan macam kayu bakar, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang dijadikannya wadah untuk menampungnya. Apabila tidak membawa bakul, ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala dibutuhkan. Sekadar untuk kebutuhan mendadak seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya. Wadah-wadah cadangan itu adalah plastik-plastik lusuh yang didapat dari tepian sungai yang semula hanyut terbawa banjir. Sengaja disimpan sebagai wadah cadangan, diselipkan diantara bebatuan dibawah pohon nangka.
Sesampainya dirumah seorang perempuan paruh baya menghampirinya lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan paruh baya itu biasa dipanggil dengan panggilan Rukini. Seorang Ibu muda yang tengah menggendong seorang balita, sesekali anak kecil itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau mungkin anak kecil itu ingin mendekat. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, merah kecoklatan seperti terjerang panas matahari selama beberapa hari. Kini Ibu muda itu tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dengan suaminya.
"Bawa sayuran lembayung Mbok蜉1. Minta ya Mbok?" Pintanya dengan penuh keakraban.
"Bawa tapi sedikit, ini aku bawa daun singkong banyak kalau mau!"
"Daun singkong juga tak apa, kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong."
Tidak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini, karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban. Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak biasanya pemesan akan mengganti ongkos, ongkos tenaga ala kadarnya.
Perempuan Tua itu mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya. Perempuan Tua yang kesehariannya hidup bersahaja itu biasa dipanggil dengan panggilan Mbok Nah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Aminah, sesuai nama yang sebenarnya, Dwi Aminah. Di namakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak kedua. Dwi yang berarti dua, sebuah nama titisan turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa dilihat dan disaksikan hingga kini. Bvbbb
Kendati ia masih belum bisa melupakan ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu yang disadari telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, akan tetapi semua itu pada hakikatnya adalah suatu penjabaran dari sebuah toleransi semata dan bukan berarti harus selalu menaati ajaran-ajaran agama terdahulu. Diakui atau tidak ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja, karena itulah ia tidak akan membuang dan melupakan begitu saja ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa semenjak ratusan tahun silam.
Perempuan tua bermata cekung itu tinggal dikampung bendo, sebuah kampung yang secara administratif ikut dalam kawasan desa Rakusan. Meski letaknya terpencil, ada satu kebanggaan yang melingkupi warga kampung bendo, karena dekat dan terasa menyatu dengan jalan raya lintas provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu membelah tepat ditengah-tengah perkampungan, baru diresmikan enam tahun yang lalu, mulanya ratusan tahun yang lalu jalan itu adalah rel kereta api peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang tidak lagi terurus.
Pemerintah kala itu terpuruk tidak punya anggaran hanya untuk sekedar perawatan rel kereta api, sehingga rel sepanjang ratusan kilometer yang membentang diatas lahan dua provinsi itupun tidak lagi layak pakai, usang dan berjelaga disana-sini, baru kemudian beberapa tahun yang lalu lintasan rel kereta api itu disulap dan dialih fungsi menjadi jalan raya.
Di atas amben Mbok Nah mengakrabi sayurannya, mencuci bersih lalu menyimpannya diatas genuk yang berisi air supaya tetap terjaga kesegaranya, kemudian beranjak ke sumur membasuh kedua kaki dan tangannya hendak tidur siang. Tak lupa Sebelum merebahkan badannya dilihatnya sebuah kamar yang ditempati cucunya. Kamar itu berada tepat disamping kamarnya. Ternyata kamarnya kosong. Qohar bocah berusia enam tahun, cucu satu-satunya itu tak ada dikamarnya, pada hal biasanya diwaktu siang Qohar biasanya tidur siang. Hanya diwaktu malam terkadang Qohar tidur bersamanya, itupun lebih karena ketertarikannya pada dongeng-dongeng dan ceritanya semata.
"Kemanaa cucuku. Pintu terbuka, ayam dibiarkan masuk. kemana ini orangnya" Gumamnya dalam hati.
"Mak ! Maknyak" Panggil Qohar dengan polos.
Perempuan tua itu lalu menoleh ke asal suara. Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.
"Ada apaaa?" Tanyanya penasaran.
"Gemak蜉1ku hilang !" Jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat basah oleh air mata.
"Hilang yo wis! Jangan ditangisi. Mbok ya coba kamu pikir, burung gemak kok dikurung terus, apa kamu tidak kasihan. Bayangkan kalau seandainya kamu ku kurung didalam kamar sampai seharian atau bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?" Hibur Mbok Nah sembari menasehati.
"Burung itu juga mahluknya Gusti Allah, biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung kamu kekang nanti kamu akan dibalas di akhirat, kamu nanti dikurung juga seperti apa yang telah kamu perbuat terhadap burung itu." sambungnya.
“ Nanti gemakku tidur dimana?”
“ Wis tidak usah dipikir, nanti burung itu juga punya tempat sendiri di kebun”
Mulanya panggilan Maknyak dari Qohar kepada neneknya hanyalah gurauan semata, waktu itu Qohar baru saja menonton tv dirumah Fariz temannya. Usianya jauh lebih muda dari Qohar namun Fariz tergolong bongsor. Fariz yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol menjelang tidur itu tak pernah jauh-jauh dari permen coklat sehingga wajar gigi-giginya hitam dan keropos, lebih mirip dengan gigi nenek-nenek yang hitam coklat oleh baluran kapur sirih. Fariz, putra Pak Karim baru beberapa minggu dibelikan televisi.
Dirumah Fariz itu ia menonton televisi serial drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Disitu si Doel dan Mandra sang pemeran utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak menjadi suatu kebiasa'an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan sekaligus hiburan baginya. Ada semacam rasa teduh apabila panggilan Maknyak itu terlontar dari mulut Qohar cucunya.
"Di genuk蜉1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil seikat saja lalu berikan sama Mbok Rum! nanti terus pulang jangan keluyuran." Perintah Mbok Nah sembari menasehati.
"Kemarin sore kan sudah diberi Mak?" ujar Qohar, gayanya manja.
"Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!" Timpal Mbok Nah, enteng.
"Aku tidak makan. tapi..sarapan." kilahnya.
"Sarapan kok sore-sore. Sudah! Sana buruan, besok insya allah ku carikan gemak lagi." Perintahnya sambil menghibur, untuk mengobati kegalauan Qohar.
"Saya mau kencing dulu Mak!" Tunda Qohar sembari beralasan.
"Pinterr!! yo wis kencing dulu sana!" Ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.
Mbok Rum adalah seorang janda tua, hidup sebatangkara walau sebenarnya usianya terpaut jauh lebih muda dari Mbok Nah, tetapi Mbok Rum sudah sering sakit-sakitan sehingga terlihat lebih tua dari mbok Nah. Ia ibarat pohon beringin yang rimbun dengan berhiaskan dedaunan yang lebat akan tetapi cepat meranggas, daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering laksana menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun.
Ia tak punya keturunan maupun sanak saudara untuk mengisi tempat berbagi, seminggu yang lalu rumahnya yang lebih mirip gubuk itu tiba-tiba roboh berantakan. Kini gubuknya yang rata dengan tanah itu telah berdiri, tetangganya dikanan kiri gotong royong memperbaiki dan membangunnya kembali, sebelumnya ia menumpang makan dan tidur dirumah Kartini, seorang ibu muda yang hidup dalam kesendirian karena ditinggal pergi suaminya sejak usia perkawinannya masih seumuran jagung.
Rumah mbok Rum yang berdindingkan anyaman bambu itu ambruk rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing snewen. Kambing- kambing snewen itu milik Haji Malik, tiga ekor kambingnya terlepas dari kandang, dua ekor kambing jantannya ngebet ingin kawin, lalu mengejar seekor kambing betina yang tengah berahi. Ketiganya berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung.
Tanpa diduga sebelumnya salah satu kambing jantan tali tambangnya tersangkut disalah satu tiang rumah Mbok Rum. Rumah mungil itupun roboh hanya kurang dari hitungan menit. Imbasnya gubuk kecil itu pun ambruk berantakan. Untungya Mbok Rum waktu itu tengah pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat, sehingga selamat dari musibah. Kepada Mbok Rum pak Haji Malik hanya berujar. ”Wong rumahnya memang sudah reyot kok. Sudah waktunya ambruk”
Radiya
Malam begitu terang di malam purnama, dalam penanggalan tahun hijriyah biasanya jatuh tepat di pertengahan bulan. Beribu-ribu atau mungkin berjuta-juta bintang bertaburan menghiasi langit. Konon seluruh pasir diseluruh alam tak mampu mengimbangi jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi itu tak ada yang menjinjing, tiada pula yang menyangga tetapi tetap pada porosnya.
Itulah sebuah maha karya dari yang kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan sekalipun. Benda-benda angkasa bergerak, berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya pada hakikatnya tidak akan mampu manusia untuk menghitungnya apalagi menamakan kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing seperti beranak-pinak.
Malam itu Mbok Nah dan Qohar duduk selonjor di teras depan, bercengkrama berbagi cerita dan sesekali diselingi guyon sembari mengupas tebu sebagai cemilan. Tak lama kemudian rasa kantuknya tiba-tiba mulai menyerang perlahan, Qohar lalu segera pamit mohon diri untuk tidur terlebih dahulu. Mbok Nah masih bertahan di teras. Tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong, seperti ada sesuatu yang memasuki jasadnya. Kedua bola matanya menerawang, jasadnya seolah-olah terpaku dan bermetamorfosa menjadi sebuah patung.
Sementara di luar sana hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu diselingi walang kekek dan jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Dikeheningan malam itu ia teringat semasa kecil dulu sewaktu zaman penjajahan, ingatan masa lalunya pelan-pelan merapat dalam benaknya. Mbok Nah teringat sebuah peristiwa masa lalu, dirinya bersama Badrun, Amar dan Rodiyah mencuri tebu milik para cukong Belanda.
Mereka berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok dipinggir jalan, kejadian itu persis dimalam purnama. Tanpa dinyana sebelumnya truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar yang tengah tertidur. Ia berempat pun kaget bukan kepalang setelah salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun. Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu. Ia berempat lalu lari terbirit birit. Pada saat lari itulah mata Rodiyah sebelah kiri tertancap ujung tebu yang umumnya lancip dikedua ujungnya.
Tebu yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka, begitu ujung tebu yang menancap dibola mata sebelah kirinya dilepas, darah lalu mengucur dan mengalir perlahan. Bajunya yang telah usang menjadi basah dipenuhi darah. Rodiyah, perempuan yang selalu memakai tusuk konde itu merintih menahan rasa sakitnya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis dihantui rasa takut yang mencekam.
Ditengah malam ia berempat tidak pulang karena takut dimarahi orang tua. Mereka lalu tidur di sebuah gubuk dibawah pohon kapuk randu, kebetulan waktu itu tengah musim buah kapuk, Rodiyah lalu membalut sendiri kemudian mengelap dan membersihkan bekas-bekas darah disekitar mata dan sebagian mukanya dengan kapuk randu. Malam itu hingga fajar tiba ia berempat tidak bisa tidur, hanya bisa menangis bergelayut rasa takut dan meratapi nasib.
Atas peristiwa malam itu Rodiyah terluka lahir bathin, Luka-luka itu lalu membekas dikalbunya, luka bathin yang selalu basah dan tidak akan pernah kering sampai kapanpun. Jika luka-luka itu sampai mengering maka ia akan mudah tersulut api dan terus berkobar oleh hembusan angin perjuangan. Menginjak remaja ia dengan gigih memperjuangkan hak-hak orang-orang pribumi meski harus meniti hidup dengan satu mata. Hingga suatu saat ia dipersunting kang Umar tanpa prosesi lamaran terlebih dahulu.
Kang Umar, seorang pemuda kampung yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, sangat disegani dan diperhitungkan kaum penjajah kala itu. Mereka sama-sama gigih melawan segala bentuk penjajahan. Suatu ketika di tengah malam ia bersama suaminya berniat menyamar ke markas tentara Belanda. Dengan sangat hati-hati ia dan suaminya mengendap-endap masuk dari belakang gudang senjata, mereka berdua hendak mencuri amunisi dan peluru namun takdir berkata lain, ia dan suaminya diketahui tentara Belanda.
Keduanya lalu ditembak dengan puluhan selongsong peluru. Dalam peristiwa itu tubuh kang Umar tak mampu ditembus peluru dan berhasil melarikan diri, sedangkan Rodiyah langsung tergeletak tak berdaya. Dalam ketidak berdayaan itu ia lalu digelandang ke rumah letnan jenderal Van Gogh lalu diberondong dengan puluhan peluru disaksikan pasang-pasang mata para tentara. Puluhan peluru bersarang ditubuhnya lalu jasadnya dibuang di sebuah sumur belakang markas.
Entah kenapa bau harum semerbak menguar di sekitar sumur hingga tujuh hari lamanya. Sepeninggal Rodiyah tak ada tanda gelar ataupun jasa yang diberikan pemerintah kepadanya, tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana, meski tanpa uang tunjangan ataupun bantuan dari pemerintah, anak cucu Rodiyah tak kurang suatu apa, bahkan hidup mereka sekarang sudah lebih dari cukup dan menjadi orang terpandang di Desanya. Seandainya Rodiyah dan suaminya masih hidup dan menyaksikan berkah dan karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada anak cucunya, mungkin tangis bahagia akan senantiasa mengiringi hari-hari tuanya. Tak banyak yang diharapkan dari seorang Rodiyah selain kemerdekaan dan kemakmuran suatu bangsa.
Mengalun kecapi tua
Dan suara sumbang menggema
Juga dendang dan balada
Isi kisah hidupnya
Dia
Yang pernah merasakan
Pahitnya penjajahan.
Perang kemanusiaan telah sirna terabaikan.
Yang pernah merasakan
Kerasnya perjuangan.
Untuk kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Bertopang tongkat penyangga.
Dan timpang langkah kakinya.
Namun langkah nuraninya
Tetap tak tergoyahkan.
Dia
Masih bergelora semangat di dalam dada.
Walau tubuh telah renta termakan usia.
Bukan tanda jasa atau istana dan harta.
Tapi yang didambakan.
Negeri yang sentosa.
Kini tinggal tugas kita.
Wahai generasi muda.
Capai adil Makmur bangsa
Jaya.蜉1
Tanpa terasa dikedua pipinya yang telah keriput basah oleh airmata. Mbok Nah lalu segera beranjak tidur menyusul Qohar yang telah tertidur pulas.
Maqoomam Mahmuuda
Semburat cahaya emas mulai tampak diantara ranting pepohonan, pertanda fajar akan segera menyingsing. Bulan yang bertengger dibalik awan pun kian meredup. Tak kasat mata mentari diujung timur tiba-tiba terlihat merah menyala. Titik-titik embun yang begitu jernih masih setia bergelayut dipucuk-pucuk daun. Sementara itu sekumpulan ayam mulai keluar begitu pintu dapur dibuka. Mencari sesuatu untuk mengisi temboloknya disekitar pekarangan.
Pagi itu Mbok Nah pergi ke sawah, di rumah tinggal Qohar seorang yang masih tidur. begitu terbangun Qohar lalu berwudlu kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat dan diakhiri do'a sapu jagat yang senantiasa diajarkan Mbok Nah saban hari.
Ia menyusul Mbok Nah tanpa sarapan terlebih dahulu. Cukup hanya minum dua gelas air putih. Ia mengira nantinya akan pulang pagi-pagi seperti kemarin. Letak sawahnya yang jauh dari perkampungan tak mematahkan semangatnya untuk tetap menyusul neneknya. Di tengah perjalanan ia merasakan capek. dulu jika dirinya merasa lelah ada yang mau menggendongnya, tapi kali ini tak ada yang dimintai untuk menggendong. Ia lalu istirahat sejenak di bawah pohon asem di tepi jalan. Dari kejauhan ia melihat segerombolan perangkat desa sedang mengukur sawah. Biasanya orang-orang penting macam perangkat desa membawa serta makanan dan buah-buahan.
Para perangkat desa tengah menikmati hidangan. sekitar satu jam kemudian mereka kembali mengukur Sawah. persawahannya begitu luas dihiasi rimbunnya pohon tebu, maka apabila sisa-sisa makanan itu dimakan tidak akan ada yang tahu kecuali yang kuasa. Qohar dengan sigap merayap menuju letak makanan dan buah-buahan itu berada. Dengan tenang ia melahap sebahagian. Makanan-makanan itu sengaja ditinggal para perangkat desa, lalu mereka kembali membagi tugas mengukur persawahan.
Sesampainya di dekat persawahan ia melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput sambil sesekali berdiri membuang kumpulan rumput sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Mbok Nah yang hanya tinggal beberapa petak sengaja ditanami berbagai macam tanaman.
Dengan mengendap-endap dibawah pohon ketela, Qohar mencoba untuk mengelabuhi Mbok Nah dan membuatnya kaget. Tetapi hari itu agaknya nasib baik tidak memihak padanya. Sebelum rencana miringnya itu terlaksana, Mbok Nah terlebih dahulu tahu rencana cucu kesayangannya ini, karena hampir tiap hari ia dibuatnya kaget.
Sambil membungkuk menyiangi rumput Mbok Nah melirik cucunya. Sementara Qohar dengan sigap menghela nafas panjang-panjang hingga kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya
"Darrr !!!"
Seketika itu juga Mbok Nah terjatuh pingsan. Kali ini Mbok Nah mencoba membalas kenakalan Qohar. Dengan berpura-pura pingsan didepannya.
"Mak ! Maknyak kenapa ? bangun Mak!" Qohar membangunkannya dengan penuh ketakutan. Ia tiba-tiba begitu khawatir dengan keadaan neneknya.
Sambil menangis sesenggukan ia berujar seraya berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu. Qohar yang masih polos itupun tak tau harus bagaimana, sedangkan Mbok Nah masih melanjutkan sandiwaranya tanpa mempedulikan tangisan Qohar yang terus memelas.
"Mak! bangun Mak? nanti aku hidup dengan siapa?" Keluhnya. Tanpa terasa pipinya basah oleh air mata, diusapnya air mata yang bening itu.
Mbok Nah masih memejamkan matanya, tetapi ia tak kuasa menahan tawa, guratan senyum simpul yang samar tersungging semakin nyata.
"Aku tahu sekarang. Maknyak pura-pura kan? Tuh kaan pipinya dekil, Aku kan gak bisa ditipu" Selidiknya sembari manggut-manggut.
"Tak bisa ditipu tapi kok nangis." Sahutnya ketus.
"Aku kan pura-pura." Kilahnya dengan wajah malu-malu.
"Hmm...pura-pura." Mbok Nah pura-pura mengiyakan meski hatinya ingkar.
Tanpa terasa hari telah siang, suara burung terkuok mulai terdengar bersahut-sahutan di sudut-sudut sepanjang aliran sungai. Burung-burung kutilang pun tak mau kalah, mulai memamerkan suaranya yang khas, melengking cukup lama seperti seorang Qori'. Burung-burung itu memanggil kawanannya. Selang beberapa menit kemudian sekawanan burung kutilang terbang melayang meniti angin lalu hinggap di dahan-dahan di atas pucuk pohon kapuk randu. Seakan-akan suara lengkingan burung kutilang yang pertama adalah suatu instruksi dari atasan agar secepatnya mengatur barisan, bersatu dan bersama-sama mencari makan. Sementara di atas sana langit begitu cerah seperti terhampar karpet biru yang sangat luas. Sayup-sayup terlihat rembulan seperti merana dikesendiriannya. Kalah oleh pancaran sinar terik panasnya matahari.
Mereka berdua pulang, Mbok Nah menanak nasi sementara Qohar mulai asyik bermain egrang, mainan kuno yang cukup menantang, sanggup memacu adrenalin lebih kencang. Qohar dalam bermain egrang bisa betah berlama-lama. Setelah bosan ia lalu mencoba tantangan baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Qohar pergi ke kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Cukup lama ia sembunyi hingga akhirnya tertidur.
Usai memasak Mbok Nah mencari cucunya. Seluruh isi rumah telah diperiksa namun belum juga ditemukan. Ia mengira Qohar pergi kesungai seperti biasanya bersama teman-temannya. Setelah dicari kesana kemari ternyata tidak juga diketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes dari kelopak matanya yang cekung. Selama ini kedua bola matanya selalu kering, hanya basah dikala berdo'a di tengah malam dan ketika teringat susahnya hidup pada zaman penjajahan.
Kekuatan bathinnya yang kian ulet itu tak lepas dari peran suaminya. Ilmu siasat dari kang Karta itu diyakini telah merasuk ke dalam diri perempuan tua itu. Pesan-pesan kang Karta itu masih teringat dibenaknya.
Swiji bentuk roso tresno sangkeng Gusti Allah mareng poro kawulane iku, hakikote saben-saben manungso kapesten diwenehi ujian uriping dunyo. Saben-saben manungso kang katitis ono ingatase nduwur lemah kudu biso ngalahake ujineng ngalam dunyo ingkang datenge sangkeng gusti. Ora kalebu manungso pilihan kang agaweane nyerah lan pasrah tanpo arekoso. Opo maneh nyerah lan pasrahe tanpo obahe lelakon. Sak tumleking atusaning masalah kang thukul, sahinggo supados ditanamken ingatase awak dewene sifat gatot koco. Supoyo gampang olehe nemu kecukupaning bathin. Masalahing wong urip iku kapesten, ora nggo diwedheni, dilhayoni lan didhohi tinapi nggo diadhepi, sahinggo bakal dadi manungso kang mulyo.
Sebuah bentuk rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya. Pada hakikatnya setiap Manusia selalu diberi ujian dan tantangan. Setiap manusia yang terlahir di atas Bumi, sebagai konsekuensinya harus bisa dan berani menahlukkan akan sebuah tantangan dari sang Khalik. Namun bukan termasuk manusia pilihan apabila harus menyerah begitu saja. Apalagi penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu ditanamkan dalam diri manusia sifat ulet dan pantang menyerah. Agar mudah mencapai titik klimaks sebuah kepuasan bathin. Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk ditakuti, bukan untuk dikejar dan dijauhi. Tetapi untuk dihadapi. Sehingga kelak menjadi insan yang mendapat tempat yang tertinggi. 'Maqoomam mahmuuda'.
Sepeninggal Kang Karta Mbok Nah menjalani hidup bersama kedua putrinya, akan tetapi setelah dewasa putri pertamanya Marsinah secara diam-diam menyusul buleknya ke negeri Sakura, tetapi kepada Mbok Nah waktu itu ia menuturkan keinginannya pergi ke Jakarta menyusul Faridah tetangganya yang telah lebih dulu bekerja sebagai pedagang lontong pecel, karuan saja Mbok Nah tak mengijinkannya, tetapi toh akhirnya ia nekat pergi dari rumah. Putri keduanya meninggal beberapa saat setelah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Qohar Abdullah. Sebelum meninggal ia sempat mengutarakan keinginannya pergi dari rumah ingin menyusul Marsinah ke negeri Sakura secepatnya. Namun Mbok Nah melarangnya,
Sebenarnya Marsiyah ingin pergi ke negeri sakura lantaran ingin melupakan suatu masalah yang dianggapnya sebagai beban hidup. Ia mencoba untuk menafakuri jalan hidupnya yang monoton, ternyata suaminya kang Arman yang pengangguran itu belum bisa mencerna arti dari sebuah tanggung jawab. Seorang lelaki dengan kebiasaannya nongkrong dipinggir jalan dengan ditemani asap rokok dan secangkir kopi. Lama-lama marsiyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk, lanangan asu buntung.
Belum sempat ke negeri sakura menemui Marsinah ia telah lebih dulu memenuhi panggilan Ilahi, pergi menuju alam baka. Meski bathin Mbok Nah sebenarnya terpukul kala itu karena kehilangan seorang anak perempuan satu-satunya yang masih tersisa, namun ia berusaha tegar meski itu terasa berat. Mbok Nah hanyalah sesosok manusia yang terus mencoba untuk tawakkal dan berusaha mengikhlaskan kepergian putrinya. Toh kalaupun ditangisi dengan lelehan air mata seluas samudra marsiyah tak akan pernah kembali dan bertemu lagi dengannya, kecuali pertemuan itu hanya dalam mimpi.
Setelah kepergian Marsiyah Mbok Nah mensiasati tangisan Qohar kecil dengan merelakan puting susunya yang telah keriput untuk dijadikan pengganti ASI. Walau pada hakikatnya sudah tidak bisa keluar air susu setetespun, tetapi agaknya telah membuat Qohar terhibur. Setiap hari Qohar kecil diberi asupan air tajin sebagai pengganti susu. Dan kini cucu satu-satunya yang senantiasa dicintainya itu hilang entah kemana. Ia telah mencoba bertanya kepada para tetangga tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak mengetahui keberadaannya, para tetangga yang bersimpati datang silih berganti hingga sore menjelang lalu kemudian satu persatu pamit pulang.
Di saat suasana kembali lengang pikirannya kembali buyar. Aneka macam makanan dan buah-buahan di meja pemberian tetangga sama sekali tak disentuhnya. Tidak ada nafsu makan dan juga gairah hidup malam itu. Meski galau bercampur rasa gundah, ia masih saja berharap dan tetap meyakini bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya tetapi rasa khawatir itu semakin bergelayut dalam pikirannya. sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta semakin lemas tak berdaya, hanya pasrah kepada yang Kuasa yang ia mampu. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju sumur mengambil air wudlu hendak melaksanakan shalat ashar. Belum sempat melaksanakan wudlu ia dikejutkan suara gesekan sendok dan piring. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring nasi di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.
"Qohar!kamu masih ingat rumah?" Ujar Mbok Nah tak habis pikir."Ingat makan lagi.."
"Saya lapar Mak!” Sergahnya. Mengalihkan pembicaraan.
"Kalau lapar ya makan jangan keluyuran. Kamu tau!tadi kamu ku cari sampai buyeng"
"Saya tidak tahu". Katanya polos."Ooiya Mak! Aku ingat tadi siang ngumpet dibawah kolong tempat tidur sampai ketiduran." Ujarnya berselidik mencoba mengingat kejadian barusan.
"Jadi kamu sengaja ngumpet?" Tanyanya dengan geram.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Dassar gemblung!"
Kali ini Mbok Nah benar-benar lega, tanpa dikomando akhirnya Qohar kembali ke rumah.
"Ooiya di lemari tadi ada berkat dari Mbok Tamah. Coba kamu makan dari pada basi nantinya."
"Kayaknya sudah dimakan kucing Mak!" kilahnya.
"Apa? sudah dimakan kucing! Wong di lemari kok dimakan kucing, kucing berkepala hitam ?" Kata Mbok Nah berseloroh.
"Heemm" Jawab Qohar cengengesan dan tersenyum geli, pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung menyerupai donald bebek.
"Kamu tadi sudah sholat?" Tanya Mbok Nah mengalihkan pembicaraan.
"Sudah Mak." jawabnya mantap.
"Sudah kemarin siang? sekarang sudah ashar. Di kolong tempat tidur itu kamu ketiduran sejak masih dzuhur. Sekarang kamu mandi sana! Terus sholat. Selama kamu masih doyan nasi kamu harus sholat. Supaya selalu bersih dan sehat."
"Iya Mak."
Kala mentari belum menenggelamkan diri di ujung barat Qohar telah bersolek diri hendak ke musholla. Disandangnya baju koko, peci, seutas sarung serta sebuah kitab suci. Petang itu qohar berangkat sendiri tanpa ditemani mbok Nah seperti biasanya. Di dapur mbok Nah tengah mempersiapkan menu berbuka puasa. Telah menjadi semacam tradisi apabila tiada aral melintang mbok Nah rutin melaksanakan puasa senin kamis. Menu tambahan untuk cemilan malam nanti telah disediakan tebu sebanyak tiga batang. Begitu masakan telah tersaji dimeja makan lalu ia mengupas tebu di teras belakang sembari menunggu waktu berbuka puasa.
Suara adzan maghrib telah berkumandang memecah kesunyian petang itu. Diteguknya dawet hangat yang sebelumnya telah dicampur cairan kental gula jawa dan aneka macam rempah-rempah. Manis dan sedap aromanya menggugah selera. Dawet manis suam-suam kuku yang hampir segelas penuh itupun langsung membasahi kerongkongannya yang semula kering. Dawet manis itu seakan-akan langsung merembes menembus kulit arinya yang tipis.
Malam itu selepas sholat isya' Mbok Nah berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor, tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya, terbersit keinginan dibenaknya untuk membeli gulai kambing. Disuruhnya Qohar ke warung gulai Mbok pairah.Tanpa perasaan terbebani Qohar menyanggupinya. Sebenarnya ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh apalagi waktunya malam hari. Tetapi dihadapan neneknya ia mencoba memperlihatkan keberanian dan percaya diri.
Diluar rumah banyak anak-anak seusianya yang tengah bermain singkongan蜉1. Qohar lalu mengajak Rudi, usianya dua tahun lebih tua darinya namun ia mempunyai sifat pemalu dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil Rudi pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si Belang sehingga menyisakan mental minder pada dirinya. Mereka pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung itu. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah. Cukup lama mereka menunggu, akhirnya dapat juga gulai kambingnya. Mereka pun membawanya pulang.
Dirumah Mbok Nah sudah tertidur di atas kursi panjangnya.
"Maknyak, bangun Mak! ini gulainya nanti keburu adem."
"Taruh saja di lemari nanti bisa dihangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya ditutup!" Perintah Mbok Nah seraya ke tempat tidur.
Di tengah malam Mbok Nah terbangun lalu melaksanakan shalat tahajjud diakhiri baca'an Do'a Abu Nawas.
Ilaahi Lastulil Firdausi Ahlaa
Walaa Aqwaa A'lannaril Jakhiimi
Fahablii Taubatan waghfir Dlunuubi
Fainnaka Ghaafiruddzanbil Adliimi.
Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,
Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa umri naaqishun fi kulli yaaumi,
Wa dzanbi zaaidun kaifahtimaali
Ilaahi abdukal 'aashi ataaka,
Muqirran bid dzunuubi
Wa qad di'aaka
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,
Wain tadrud faman narju siwaaka蜉1
Usai berdo'a lalu ke dapur hendak makan malam dengan gulai Kambing. Tak lupa didalam hatinya mengucap syukur atas rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Kenikmatan dunia kini telah dicecapnya. Ia selalu bersyukur jika teringat bagaimana zaman peperangan dahulu harus hidup diantara dentuman bom dan peluru. Jiwa tergoncang, dihantui rasa takut dan penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di sore hari telah biasa.
Selesai menyantap makan malam ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.
Tahukah kamu ku ciumimu disaat kamu terlelap.
Tahukah kamu ku dekap kamu disaat kamu termimpi.
Tahukah kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.
Tahukah kamu hatiku ini adalah hatimu.
Tahukah kamu disetiap hidupku ku kagumi wajahmu.
Nanti kau kan tahu
Nanti kau kan dengar bahwa aku begitu.
Kamu-kamu adalah surga yang ada.
Dalam hidupku dalam kenyataanku.
Kamu aku adalah penghuni surga.
Tahukah kamu disaat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.
Tahukah kamu disaat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah kamu yang cuma aku yang punya cinta untukmu
Tahukah kamu yang cuma aku yang rela mati untukmu蜉1.
Di keheningan malam Mbok Nah mencoba merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian, dari matanya yang cekung setetes air matanya terjatuh. Mbok Nah teringat semasa kecilnya. di usia belia dengan penuh kesadaran ia turut serta menyelamatkan nyawa pamannya secara tidak langsung. Waktu itu pamannya, Ki Rasmin mendapatkan tugas dari letnan Umar. Menyelamatkan belasan pucuk senjata dan ratusan selongsong peluru timah yang hendak dirampas tentara kolonial. Senjata dan puluhan selongsong peluru itu lalu disimpan rapi dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasmin, menelusuri tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya tiga orang tentara Belanda menghadang perjalanan. Sontak Ki Rasmin seolah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar lalu keluar keringat dingin. Mendadak kedua tangannya juga dingin seperti mayat.
Mbok Nah yang masih polos waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti dikejar sekawanan serigala, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek ia minta tolong kepada salah seorang tentara. Di tunjukkannya luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang kampung terutama anak-anak kecil. Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk akan semakin terlihat mengelupas kulitnya dan mengeluarkan darah yang terus menetes beberapa saat. Kepada salah seorang tentara itu ia meminta obat luka yang dideritanya. Tak dinyana setelah melihat tetesan darah hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta dari segumpal tanah, dilengkapi akal pikiran dan hati nurani, sanggup mendobrak tembok keegoisan. seorang manusia yang hakikatnya tercipta untuk saling tolong menolong. Tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu, ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu ia merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia. Apabila peristiwa itu bersandar dalam ingatannya, hatinya selalu menyeruak rasa bangga, teriring rasa syukur hingga mampu menggetarkan jiwanya. Satu ma'unah dari Tuhan.
Selingkuh
Untuk yang kesekian
Ku selingkuh
Berpaling dari rahmatmu
Berbelok dari jalanmu
Kusadari itu
Aku lalai dari tugas-tugas
Ingkari kenyataan
Yang kian kentara
Esok atau lusa
Hanya padamu ku kan kembali
Kepadamu pula ku memohon
Di ujung usiaku
Kucoba tafakuri
Jejak-jejak langkahku
Kotor penuh debu
Tetapi
Kala dosa-dosa menggunung
Berlapis-lapis bertumpuk-tumpuk
Akan memutih lalu bening
Memudar berpendar berpencar
Ketika menyeruak satu penyesalan
Sekilas kering kerontang
Gurun pasir gurun sahara
Tersapu hujan semalam
Usai melaksanakan shalat shubuh Mbok Nah menuju dapur untuk menanak nasi, diambilnya air satu ember dari sumur dibelakang rumah. Sambil menunggu nasi matang Mbok Nah membersihkan kamar tidur cucunya setelah sebelumnya meracik bumbu-bumbu masakan. Mbok Nah kaget melihat senapan angin tergeletak dipinggiran bale-bale bilik disamping Qohar. Rupanya tanpa sepengetahuannya Qohar mengambil senapan angin dari balik lemari pakaian.
Teringat dibenak Mbok Nah kejadian puluhan tahun silam. Kenangan pahit masa-masa sulit yang musti dilakoni dalam keprihatinan. Di saat sebelum masa kemerdekaan diproklamirkan, pada masa pendudukan tentara Jepang. Awal kedatangannya ke Indonesia menunjukkan misi persaudaraan, baru beberapa bulan kemudian kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.
Waktu itu sekitar tahun 1942 Mbok Nah dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Saking sulitnya hidup dimasa itu umbi-umbian menjadi sesuatu hal yang biasa dimakan sehari-hari sebagai makanan pokok. Untuk mendapatkan umbi-umbiannya juga susah, harus berjalan menaiki bukit sejauh enam hingga tujuh kilometer. Singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak banyak dari warga kampung yang kuat membelinya, hanya terbatas disebagian kalangan. Jika ingin menikmati lezatnya singkong rebus kala itu tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga, tetapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai delapan kilo meter, jalan yang ditempuh berkelok-kelok dan lebarnya kurang dari satu meter. Hanya dilereng-lereng gunung tanaman singkong dibudidayakan.
Di saat serba sulit itulah Mbok Nah menemukan Oshi koizumi seorang Serdadu Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengan Mbok Nah. Satu hal yang unik dari serdadu Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu salah tingkah. Oshi waktu itu terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Dengan tanggap tanpa memperdulikan siapa dan asal usulnya, Mbok Nah datang sebagai malaikat penyelamat. Didalam sebuah gua yang tak begitu dalam seorang yang diketahui sebagai tentara jepang itu dirawat dengan ala kadarnya hingga sembuh. Untuk mengobati luka-luka didadanya oleh tusukan-tusukan kawat, Mbok Nah memakai ramuan kuno berupa perasan daun binahong serta air liur siput.
Atas jasa- jasa dan kebaikan Mbok Nah, Oshi selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar menemui Mbok Nah di sebuah gubuk kecil tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh makanan khas jepang. Kebiasaan itu dilakoninya setiap selesai bertugas. Sebelum pulang kenegaranya Oshi sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin dan celana kolor. Melihat kenyataan pahit itu kang karta menyadari kekurangannya dan mereka pun saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong umur sebulan sudah dirusak babi-babi hutan, tetapi musuh utama masa itu bukan hanya babi hutan tetapi juga sesama manusia. Kala itu padi belum menguning sempurna telah disikat habis oleh orang-orang yang kelaparan. Orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan, menungguinya siang dan malam, nyawa sebagai taruhannya. Kalau pun padi itu berhasil dipanen bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka, kaki tangan para Penjajah. Akhir dari semua itu sawah dan lahan tak terhitung luasnya sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang pribumi lebih memilih membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya lalu hasilnya diserahkan kepada orang lain.
Setiap serdadu Jepang itu datang memberi makanan kepadanya, ia tidak langsung memakannya sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian dibawanya pulang makanan itu, begitu seterusnya. Peristiwa itu berjalan hingga dua tahun, tepatnya setelah pecah perang dunia kedua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak dengan dihancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika serikat1. Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour, sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut di kepulauan Hawaii Amerika Serikat.
Mulanya Setiap kali Mbok Nah pulang membawa makanan, Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu didapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya karena tidak kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kurang.
Mbok Nah tak pernah sekalipun memberitahukan perihal keberadaan senapan angin yang tergeletak dibalik lemari. Muncul beribu tanda tanya dibenaknya namun urung ia tanyakan, menunggu suasana yang tepat untuk menanyakannya. Usai menanak nasi dan mencuci piring Mbok Nah segera membangunkan Qohar sambil mengelitiki kaki kirinya seperti yang dilakukannya setiap hari. Begitu terbangun dengan cekatan Qohar pergi ke padasan蜉1 dan cuci muka kemudian kembali ke kamar tidur dan mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
" Kok tidak shalat?
" kesiangan Mak!" Timpalnya beralasan.
"Ya sudah, sana sarapan!"
" Lauknya apa? "
"Pecel terong sama tempe."
"Kok tiap hari makan terong terus Mak!"
"Maunya sama ayam ?"
"Iya." Qohar mengangguk senang.
"Ya sudah, makan sama ayam saja di kebun! Sudah berapa kali Maknyak bilang, kita harus hidup sederhana. kalau perlu jangan sampai makan lauk daging ayam, kambing dan binatang darat lainnya, kecuali ikan hasil tangkapan dari laut. Kita sebagai Manusia harus ada bedanya dengan binatang agar menjadi mahluk yang dicintai Allah." Begitulah pesan Mbok Nah pada Qohar berkali- kali.
Sebuah prinsip'hidup sederhana' dipegang teguh oleh Mbok Nah atas nasehat kyai Idris, kyai kampung di desa tetangga. Kyai yang berkepribadian teguh dan bersahaja itu sangat menjunjung tinggi nama besarnya, tempat Mbok Nah selama ini berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.
Pernah dalam sebuah kesempatan mbok nah bertandang ke rumah kyai idris ia ingin menanyakan perihal masalah wanita yang diasumsikan sebagian masyarakat sebagai kaum lemah yang selalu dinomor duakan baik itu di dunia maupun di akhirat. Kiai Idris kala itu hanya tersenyum dan tidak memberikan saran apapun kepada Mbok Nah.
Kiai Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang persoalan Agama yang belum dipahaminya. Ia mewakili kaum muslimah dalam bertanya langsung kepada Rasulullah. Ia adalah Asma binti yazid bin sakan. Asma binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung, wanita pemberani yang halus perasaannya dan budi bahasanya. Asma binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkenaan dengan tawanan wanita.
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang Aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus engkau bagi seluruh kaum pria dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai'atmu. Namun kami sebagai kaum wanita terkurung dan terbatas langkah kami, kami hanya tinggal di rumah, kami yang mengandung dan melahirkan anak-anak mereka, kami menjadi penyangga rumah tangga kaum pria dan kami adalah tempat melampiasan syahwat mereka. Akan tetapi kaum pria diberi kelebihan dan mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat jum'at, mengantar jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, mendidik anak-anak mereka, Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dari amalan mereka?"
Mendengar pertanyaan tersebut Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda kepada para sahabatnya, " Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?" Para sahabat menjawab. " Benar. Kami belum pernah mendengarnya ya rosululloh!" Kemudian Rosululloh bersabda : Kembalilah Wahai Asma dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari mereka kepada suaminya dan meminta keridhaan suaminya itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan. Pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat kaum pria yang engkau sebutkan itu."
Beliau adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan dien蜉1 yang bagus dan ahli argumen sehingga beliau dijuluki sebagai 'juru bicara wanita'. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Begitulah penuturan KH Idris yang mengalir begitu saja.
Penuturan KH Idris itu semakin memantapkan prinsip hidupnya. Pelan dan pasti mampu mengobati kegundahan hati yang selama ini menghantuinya. Selama apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendatangkan madhorot bagi orang lain maka selama itu pula mubah suatu amalan untuk di amalkan. Di usia senja ia tak lagi kehilangan semangat tapi justru ia malah menemukan semangat yang terbarukan.
Sepiring nasi beserta lauknya dimakan hingga tiada tersisa, lalu dibawanya piring itu ke sumur belakang dan dicuci bersih. Mbok Nah yang sejak tadi berada disamping sumur mendekatinya.
"Qohar! Sejak kapan kamu bermain-main senapan di kamar?" Tanya Mbok Nah sambil menenteng ember hendak menyiram tanaman.
“Tau dari mana senapan itu ku simpan ?" Tanyanya dengan suara direndahkan.
“Dari kura-kura” jawabnya dengan senyuman yang tersungging di pipi dekilnya.
“kura-kura! yang benar saja. Bagaimana itu bisa terjadi?” Mbok Nah agak penasaran mendengarnya.
“Ceritanya saya cari kura-kuraku yang lepas disekitar kamar maknyak. Eh tak taunya kura-kuranya ngumpet dibawah lemari, trus tak ambil dan kutemukan sesuatu seperti gagang panjang dan ternyata ya bedil itu, apa saya salah ?"
"Siapa yang menyalahkan. Tapi lain kali tanya dulu biar nanti Maknyak ajarin."
"Benar Mak ?"
"Apa untungnya Maknyak berbohong."
“Emang maknyak bisa?”
“Kalau hanya menggendongnya ya bisa”
“Kalau memakainya?”
“Buat apa? Buat gagah-gagahan. Tidak malu sama jangkrik yang bisa berjalan, melompat dan terbang!”
Demikianlah setiap kali Mbok Nah mengakhiri sebuah nasehat apabila orang yang dinasehati memperlihatkan tanda ketidakpercayaan. Sementara itu Qohar hanya bisa diam.
Masalah
Sekumpulan manusia
Disebuah tempat
Tersiksa antara hidup dan mati
Kehilangan arah pintu surga
Meski sepanjang hayat
Bersujud bertahun-tahun
Mereka adalah mereka
Dengan segala waktu
Menghujam didada
Beribu dengki
Tak henti panjangkan urusan
Tak lekang olehnya
Pembiaran
menggantung
Menelikung
Ketidak berdayaan.
Biasanya setelah sarapan Mbok Nah pergi ke ladang, tetapi tidak di pagi itu. Kepalanya merasakan pusing. Dengan bergelayut rasa bimbang ia langkahkan kakinya menuju kebun pisang tak jauh dari rumahnya sambil membawa parang dan cangkul. Ia mengira dengan pergi ke kebun rasa nyeri yang dideritanya berangsur-angsur sembuh, karena tempatnya teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.
Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya hari itu shobari tak bertegur sapa dengan Mbok Nah. Dari raut muka dan sorot matanya terlihat seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya. Namun Ia hanya nggerundel蜉1 seperti orang yang sedang menahan amarah. Sebagai Orang tua Mbok Nah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.
"Pisangnya sudah tua Shob?" Tanya Mbok Nah serius tanpa basa-basi.
"Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!" Jawabnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki yang berjerawat hampir di seluruh badannya itu agaknya ingin menguasai tanah yang belum selesai dibukukan itu.
"Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisangnya!" Ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris setelah mendengar perkataan Shobari yang kasar , kata-kata itu telah menghujam tepat di jantung hati perempuan tua itu. Hatinya berdarah dan meninggalkan luka, luka yang tidak mudah untuk diobati apalagi disembuhkan. Sambil menahan amarah Mbok Nah pergi meninggalkan kebunnya begitu saja.
Seumur hidup dalam kamus hidupnya selalu memegang prinsip pantang mengalah dan menangis dihadapan siapapun, bahkan pada preman kampung sekalipun. Tapi hari itu Mbok Nah yang setegar karang di lautan itu hanya bisa menjerit sakit didalam bathin. Lalu kemudian ditumpahkan di rumah. Qohar yang tak tau duduk perkaranya pun ikut-ikutan bersedih.
Mbok Nah adalah perempuan biasa yang gemar bersilaturrahim, namun bukan berarti Mbok Nah hidup tanpa musuh, ada saja rasa dengki dari sebagian tetangga maupun saudaranya sendiri tanpa diketahui sebabnya. Tetapi Mbok Nah selalu berusaha mengalah dan memposisikan dirinya sebagai orang tua yang lemah, ia merasa sebagai perempuan biasa yang lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila sedang terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu dikenalnya, bahkan dengan perangkat desa sekali pun.
Pernah suatu ketika Mbok Nah berhadapan dan perang mulut dengan pak Taufik seorang ladu. Akar masalahnya, waktu itu jatah pengairan belum selesai, tinggal kurang lebih hanya seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air tersebut. Kontan Mbok Nah tak terima dan diacungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang Mbok Nah meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik tetap bergeming. Tak mempedulikan kemarahan Mbok Nah. Bahkan pak Taufik malah berbalik mengancam akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.
Segagah apapun Mbok Nah, ia juga seorang manusia yang punya hati sanubari, ia tak mungkin berbuat senekat itu dan pak Taufik tahu betul siapa itu Mbok Nah watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan dari Mbok Nah. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam mbok Nah.
Mengetahui gertak sambalnya tak di gubris Mbok Nah tak habis akal. Di lucutinya pakaian yang menempel di badannya satu persatu hingga kemudian terlihat bertelanjang, tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh Mbok Nah. Tanpa banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak dengan mulut menganga, tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.
Masya Allah......
Begitu suasana terasa aman lalu dikenakan kembali pakaianya, Mbok Nah tak peduli dengan para tetangga sawah yang melihatnya. Kemudian dengan cekatan Mbok Nah berlalu pergi menuju sawah pak Taufik mengambil jatah pengairan dan mengalirkan ke sawahnya. Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu di pematang sawah beberapa hari lamanya.
Kebun yang digarap Shobari itu adalah milik Mbok Nah. Waktu itu ia punya lahan perkebunan di beberapa tempat, tidak semua lahan terawat baik, dibeberapa tempat dibiarkan tak digarap. Salah satunya adalah lahan yang dirawat pak shobari yang ditanami pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. waktu itu tanahnya diberikan pada Mbok Rini dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat pada masa itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.
Mbok Rini, Ibu dari Shobari keadaannya memprihatinkan kala itu. Hidup dengan serba kekurangan hingga kemudian mengundang rasa simpati dari Mbok Nah. Sebagai mahluk sosial, Mbok Nah tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata. Lalu disuruhlah Mbok Rini menggarap lahan tersebut Seumur hidup dengan syarat, apabila Allah lebih dulu mengambil nyawa Mbok Nah, maka tanah itu menjadi milik Mbok Rini. Dan sebaliknya apabila Mbok Rini diambil nyawanya oleh Allah terlebih dahulu maka tanah itu kembali menjadi milik Mbok Nah. Tetapi akhirnya Mbok Rini telah lebih dulu dipanggil ke haribaan Ilahi. Kini tanah itu jatuh ke tangan Mbok Nah dengan sendirinya. Atas kebijaksanaannya maka hasil kebun boleh di ambil anak-anaknya selama masih mau merawat dan memelihara lahan pekarangan tersebut dengan cara dibagi sepertiga. Awalnya Mbok Nah memberi pilihan satu per dua namun dari pihak anak-anak Mbok Rini tak menyetujui dan mengajukan usul agar dibagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Mbok Rini dan satu bagian untuk Mbok Nah. Atas usulan itu Mbok Nah menyetujuinya. Tetapi agaknya sifat serakah yang pada dasarnya telah tertanam dalam setiap diri manusia menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas. Shobari seorang lelaki yang telah memiliki banyak uban itu seolah ingin menguasainya
Tak ingin dirundung sedih yang tak berkesudahan setelah sebelumnya disapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya. Mbok Nah tak habis harapan untuk melanjutkan hidup. Dengan sisa serpihan asa yang ada Mbok Nah pergi ke kebun menuju dua buah pohon dua abad, pohon sawo. Diperhatikannya dengan seksama satu persatu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Mbok Nah lalu memanggil qohar dengan suara datar, menyuruh untuk diambilkan horok.
"Haar ...Qohar!"
"Ada apa Mak?"
"Maknyak ambilkan horok蜉1 disamping rumah!"
"Ya Mak. Tunggu sebentar!!"
Sawo telah terkumpul sebanyak dua ember lalu di sortir terlebih dahulu kemudian dicuci bersih dan dijemur hingga layu. Manisnya sawo tidak langsung bisa dinikmati kecuali yang sudah matang di pohon. Diperlukan serangkaian panjang mengiringi proses masa kematangannya. Hanya ada beberapa buah yang telah matang di pohon. Begitu dicecap berasa manis penuh air.
Alhamdulillah...
Rasa syukur yang agung kepada Tuhan mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah berapa kali Mbok Nah menjadi tempat pergunjingan para tetangga dan masyarakat mengenai ulahnya yang dinilai melanggar kaidah hukum agama oleh ibu-ibu pengajian. Seringkali selentingan itu terdengar langsung di telinga Mbok Nah, seringkali pula rasa benci dari sebagian tetangga itu sengaja dihembuskan ke telinga Qohar.
Besok hari senin legi Mbok Nah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari itu dibacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek serta menyuguhkan bubur merah putih untuk di bacakan do'a-do'a lalu kemudian bubur merah putih itu dibagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Allah yang Kuasa. Mbok Nah segera menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur sepertinya telah menipis hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. Mbok Nah hendak ke kebun mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat dilihatnya Qohar tengah bermain senapan angin didalam kamar.
"Maknyak mau ke kebun. Jaga rumah!" Ujar Mbok Nah sambil menyibak tirai pintu kamarnya.
"Aku ikut Mak!" sahut Qohar manja.
"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!" Kata Mbok Nah berpesan.
Dengan terburu disimpannya Senapan angin itu ke dalam laci dibawah lemari lalu berlari mengejar Mbok Nah.
Di tepi jalan raya mereka berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya. Kali ini Mbok Nah tidak langsung menuju ke sawah tetapi menuju sebuah pohon asem jawa yang buahnya lebat tepat ditepi jalan. Mbok Nah mengais sisa-sisa asem tua yang berjatuhan. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkan Qohar untuk segera memanjat pohon tersebut.
Dipetiknya beberapa dompolan buah asem yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah. Tanpa diduga sebelumnya sedompol buah asem yang tengah masak yang baru dipetiknya itu jatuh mengenai kepala Mbok Nah. Tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.
"Aduh!! " Ujar Mbok Nah spontan setelah buah asem jatuh mengenai kepalanya.
" Tidak apa-apa kan Mak?"
" Iya, tidak apa-apa."
Pohon asem meski tinggi dan besar tetapi buahnya hanya seukuran jari, apabila telah masak dan mulai berjatuhan meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asem itu berbuah sebesar buah semangka atau mungkin sebesar labu pasti orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya atau bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi kebanyakan pohon yang besar dan tinggi buahnya tidak sebesar buah semangka. Semua itu adalah satu bukti keadilan Tuhan yang hanya dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang berfikir.
Tanpa disadarinya Mobil merah silver diparkir tak jauh dari pohon asem. Sebelumnya tak terdengar suara bising sama sekali. Tak seberapa lama kemudian keluar dua orang laki-laki dari dalam mobil. Salah satunya berkulit putih, matanya sipit dan berkacamata hitam. Dan seorang lagi berperawakan sedang seperti orang jawa pada umumnya. Mereka lalu menghampiri Mbok Nah yang tengah mengumpulkan buah Asem. Dengan agak terbata-bata berbahasa jawa salah seorang dari mereka lalu memperkenalkan diri. Seorang yang bermata sipit Pak Yusuf chen lau seorang wakil manajer direktur sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit. Dan seorang lagi Pak Amin ong gwe seorang Betawi berdarah jawa sunda menjabat Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota. Mereka kemudian menanyakan kepada Mbok Nah perihal tanah kosong disepanjang jalan.
Mbok Nah kemudian menunjukkan lahan yang tengah mangkrak di dua tempat ditepi Jalan Raya. Dari selentingan yang beredar di masyarakat rencananya dua tanah kapling tersebut akan segera dijual oleh pemiliknya. Yang satu tempat milik Bu Marni tetangga jauh mbok Nah. Seorang perempuan paruh baya yang lebih mementingkan gengsi dari pada fungsi serta menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang keturunan priyayi, trah darah biru. Perempuan paruh baya itu ingin menjual tanah kapling warisan ayahandanya untuk membiayai perjalanan ibadah Haji tahun depan. Yang kedua tanah kapling milik pak Sarwo yang rencananya akan hijrah ke Lampung membuka usaha warung pecel di sana.
Lahan itu berada dijalur lintas Provinsi, cocok untuk pengembangan usaha dengan hasil alamnya yang masih melimpah serta didukung ketersediaan bahan baku dari para petani yang relative murah. Sayangnya oleh orang-orang kampung tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, bahkan tidak jarang di beberapa tempat dibiarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi kaum urban di perkotaan, menjadi buruh kaum borjuis.
Hari telah sore mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Mbok Nah hanya menyarankan agar pertemuannya disambung dilain waktu, bertandang ke rumah. Mereka lalu mohon diri kemudian memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Diterimanya amplop itu lalu dengan terburu-buru Mbok Nah dan Qohar bergegas melanjutkan perjalanan menuju kebun. Mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.
Langit dibagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. perlahan rembulan memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan di ikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa.
Selesai shalat maghrib dan berdzikir Mbok Nah teringat dua hari yang lalu Mbok Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah kecil seumuran Qohar yang menderita sakit cikungunya akut. Masih tergolek lemas hingga beberapa minggu lamanya. Tetangga kampung sebelah.
Selesai shalat Isya’ Mbok Nah ke rumah Mbok Sarmah, mengajaknya menjenguk Bambang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"
"Ya. Jadi Mbok." Jawab Mbok Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku ganti pakaian dulu”.
Mereka berangkat bersama. Mbok nah membawa setandan pisang dan sekilo gula merah. Tak ingin ketinggalan, Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumah rapat-rapat.
Di rumah Bambang bocah malang itu, Mbok Nah tertegun melihat kenyataan. Dengan segala upaya ia dan Mbok Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghiburnya, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang dilakoni Bambang.
Di usianya yang ke tujuh berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak berusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit disekujur badannya yang ingin dipijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun terasa sulit untuk melafadzkannya. Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa dengan menggeleng-gelengkan kepala. Di rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang hanya ada Bambang dan kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah Ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.
Menyaksikan itu semua, Mbok Nah hanya bisa menjerit dalam bathin. Seakan-akan protes kepada Tuhan. Kenapa semua ini harus ditimpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan? Mungkin saja orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di akhirat kelak. Bersanding menjadi manusia pilihan atau bahkan mungkin menjadi kekasihnya.
Di tengah malam mereka bertiga pamit pulang. Dengan membawa sejuta hikmah teriring rasa syukur1 kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan selama ini berupa kesehatan jasmani maupun rohani.
Pagi-pagi sekali Mbok Nah telah selesai menanak bubur merah putih. Untuk memperingati hari kematian kang karta. Sedangkan Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut disertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya Qohar lalu menyambangi rumah teman-temannya kemudian acarapun dimulai. Kali ini acaranya di Imami oleh mbok Nah sendiri. Di awali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.
Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun dibagikan dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Mbok Nah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.
Sesampai dijalan raya perjalanan terhenti. Di ujung kampung di sepanjang pinggir jalan anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan pak Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara klakson mobil mulai bersaut-sautan persis suara ambulans. Di tambah suara sirine meraung-raung memekakkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak itu yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan pasang-pasang mata yang penuh kedongkolan disepanjang pinggiran jalan Raya yang menjadi tempat penggembalaan ternak-ternak na'as itu. Akhir dari semua itu adalah banyaknya binatang ternak yang luka-luka dan hilang karena lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula beberapa anakan ternak yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri.
Menyaksikan sandiwara nyata didepan mata hanyalah menyisakan trenyuh. Mbok Nah dan Qohar lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju sawah untuk memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kandang setengah karung.
Happy birtday
Mengapa sesal berlabuh
Di ujung senja
Disudut-sudut cakrawala
Di akhir cerita
Kini umurku berkurang tiap waktu
Tanpa kusadari
Sebuah kenyataan
Menghadang
Menerjang
Tak jua ku pahami
Dimana kemana ku harus berlabuh
Diantara serpihan-serpihan sisa umur
Kan kurangkai mozaik keindahan
Mengiring perjalananku
Hari-hari berlalu tanpa terasa, seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Sebagian insan berlomba-lomba membangun jati dirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Musim kemarau telah bergeser dan berganti musim hujan. Semua mahluk hidup gegap gempita menyambutnya, ada kerbau, kambing, burung-burung, katak, ikan hingga belut dan cacing tanah. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan dedaunan yang kian menghijau pertanda tanah mulai gembur. Luasan rumputan perdu membentang sejauh mata memandang mulai bersemi.
Menyambut datangnya musim hujan sekumpulan Katak disegenap penjuru merayakan hari kemenangannya, hujan kali pertama. Sekumpulan katak itu tak henti-hentinya bersyukur sembari berdzikir kehadirat Ilahi dengan suaranya yang nyaring. Sedari sore hingga menjelang malam suara-suara itu seolah sambung menyambung tiada jemu. Burung-burung mengeluarkan suaranya yang khas seperti alunan melodi silih berganti mewarnai kesunyian. Belalang-belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari melupakan musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat-saat seperti itulah suatu kesempatan bagi Kadal untuk segera memangsanya. Tanpa harus bersiap-siap siaga tiba-tiba belalang seakan seperti menawarkan diri untuk dijadikan mangsa. Tanpa disadari sebelumnya belalang-belalang kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari yang kuasa jika petualangan hidup belalang akan berakhir tragis dimangsa kadal, demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir ketika berhadapan dengan musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput serta sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan kesegarannya. Para penggarap sawah di segenap penjuru mulai menggarap kembali lahan sawah yang sebelumnya banyak yang mangkrak tak terurus karena kekeringan. Benih-benih padi mulai ditebar di bedeng-bedeng yang sebelumnya telah ditata sedemikian rupa.
Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari lahirnya Qohar, diambilnya beberapa bekas keringat di leher Qohar yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah bentuk penyadaran Jika sesuap nasi itu harus didapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.
Sejumput daki Qohar ditaburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Dengan sepenuh hati merawat, membesarkan dan menyayangi tanpa ada batasnya namun kini tidak diketahui secara pasti dimana keberadaannya. Walau mereka hakikatnya tidak ada, namun bagi Mbok Nah mereka ada untuk selama-lamanya.
Di dapur persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Diambilnya kayu dari belakang rumah yang masih tersisa beberapa lapis hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu, seperti membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat ada sesuatu dibawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.
Seikat serpihan Kayu ditaruh di dapur lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil agar tak lagi hilang sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar.
Di kegelapan fajar saat jendelanya masih tertutup rapat Qohar terperanjat, ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari kakinya. Ia segera lari kedapur namun tak ditemukan seseorang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.
Aku pancen wong seng tuno aksoro.
Ora biso nulis ora biso moco.
Nanging ati iki iseh nduwe roso.
Roso tresno koyo tumrape manungso.
Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.
Iso mangan wae aku uwes trimo.
Nanging ati iki isih nduwe roso.
Jero ning bhatin sak tenane pingin kondo.
Pupus godhong gedang.
Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.
Aku memang orang yang buta aksara.
Tidak bisa menulis tidak bisa membaca.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.
Aku memang orang kecil bukan orang kaya.
Bisa Makan saja aku terima'bersyukur'.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Dari hati yang dalam ingin berkata.
Pupus'kuncup' daun pisang.
Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan蜉1.
"Maknyak! Kok malah nembang!" gerutunya dengan nada tinggi.
"Ada apa ? Kamu mencariku?" Mbok Nah pura-pura bertanya.
"Apa Maknyak tidak dengar saya panggil-panggil !"
“Aku tak mendengarnya, Apa yang terjadi?" Selidiknya berbasa-basi.
"Tidak usah tanya ayo kekamar." Ajak Qohar dengan terburu-buru.
"Ada apa ? Aku mau ke sawah." Bantah Mbok Nah.
"Sebentar Mak."
"Ada apa dulu?" Tanya Mbok Nah pura-pura penasaran.
"Ada setan Mak!" ucapnya serius.
"Ooo ..kamu setannya?"
"Serius Mak!"
"Ya sudah nanti kalau ketemu diapakan? dipelihara? Atau disembelih saja."
"Ah .. Maknyak. Jangan bercanda!"
"Maknyak serius "
"Ya sudah ayo kita lihat.!" Rengek Qohar dengan penuh penasaran dan di hantui rasa takut.
Dibukanya jendela satu-persatu. Kura-kura itu nampak terlihat jelas, namun Qohar tak mengetahui jika kura-kuranya ternyata diberi ikatan benang oleh Mbok Nah supaya tak terlepas dari tempat tidur.
"Itu apa cucuku ?" Tanya Mbok Nah sembari menunjuk ke arah kura-kura.
"Itu kan Kura-kura Mak!" Selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.
"Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah ayo ditangkap! nanti disembelih" Perintah Mbok Nah sembari menakut-nakuti Qohar.
"Maknyak sudah gemblung apa ? Maknyak kan tahu sendiri kalau aku suka dengan kura-kura." Dengan wajah menggerutu Qohar meluapkan kekecewaannya.
"Siapa peduli, yang penting disembelih."Jawabnya seolah tak ada rasa peduli.
"Ahh..Maknyak! pokoknya jangan!
"Yo wis, kalau begitu saya mau ambil pisau!" Sahut Mbok Nah menakut-nakuti.
"Maknyak memang gemblung!"
Dengan terharu didekatinya kura-kura mungil itu lalu di ambilnya. Mbok Nah pergi berlalu begitu saja meninggalkan Qohar menuju dapur. Begitu diperhatikan dengan seksama Qohar terperangah, kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benak Qohar pasti ada dalang dibalik semua ini. Teringat pesan Mbok Nah dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya pasti ada yang menciptakan. Lalu siapakah yang menyebabkan kura-kuranya terikat?. Terbersit dipikirannya, siapa pelaku dibalik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun langsung menemui neneknya dengan penuh dongkol. Menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Maknyak sengaja menakut-nakutiku! Aku sama sekali tidak takut!"
"Kok tahu?" Tanya Mbok Nah tanpa basa-basi sambil tersenyum simpul.
"Yaa iya to." Jawabnya penuh bangga.
"Lalu kenapa minta tolong?"
"Kan hanya pura-pura Mak!" Kilahnya.
"Apa ? Maknyak tidak dengar!"
"Maknyak kan sudah tua. Tapi aku juga punya kejutan Mak! Tunggu saja". Kilahnya lagi dengan muka serius seperti mengancam.
"Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak tidak takut! Sekarang kamu makan dulu buburnya nanti keburu adem. Jangan lupa beri makan kura-kuranya." Ucapnya datar sembari mengingatkan.
"Maknyak buat bubur?"
"Iya, nyelametin hari lahirmu biar panjang umur dan sehat selalu”. Jawab Mbok Nah dengan bijak."Buburnya nanti dihabiskan?" Sambungnya.
"Iya." Katanya sambil tersenyum "Sudah dido'akan?". Tanyanya kemudian.
"Sudah!" jawabnya singkat.
Siang itu Mbok Nah pulang dari pematang, dari kejauhan Mbok Nah melihat mobil merah silver dibawah pohon sawo miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu pada saat mengais buah asem bersama Qohar. Tanpa pikir panjang Mbok Nah menemui si empunya namun tak didapati seorangpun. Dilongoknya seisi ruangan di dalam mobil dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalam. Karena mobil itu terparkir di area kebunnya, Mbok Nah lalu menungguinya sambil duduk di cangkruk tak jauh dari pohon sawo.
Dari rumah terlihat Qohar berlari tergopoh-gopoh seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya.
"Maknyaak !" Panggil Qohar dengan nada tinggi.
"Ada apa ?"
"Maknyak dicari orang kemarin sore."
"Kemarin sore kapan?"
"Itu lho Mak sewaktu memulung asem."
"Ooh iya ." Kata Mbok Nah mengangguk-angguk."Dimana orangnya?" Sambungnya kemudian.
"Orangnya sudah menunggu di rumah. Ayo Mak cepat!" Ajak Qohar terburu-buru.
Di teras telah ada Bu Lela tetangga sebelah. Menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua. Pak Amin ong gwie yang seorang Wartawan dan seorang lagi pak Puji, sopir pribadinya.
"Ee bu Lela Silahkan masuk." Sapa Mbok Nah pada bu Lela. Lalu kemudian menyapa pak Amin dan pak Puji. "Silahkan masuk pak! Pak Yusufnya tidak ikut pak?" Tanya Mbok Nah pada pak Amin.
"Kebetulan pak Yusuf hari ini sedang ada urusan di kantor, jadi saya yang ditunjuk mewakilinya. " Kata pak Amin. Lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.
Mbok Nah kembali menyapa dua orang tamunya.
"Jangan sungkan-sungkan pak, memang beginilah keada'ane wong ndeso."
"Lela! tolong ditemani, saya buat minum dulu." Pinta Mbok Nah pada bu Lela.
"Ya Mbok!" Jawab Bu Lela singkat. Lalu dengan agak sungkan bu Lela, seorang janda yang suka berdandan itu mencoba memberanikan diri untuk menanyai perihal pembelian lahan.
" Ma'af ya Pak ? Kalau boleh tahu nanti rencananya lahannya untuk membangun apa ?" tanya bu Lela sungkan.
" Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada apalagi dari sumber yang dapat dipercaya, bahan baku kelapa di sini lumayan murah dan didukung infrastruktur jalan yang telah memadai. Berangkat dari dua faktor tersebut kami dari pihak perusahaan melihat prospek ke depannya sangat cerah. Maka dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini setelah dikaji ulang terlebih dahulu dampak amdalnya." Urainya panjang lebar menjelaskan tujuan pembelian tanah kapling.
"Oh begitu." Kata bu Lela mengangguk-angguk.
"Apakah di Kampung ini sering ada tindak kriminal Bu?" Kata pak Amin dengan merendahkan suaranya.
"Tidak ada pak, Kampung ini Alhamdulillah selalu aman." Kata bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa pak" Tanyanya kemudian.
"Begini bu, sepanjang perjalanan kami merintis usaha, kami lebih mengutamakan keamanan disamping dua faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga ke depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan. Intinya dengan iklim usaha yang kondusif kami optimis kemajuan perusahaan akan terkatrol dan bahkan mungkin bisa berkembang dengan pesat."
"Jadi nomor satu itu keamanan ya Pak?" Ujar bu Lela berkesimpulan.
"Iya, keamanan menjadi syarat yang mutlak."
Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak Amin dengan sungguh-sungguh seperti seorang anak TK yang khidmat mendengarkan dongeng dari gurunya.
"Qohar!" Panggil Mbok Nah dengan suara datar.
"Ya Mak?"
"Gula putihnya habis, sana belikan ini uangnya"
Mbok Nah kembali ke ruang tamu lalu membuka topik pembicaraan.
"Bagaimana? Bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?"
“jadi Mbah. Tapi yang penting bagaimana dengan pihak penjual, apa sudah diberi tahu?"
"Sudah Pak, kebetulan Lela ini saudaranya yang punya tanah." Ujarnya sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah Bu Lela.
"Lela! Tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada pak Amin." Pintanya kepada Bu Lela.
"Kang Sarwo sudah ke sawah, kemarin Aku diberitahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan tanahnya akan diberi komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi bulan depan ke Lampung pengen buka usaha di sana." Jawabnya panjang lebar.
"Yo wis, kalau begitu tinggal Bu Marni Pak." Kata Mbok Nah sambil menahan nafas.
“Kemarin Saya dari rumah bu Marni. Katanya, kebunnya di jual dengan harga biasanya, tetapi dengan syarat beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di pinggir jalan tidak ikut di jual, jadi Bu Marni boleh kapan saja mengambilnya." Sahut Bu Lela menjelaskan dengan detail.
"Gampang! Semuanya bisa diatur asal jangan ada sengketa di kemudian hari." Ujar Pak Amin lugas.
Dengan terburu Mbok Nah mohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih yang kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar lalu mempersilahkan tamu-tamu untuk mencicipinya.
Zaman Belanda
Sejarah
Kepadanya
ku berguru
Ku mengetuk pintu
Sejarah
Tempatku mengadu
Tempatku berpijak
Sejarah
Kepadanya ku berpegang
Berjalan
Beroleh petunjuk
Kutafakuri
Aku kalah tanpa sejarah
Tanpa sejarah ku menyerah
Ku resah tanpa sejarah
Tanpa sejarah aku pasrah.
Telah dua hari Mbok Nah tidak ke sawah, pagi ini ia mau ke sawah karena khawatir rumput liar semakin bertambah, padi tak terairi dan mengering. Sayur-sayuran apabila tidak dipangkas akan menjalar ke mana-mana. Dicarinya parang untuk keperluan penyiangan rumput-rumput liar disepanjang tepian guludan, namun tak juga didapatinya .
“Qohar ! dimana kau simpan parangnya?”
“Sepertinya masih di teras." Jawab Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya. Mau ke sawah Mak?”. Sambungnya kemudian.
“Ya. kamu di rumah apa ikut?”
“Aku ikut, bawa nasi apa tidak ?”
“Terserah kamu, hari ini Maknyak puasa.”
“Bungkusin ya Mak?”
“Ya. Pakai sambal tidak?”
“Tidak usah!” Ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
Mbok Nah dan Qohar berangkat ke sawah dengan diselingi guyon di sepanjang perjalanan. Tanpa terasa mereka sampai di sawah.
“Alhamdulillah sudah pada menghijau.” Gumamnya dalam hati.
“Mulai dari sini saja cucuku." Ajak Mbok Nah pada Qohar memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar. "Bismillahirrahmanirrakhiim nyambut gawe蜉1.”
Sambil mencabuti rumput mereka berdua berbincang-bincang ringan, lalu bermuara pada sebuah cerita peristiwa masa lalu tentang bagaimana susahnya hidup di masa penjajahan.
Sewaktu negeri ini belum merdeka di pagi buta, Mbok Nah kedatangan seorang tamu dua orang tentara Belanda. Waktu itu Mbok Nah masih berumur sekitar lima belas tahun sedangkan adik Mbok Nah Sukarti masih berumur sembilan tahun. Pagi itu kedua orang tua telah pergi ke lereng-lereng gunung mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya bersama kang Imran kakak Mbok Nah satu-satunya.
Biasanya sebelum orang tua pergi kami sering diwanti-wanti agar jangan takut dalam menghadapi siapapun termasuk terhadap para tentara, bahkan kalau perlu perdayai para tentara agar mau memberikan bahan makanan. Kala itu mencari makan susahnya tiada terkira.
Kedatangan dua orang tentara Belanda itu membuat Sukarti merinding ketakutan, namun Mbok Nah berusaha menenangkannya. Rupanya Maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar, seorang gerilyawan yang selama ini menjadi target operasi. Kang Umar yang bertubuh kurus itu terkenal sakti, tubuhnya tak mampu ditembus ratusan peluru. Seorang jawara kampung, menjadi andalan orang-orang pribumi. Ketika ditanyakan mengenai keberadaannya, Mbok Nah dan Sukarti menjawab tidak tahu menahu, namun karena didesak terus menerus. Kami pun mau membuka rahasia dengan syarat diberi imbalan. Tetapi kala itu mereka tidak membawa apapun, kami hanya diberi beberapa lembar mata uang.
Dengan semburat kesedihan akhirnya Mbok Nah memberitahukan keberadaan Kang Umar, tetapi Sebelum memberitahukan keberadaan kang umar, terlebih dahulu Mbok Nah menyuruh Sukarti agar ke dapur. Mbok Nah hendak merencanakan sesuatu. Disuruhnya Sukarti mengambil getah air tuba dibelakang rumah. Saripati air tuba itu hendak disajikan bersama teh manis.
Begitu perintah dijalankan, Mbok Nah lalu kembali menemui dua tentara belanda itu kemudian memberitahukan keberadaan kang Umar, yaitu di gua Ngerong. Jaraknya lumayan jauh dari kampung Bendo yaitu sekitar tujuh belas kilometer. Tempat persembunyiannya itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar. Tetapi sebelum memberitahukan persembunyian kang Umar Mbok Nah sudah mengatur taktik sedemikian rupa sehingga mereka bisa betah berlama-lama bertamu dirumahnya.
Dengan cekatan Mbok Nah menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah dicampur dengan air tuba. Mbok Nah terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit dibagian pinggulnya untuk mengalihkan sebuah perhatian. Setelah itu teh manis disuguhkan. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis buatan Sukarti itu, dua orang serdadu itupun pergi, Mbok Nah dengan sigap membagi tugas kepada Sukarti agar segera memberitahukan pak Abdullah, tetua kampung perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah diketahui tentara Belanda. Sementara itu Mbok Nah mengawasi dari jauh arah dan langkah kedua serdadu itu. Hanya berselang beberapa menit kemudian Mbok Nah dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan dua orang itu ngajal, menggelonjot hampir bersamaan tepat diatas lahan perkebunan kopi tak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya dipastikan meninggal Mbok Nah mendekati mayat-mayatnya. Dari kedua mulutnya keluar busa yang tidak berukuran, lalu satu persatu dari pakaian mayat-mayat itu digeledah. Mbok Nah mendapati dua pistol laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu diserahkan kepada pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang.
Selang beberapa minggu kemudian terdengar kabar penangkapan Kang Umar oleh tentara Belanda, selanjutnya Kang Umar dipenjarakan dan diasingkan di pulau Karimunjawa hingga akhir hayatnya. Sukarti kini sudah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Yuji Shiojiro suaminya.
Usai bercerita sebagian perjalanan hidupnya semasa penjajahan, Mbok Nah tak mampu membendung kesedihan. Entah kenapa tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan air mata mengingat kegetiran masa lalu. Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.
“Jadi Maknyak dulu itu seorang pembunuh para tentara ? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak..” Canda Qohar.
“Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu.” Balasnya dengan mimik serius.
“Kenapa Mak?”
“Lha wong kamu kayak tuyul, nggak mau pake baju.” Timpal Mbok Nah.
“Segera pakai bajumu, matahari sudah terasa semakin menyengat.” Sambungnya.
“Ya Mak, tapi?”
“Apa ?”
“Maknyak kok kelihatan” Canda Qohar sembari jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah Mbok Nah.
“Kelihatan apanya?” Tanyanya dengan memperhatikan tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Itu…?” kembali ujung jari telunjuknya menunjuk lurus.
“Apanya cucuku?” Kali ini pertanyaannya semakin bertambah geram.
“Kelihatan matanya.” Jawabnya kemudian dengan nada santai.
“Ooo…dassar bodoh!” Dimuntahkannya rasa kesal itu lalu tersenyum cukup lama.
Mbok Nah hanya bisa menelan ludah, berusaha menyimpan kekesalannya. Sementara itu Qohar diam sejenak seperti patung sembari meringis manja. Sebuah kemenangan telah diraihnya, satu upaya untuk menunjukkan jati dirinya sebagai cucu seorang Mbok Nah. Perempuan tahan banting yang senantiasa menantang takdir dan tidak ingin menyerah kepada nasib. Demikian siang itu Qohar tiba-tiba seperti menemukan senjata super mujarab untuk mengalahkan neneknya. Mbok Nah sendiri mengakui kekalahannya, ia kesulitan mencari kata-kata ampuh untuk mengimbangi atau bahkan mengalahkan kata-kata cucunya. Betapapun akhirnya Mbok Nah berhenti pada satu titik sebuah kepuasan meski terasa menjengkelkan.
Surprise
Malam ini Kutemukan sebuah kado
Kujumpai sandiwara kecil menghiasi bumi
Air laut bergulung setinggi pohonan
Menyapu daratan
Gunung-gunung beterbangan seperti kapas
Lautan manusia mengambang diliputi ketakutan
Aku menganga
Nanar berselimut kalut
Ku berlari
Berlindung
Menyebut Asmanya dalam sebuah mimpi.
Matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya, biasanya Qohar memohon diri untuk pulang terlebih dahulu, tapi tidak dipagi itu. Dari kejauhan terdengar suara Doni dan Amar memanggilnya di gubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan mengajaknya untuk bergabung. Qohar lalu memohon diri ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.
“Maknyak. Aku ke hutan !” Pinta Qohar memohon ijin berpetualang ke hutan jati.
“Ya hati-hati.” Ucap Mbok Nah berpesan.
Di dalam hutan jati banyak ditemui berbagai jenis pepohonan lain selain hutan jati. Di tengah-tengah dan disepanjang pinggiran hutan Jati berjajar pohon mangga liar, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama telantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Sementara di kanan kiri hutan jati hanya tanah kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan semak-semak. Terkadang orang-orang kampung ke hutan jati untuk sekedar mencari atau mencari buah Jambu dan Jengkol.
Di dalam hutan, Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.
Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.
Nyunggi蜉1-nyunggi wakul蜉2-kul gelelengan.
Wakul ngglempang蜉3 segane dadi sak ratan
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.
Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.
Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.
Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.蜉4
Udara di dalam hutan begitu dingin. Qohar memandangi langit-langit hutan yang senantiasa menghadang percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa mengingat kembali sepenuhnya kata-kata Mbok Nah beberapa hari yang lalu dan semuanya memang benar adanya.
Lepas dari kenyataan, di dalam hutan suasana siang hari tak ubahnya seperti pada malam hari, terasa mencekam apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok serta burung-burung berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh, angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali dibenak anak-anak kecil itu. Padahal di dalam hutan berjajar pohon-pohon besar penuh daun-daun kering yang menebal dan akan terus bertambah sampai tiba masanya musim penghujan. Lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus, membaur kedalam tanah.
Meski panas terik matahari begitu panas tidak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan angin yang sepoi-sepoi menjadikannya adem sehingga mereka betah berlama-lama bermain didalamnya.
Lama-lama rasa bosan kian merasuk diantara teman-temannya, apalagi Amar yang berbadan gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan secara khusus ia bahkan akan memboikot permainan petak umpet apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal unik dari obesitas yang mendera Amar, ketika masih kecil ia sangat kurus. Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alquran di musholla, karena didera rasa haus dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang disangkanya teh manis. Rupanya sebungkus cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Ibunya biasanya memang mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.
Selesai bermain petak umpet mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulang hampir saja Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas di depan Doni tetapi urung ditangkap karena anak-anak ayam hutan tersebut lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya anak-anak ayam itu melintas dijalur setapak yang dilaluinya tanpa diketahui dua orang rekannya, hanya Doni yang tahu. Sungguh sesuatu hal yang ganjil, seperti menyeruak sesuatu yang berbau aura mistis tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya ketakutan, ia bermaksud menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah. Kali ini mereka bertiga melewati perkebunan singkong yang luas tidak seperti biasanya yang melalui jalur setapak, Qohar bersama teman-teman memotong jalan mengambil jalan pintas menuju kampung, sengaja pulang tanpa mampir ke sawah terlebih dahulu untuk menemui neneknya memohon diri.
Lama tidak kunjung kembali Neneknya mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga mungkin telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, wak Aryo tetangganya yang hilang tanpa diketahui sebabnya sewaktu mencari kayu di hutan jati. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru di temukan jasadnya tanpa kepala. Jasad wak Aryo yang tanpa kepala itu ditemukan tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut kehilangan cucu terus menerus membayanginya.
“Rasanya aku belum siap melepas cucuku. Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur.” Pikir Mbok Nah dalam hati.
Dilaluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Kekhawatiran Mbok Nah semakin bertambah. Didalam hutan itu tak dijumpai sama sekali seorangpun, meski telah menyisirnya hingga ke ujung hutan. Rasa-rasanya tak satupun jalan setapak yang luput dari penyisiran yang dilaluinya. Rasa lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu, dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu kepada Yang Kuasa.
Yaa Allah Gusti. Dimanakah keberadaan cucuku. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini Gusti. Hanya kepadamulah ku memohon ampun.
Siang itu kegalauan hatinya ditumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta’at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.
Ya Allah Yaa Rabbi, jika engkau kembalikan cucuku akan ku tambah ketaatanku padamu Ya Allah. Menaati perintahmu dan menjauhi laranganmu. Ya Allah. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang nista ini Yaa Allah.
Usai mengadu kepada Yang Kuasa Mbok Nah seperti mendapatkan ketenangan. Kalbunya meyakini jika Qohar mungkin telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya pulang kembali menuju sawah tempatnya menyiangi rumput sembari menanti kepulangan cucunya. Siapa tahu Qohar mencarinya, begitu pikirnya dalam hati. Ketika baru melangkahkan kaki beberapa langkah, Mbok Nah seperti melihat seorang kakek berjubah putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Mbok Nah merinding begitu melihat seorang kakek berjubah putih tanpa memperlihatkan muka. Hanya terlihat jubah dan punggungnya, namun setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu Kakek berjubah putih itu lalu memberi petuah
“pulanglah!”.
Dalam hati sebenarnya ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi mulutnya seolah terkunci rapat-rapat, terasa berat untuk melafadzkan sebuah kata-kata. Di depan mata kepalanya sendiri kakek berjubah putih itu lalu menghilang sedemikian rupa. Mbok Nah sempat kaget, bathinnya tersentak tetapi tiba-tiba ketenangan seolah mendiami jiwanya. Akhirnya Mbok Nah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Seakan ia tidak percaya dengan peristiwa itu. Ia seperti berada dalam kisaran dunia mimpi, padahal mestinya ia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.
Di teras rumah Mbok Nah mendapati Qohar tengah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk beserta lalapannya. Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.
“Masih ingat nasi.”.
“Tidak. Saya ingat piring.” Jawabnya serampangan.
“Kenapa tidak sekalian dimakan saja piringnya biar kenyang.” Timpal Mbok Nah seperti menantang Qohar sambil menahan senyum.
“Iya, nanti.” Ucapnya enteng sambil cengar-cengir.
“Kalau makan harus dihabiskan!” Perintah Mbok Nah sambil mengambil ember sekalian hendak mencuci pakaian.
Sehabis mandi dan mencuci pakaian, Mbok Nah memanggil Qohar dengan nada tinggi.
“Qohar! sini kamu!”
Diambilnya sapu lalu dipukulkan ke tubuh Qohar dengan keras. Sebagai sebuah bentuk hukuman demi kedisiplinan dan kemandirian karena sehabis makan tidak mencuci piringnya.
“Kenapa piringnya tidak kamu cuci?”
“Lupa Mak!”
“Apa? Ucapkan sekali lagi!”
Mbok Nah kali ini lebih tegas dari biasanya karena itu adalah sebentuk metamorfosa dari sebuah rasa sayang yang tulus darinya. Seandainya rasa sayang yang tulus itu telah lenyap dari dirinya maka cucu semata wayangnya akan dibiarkan begitu saja menjadi anak manusia liar yang hidup tanpa aturan. Sementara qohar hanya terdiam membisu, tak terucap sepatah katapun dari mulutnya, lalu tak lama kemudian ia melafadzkan beberapa patah kata.
“Maknyak! Aku pergi.” Ucapnya datar.
“Kemana?”
“Main.. “
“Ingat! kalau main jangan nakal jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu.” Begitulah pesan itu sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu setiap kali Qohar akan main ke rumah teman atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya. Tanpa sepengetahuannya Qohar main ke rumah Toni, kedua orang tuanya serta adiknya pergi kondangan ke rumah teman sejawat di luar desa menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya, sebuah kebetulan. Sementara Toni tidak di ajak serta supaya jaga rumah. Jarak rumah Toni dengan rumah Qohar tidaklah jauh, hanya dibatasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Toni Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari Mbok Nah dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori uang, Toni tak bisa menolak karena dirinyapun memang kesepian dan kebetulan tanpa dikomando, teman itu hadir dengan sendirinya menawarkan diri.
Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, ia tak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir Mbok Nah sudah tidak lagi mencarinya karena baru saja di marahi. Sebenarnya di dalam hati Qohar berkecamuk antara bilang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Ia seperti kesulitan membohongi diri sendiri, hati kecilnya yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terus bergejolak, mendesak agar berterus terang dan jujur perihal di mana keberadaannya sekarang, agar tak membuat neneknya gusar dan gundah diliputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu dan menguasai akal beserta hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya karena terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara keduanya.
Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata, begitu pula pada diri Mbok Nah. Tidak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke musholla, tapi sore itu tidak.
Setiap kali selesai waktu isya’Mbok Nah terkadang menunggui dan menjemputnya pulang. Walau Mbok Nah telah ringkih tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap setia menjemputnya dari acara mengaji. Hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi dan bercengkerama.
Menjelang petang Mbok Nah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong, hatinya bergejolak dan bertanya-tanya lalu mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terluka?
Kembali Mbok Nah merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil tumbuh dan berkembang tanpa asuhan kedua orang tua, hanya dirinya satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya dengan berbagai keluh kesahnya. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap dibutuhkan.
Adzan maghrib telah berkumandang dengan merdunya, kekhawatiran Mbok Nah akan keberadaan Qohar semakin merapat di benaknya. Perasaan takut menghinggapi pikirannya, menunggu dan terus menunggu hingga gerah lalu kemudian mencoba berikhtiar menanyai para tetangga satu persatu tetapi hasilnya nihil, dari keterangan para tetangga tidak juga ia dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaannya.
“Nyari siapa Mbok ?” Tanya karti, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Musholla untuk menunaikan Ibadah sholat maghrib.
“Nyari cucuku gini hari kok belum juga pulang. Apa kamu tau dimana cucuku?”
“Aku tidak tahu Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua.” Jawab Karti.
“Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya?” Pinta Mbok Nah memelas.
“Ya Mbok!”
“Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? tidak tadi sore.” Sergah Mini yang juga hendak ke Musholla bersama Karti, seakan ia ingin menyalahkannya.
“Saya kira ya akan pulang seperti biasanya, tapi setelah ku tunggu sampai maghrib kok masih juga belum pulang, bikin pegal hatiku saja.” Katanya menggerutu sambil ngeloyor pergi meninggalkanNya.
Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nah lalu pergi ke rumah pak RT meminta pertolongan. Belum kelar ke rumah pak RT hujan sudah mulai turun setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan. Mbok Nah malam itu mengakhiri pencarian karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang dan suara gemuruh disertai petir yang terus menyambar.
Mbok Nah pulang diliputi kekecewaan. Rasa dongkol, khawatir, cemas bercampur menjadi satu seperti bubur ayam. Malam itu Mbok Nah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah. Duduk bersimpuh mohon ampun kepada Yang Kuasa. Selesai mengadu kepada Yang Kuasa terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan.
Kalau tak ada aral melintang besok pagi ia akan menyambangi saudara-saudaranya, pikirnya siapa tahu Qohar menginap di rumah salah satu saudara terdekatnya. Sehabis mengadu kepada Yang Kuasa Mbok Nah lalu ke dapur untuk makan malam. Malam itu sesuap nasipun tak bisa tertelan, pikirannya terus teringat cucu satu-satunya. Tidak ada nafsu makan, tidak ada gairah hidup, tidak ada keceriaan dan tidak ada cerita-ceritaan di malam itu.
Ditengah malam kedua orang tua Toni pulang dari kondangan. Hingga tiga kali mengucap salam Toni baru terbangun, ia tertidur pulas sehabis guyonan semalaman dengan Qohar. Sebenarnya kala kedua orang tua toni mengucapkan salam yang pertama telah terdengar oleh Qohar karena terkadang biasanya ditengah malam ia dibangunkan neneknya untuk sekedar diajak sholat tahajjud, tetapi malam itu Qohar tak berani membuka pintu, ia menunggu sambil mencubiti kaki Toni agar secepatnya terbangun. Toni lalu terbangun dan membukakan pintu.
“Kok lama sekali?” Tanya ayahnya pada Toni.
“Cari gemboknya dulu.” Jawabnya beralasan.
“Lho Qohar kok disini. Apa tidak dicari Mbok Nah nantinya?” Tanya ibunya pada Qohar begitu pintu terbuka.
“Tidak kok budhe.” Jawab Qohar membela diri.
“Yo wis. Ini berkat蜉1nya dimakan! Didalam ada bolunya sama pisang. perintahnya pada Toni dan Qohar.
Selesai makan Qohar memohon diri.
“Saya pulang dulu ya Pakdhe?” Pintanya dengan polos.
“Jangan! sudah tengah malam, tidur di sini saja sama Toni, nanti pagi saja pulangnya, di luar masih gerimis.” Ayah Toni melarangnya pulang. Rencana pulang pun urung dilakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Toni.
Saat shubuh menjelang terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah seperti terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar. Mengulang siklus, matahari kembali mempercikkan sinar merahnya di ufuk timur, awan menumpuk membentuk sebuah formasi keemasan. Memperlihatkan keindahannya lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi. Harmoni alam yang senantiasa memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan, tak pernah ada yang mampu menandinginya. Begitu bangun tidur Qohar segera pamit pulang tanpa mencuci muka terlebih dahulu.
Di pagi buta Mbok Nah telah memulai menata buah pisang yang akan dibawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Sambil sekalian dimintai tolong agar dicaritahukan keberadaan Qohar. Belum kelar menata pisang terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum salam..”
Dibukanya pintu dengan perlahan, ketika pintu telah terbuka ia terkejut bukan main. perasaan Mbok Nah waktu itu campur aduk menjadi satu. kaget, Senang, marah ,geram, sebel menjadi satu.
“Kamu too..! tak kira siapa, dari mana saja kamu? Masih ingat rumah! Kamu kira Maknyak tidak mencarimu, jangan sampai diulangi lagi ?” Kata-kata Mbok Nah nerocos begitu saja.
Tanpa sepatah kata Qohar berjalan pelan menuju kamarnya. Memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomelinya Mbok Nah mengikutinya dari belakang seraya memerintah Qohar seolah-olah sebagai sebuah ganjaran baginya.
“Dari tadi sore Maknyak tidak ngeliwet蜉2 gara-gara memikirkanmu. Sekarang kamu kupas rebungnya juga sekalian kangkungnya dipotong-potong! Maknyak mau belanja dulu ke warung membeli keperluan dapur...............
Sambil berbelanja Mbok Nah mampir kerumah tetangga. Sekedar memberitahukan perihal cucunya yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega karena orang yang telah dicarinya telah kembali.
Pak Amin bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Supardi sopir pribadinya datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Mbok Nah untuk melunasi pembayaran tanah kavling sekaligus mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke Kelurahan. Pagi itu di rumah Mbok Nah telah berkumpul dua orang, bu Marni dan Ambar putri sulung pak sarwo. Pak sarwo berhalangan hadir karena pergi mengantar bu Sarwo ke puskesmas. Kebetulan pagi itu Bu Lela sedang main di rumah Mbok Nah sehingga menambah kehangatan suasana. Seperti biasa apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan kerapkali yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z. Wajar mengingat orang-orang kampung hanya mengenal dua musim, musim tanam dan musim panen. Diperlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus musiman itu.
Pak Amin dan Akwan datang dengan mengendarai mobil mercy. Pak Amin yang berperawakan sedang, berambut lurus membawa beberapa berkas. Gerak-geriknya mantap serupa dengan model papan atas sekalipun. Disampingnya A Kwan yang tambun berkepala botak dan berkaca mata hitam menenteng sebuah laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking seriusnya yang totally itu ia seperti kehabisan otak untuk berfikir sehingga menjadi botak. Dua orang itu masuk ke rumah Mbok Nah. Merekapun berembug.
Keuangan Yang Maha Kuasa
Cari-cari uang
Pikir-pikir uang
Sana-sini uang
Ini jaman uang
Selalu menjadi rebutan
Selalu menjadi pikiran
Tapi jangan karena uang
Menghalalkan segala cara
Walau zaman sekarang semuanya uang
Jatuh cinta bisa karena uang
Yang pendek tampak jangkung
Yang pesek jadi mancung
Itu semua karena uang
Jangan heran kalau ada pasangan
Yang satu dua lima
Satunya lima dua
Bisa jadi karena uang
Mina jadi mince
Yanto jadi yanti
Juga karena uang.蜉1
Bisa jadi karena uang
Mina jadi mince
Yanto jadi yanti
Juga karena uang.蜉1
Kesepakatan hitam di atas putih diantara ketiga belah pihak telah dibuat, semua berkas surat-surat penting dan kartu pajak telah terkumpul. Tinggal mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke kelurahan.
"Bagaimana proses selanjutnya? Apa sudah bisa dibukukan?" Tanya Pak Amin sambil tangan kanannya menyingkap lengan bajunya lalu memelototi jam tangan di pergelangan tangan kirinya sembari mengerutkan dahi, seperti para pebisnis lainnnya yang sangat menghormati arti sebuah waktu.
"Biasanya kalau berkas-berkas sudah lengkap lalu dilakukan serah terima dahulu di kelurahan atau dirumah Pak Lurah, baru kemudian dibukukan atau bisa juga di rumah Pak Carik" kata Bu Marni menjelaskan.
"Sutiyem kemarin sore ngomong, katanya sekarang ada peraturan baru, serah terima harus di rumah Pak Carik sekaligus nanti langsung bisa dibukukan. Oh ya sekalian bawa saksi-saksi" Sahut Ambar memotong pembicaraan antara pak Amin dan bu Marni.
"Berapa kira-kira saksi yang diperlukan?" Tanya Pak Amin.
"Tidak banyak Pak, biasanya ya dari pihak pembeli dua orang dan pihak penjual juga dua orang itu saja sudah cukup." Sahut Bu Lela menambahkan.
"Ya sudah! kalau begitu kita bisa ke rumah Pak Carik sekarang?" Pungkas pak Amin
"Ya Pak, biar semua cepat kelar". Ucap Bu Marni sambil mengangguk setuju.
“Aku ikut apa tidak?" Tanya Mbok Nah sembari membawa beberapa tandan pisang rebus dari dapur, lalu menyuguhkannya di atas meja.
"Yo ikut too, nanti jadi saksinya sama saya" Gerutu Bu lela.
“Lha Cucuku bagaimana? Ujar Mbok Nah seakan ingin mengikut sertakan cucunya dalam rombongan itu.
"Lha wong biasane yo ditinggal ke sawah kok". Sahut Bu Lela cepat dan keras.
"Ikut juga tak apa, lha wong tak ada yang melarang kok" Ujar Ambar cuek.
Mereka semua berangkat kerumah Pak Carik dengan mengendarai mobil mercy yang di kemudikan Pak Supardi. Di dalam mobil meski jalanan terjal dan berliku tapi sama sekali tak terasa. Mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena seumur-umur belum pernah menaiki mobil semewah itu. Toh kalaupun pernah sepuluh tahun sekali belum tentu kenangan manis itu terulang, sehingga wajar jika Mbok Nah tak tega melihat Qohar sendirian di rumah. Sementara dirinya pergi menikmati ladzatnya dunia dengan menaiki mobil mercy.
"Kalo kayak gini setiap hari yo enak to?" Ucap Bu Lela memecah keheningan.
“Ikut Pak Amin saja biar nanti bisa naik mobil setiap hari" Ujar Ambar.
"Trus mangan opo kalo ndak kerjo, mosok ngintil wae?" Potong Mbok Nah. Sementara pak Amin, pak A kwan dan pak Supardi hanya bisa cengar-cengir menyaksikan ulah dan guyonan para ibu-ibu itu meski tak memahami betul bahasa dan maksudnya.
"Yo mangan kacane tah mangan joke wae" Ucap Bu Marni yang sejak tadi cuek saja.
"Ngawur!" Timpal Bu Lela.
"Walah sampeyan iku lho kelihatan ndeso" Ejek Ambar pada Bu Lela.
"Pancen aku wong ndeso, apa kamu kelihatan orang kota?" Jawab Bu Lela membela diri sembari berseloroh.
"Aku sih bukan orang kota, tapi walaupun bukan orang kota tapi aku kan kotangan" Ambar membela diri.
"kotangan kok dibilangin ke orang-orang, dassar ndeso." Ejek Bu Lela pada Ambar, tidak mau kalah.
"Lha kamu malah katro pake sendal kok kebalik.” Kata Ambar berkelit, sambil menunjuk ke arah sandal yang di pakai Bu lela.
"Yo wis ben." Balasnya cuek.
"Pancen nyaman yo naik mobil alus, adem lagi". kata Mbok Nah kepada Bu Lela memecah kebekuan.
"Memang nyaman." Sahut Bu Lela.
"Bukan nyaman tapi nyuaman!" Ujar Ambar dengan mantap.
Tanpa terasa Mbok Nah dan rombongan sampai di rumah Pak Carik. Mobil mercynya hanya boleh diparkir di pintu gerbang. Oleh tukang kebun tidak di ijinkan kendaraan roda empat masuk ke dalam karena masih dalam tahap pengerjaan paving block. Di dalam gerbang itu ada empat orang pekerja yang tengah mengerjakan pemasangan paving, dua orang tukang dan dua orang kenek. Halaman rumahnya yang begitu luas dipenuhi dengan kandang dan kerangkeng berjeruji besi, berisi burung-burung langka dan binatang-binatang aneh. Sekawanan kera yang menghuni kerangkeng besi tampak kepanasan. Burung-burungpun demikian, terlihat mondar-mandir seperti tengah kelaparan. Sekumpulan tupai bersama kancil dijadikan satu kandang berukuran dua kali dua meter. Tupai-tupai dan kancil itu tampak sayu berkerumun dibawah tumpukan rumput kering dan kulit pisang, beberapa anakannya tampak mondar-mandir seperti ingin berontak. Sang pemilik Sepertinya tidak menyadari jika hakikatnya kedua jenis binatang itu dari spesies yang berbeda.
Beberapa ekor penyu spesies langka dan biawak tampak bolak-balik nyemplung ke dasar air yang dangkal. Tak ada langit-langit sejengkalpun yang menaunginya. Di halaman yang sangat luas untuk ukuran taman pada umumnya itu hanya di isi dua buah pohon cemara berukuran sedang. Dua tanaman itu seperti meranggas karena kekurangan nutrisi atau karena unsur haranya telah berkurang. Ketika menyaksikan mahluk-mahluk yang tidak berakal itu dalam mengisi kehidupannya, hanya menyisakan rasa trenyuh. Binatang-binatang itu merana diantara nafsu keserakahan dan kepongahan manusia, sebuah dilema yang memprihatinkan.
"Silahkan masuk!". Sapa seorang wanita tua yang juga hendak masuk kerumah sambil menenteng sekeranjang barang belanja.
Begitu memasuki rumah pak Carik mereka tertahan di teras depan, menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk terlebih dahulu, tak lama kemudian muncul dari balik pintu seorang perempuan muda yang tengah mengandung. Seperti yang diketahui dari kabar yang beredar di masyarakat, pak Carik telah menghamili seorang janda muda beranak satu, sementara Pak Carik sendiri telah berkeluarga dan telah dikaruniai tiga orang anak.
Perempuan asing yang tengah mengandung itu menjadi sebuah misteri tersendiri dengan statusnya yang masih belum jelas. Menambah pekerjaan orang-orang kampung untuk terus bergunjing serta menempatkan objeknya sebagai artis ndeso.
"Eeee ada tamu, monggo silahkan masuk." Ucap perempuan muda yang tengah hamil itu berbasa-basi.
"Ada perlu sama Pak Carik?". Sambungnya kemudian.
"Ya mbak ". Jawab Bu Lela.
" Bapak masih di kebun, tadi pagi bawa bibit mahoni yang dari kelurahan kemarin. Mungkin Bapak sebentar lagi datang. Saya istri barunya tidak tau apa-apa hanya disuruh jaga rumah". Akunya dengan memberi sedikit gambaran. Sebuah pengakuan yang mampu sejukkan keadaan, mengunci rapat-rapat sebuah tanda tanya yang terkadang mengusik sebuah ketenangan serta menyapih akan fitnah dan memutus tali prasangka.
Hanya beberapa menit kemudian keluar hidangan senampan teh hangat dan beberapa cemilan dalam toples. Pak Carik belum pulang, ada lagi seorang tamu perempuan paruh baya, tukang jahit pesanan. Menenteng dua buah pakaian mencari Bu Carik.
"Bu Cariknya ada? " Tanyanya pada perempuan yang tengah hamil itu.
"Lagi pergi ke rumah saudara perempuannya, katanya lagi ada acara mitoni.”ujarnya menjelaskan.
"Ya sudah ini tolong nanti berikan sama Bu Carik terus bilang. Uangnya sudah pas itu saja.” Pinta tukang jahit pesanan itu sambil menyodorkan dua bungkus pakaian yang dikemas dalam plastik.
“Aku pamit dulu.." Sambungnya kemudian.
"Ya, terimakasih!"
"sama-sama."
Tak seberapa lama Pak Carik pulang dengan mengendarai pick up bersama seorang anak laki-laki.
"Walah ada tamu rupanya tunggu sebentar ya, aku mau salin pakaian dulu, habis nganter bibit mahoni masih belepotan. Silahkan di minum dulu tehnya." Pintanya sambil bersalaman.
Pak carik kemudian keluar menemui para tamu. Belum sempat Mbok Nah mengutarakan Maksud kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang sepasang suami istri. Tanpa basa-basi terlebih dahulu mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang baru dibelinya setahun yang lalu yang hingga kini belum juga dibukukan. Sementara kartu pajaknya masih mengatas namakan pihak penjual. Dengan santai Pak Carik mampu meredam keadaan, disuruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi karena dua bulan lagi akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar atau yang kedua dalam minggu ini tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena diluar ketentuan, alasannya uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan lalu ke kabupaten.
Karena tak ingin terlalu lama menunggu tanpa suatu kepastian, dua orang semuhrim itu lebih memilih pilihan yang kedua. Lazimnya seorang manusia yang tidak menginginkan permasalahan tak berujung. Permasalahan berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.
Dari pada harus menanti sesuatu yang tidak pasti dan menunggu terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Pak Amin lalu mengutarakan keinginannya kepada kedua belah pihak supaya mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya. Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tata cara yang ditempuh pak Amin, tetapi setelah dijelaskan ihwal keseluruhan pembiayaan diluar perhitungan semula akan ditanggung pihak pembeli bukan dari kedua belah pihak, maka kemudian Bu Marni menyetujuinya. Sementara Mbok Nah sebagai orang tua yang kurang tau duduk perkaranya hanya bisa mengiyakan, meski hatinya ngedongkol, ingin rasanya protes mempertanyakan tata cara yang terkesan dipersulit. Tetapi apa boleh buat orang kecil macam Mbok Nah tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah urusan pak Carik dengan suami istri itu selesai pak Amin kemudian menemui pak Carik di ruang tengah, entah apa yang dibicarakannya, kedua orang itu hanya berbicara empat mata dan langsung dicapai sebuah kesepakatan. Keduanya lalu keluar ke ruang tamu dan menandatangani sebuah kwitansi lengkap dengan sebuah materai. Akhirnya pak Amin menandatangani akad jual beli bersama Bu Marni dan Ambar disaksikan kedua belah pihak. Pak carik meminta kerelaan saksi dari kedua belah pihak untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Di luar perjanjian tanpa sepengetahuan pihak penjual, pak Carik meminta uang tambahan kepada pak Amin tanpa rasa canggung. Dengan enteng pak Amin menambahkan lagi segepok uang dan hasilnya kemudian di capai sebuah kesepakatan yang fantastis. Apabila masyarakat desa biasa menunggu proses hingga dua tahun bahkan lebih. Pak Amin di janjikan hanya dibutuhkan waktu selama dua minggu.
Selama berabad-abad negeri ini dijajah oleh bangsa asing dan kini telah merdeka walau hakikatnya hanya formalitas belaka. Kemerdekaan hanya berlaku bagi orang-orang tertentu. Negeri ini tak lekang oleh penjajahan, penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang sekiranya bisa dilanggar. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Mbok Nah adalah adanya peraturan yang sengaja dibuat rumit oleh pihak pemerintah Desa. Mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat maupun jalur lama. Semua itu sebenarnya bisa dipermudah tetapi entah kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu dibuat sulit dan sengaja disulapnya menjadi mesin rupiah. Meski telah renta dimakan usia Mbok Nah tak habis semangat juangnya untuk terus mengkritisi meski hanya didalam bathin. Dibenaknya muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan. Ghirah itu semakin berkobar didadanya, sementara itu ia tidak tahu harus bagaimana. Dalam bathinnya bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bertambah heran, mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat Desa justru bermain topeng dan mempermainkan jati dirinya? Untuk apa semua itu? Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang. Membayar mahal dengan bentangan ratusan mayat atau bahkan mungkin ribuan. Mereka terpaksa harus merelakan ceceran darah saudara-saudaranya disepanjang jalan sebagai tumbal kemerdekaan. Kemerdekan adalah keinginan untuk bersatu dalam membangun sebuah peradaban menuju kemajuan, kemerdekaan itu begitu mahal harganya sehingga tak bisa ditukar dengan apapun meski dengan nilai nominal rupiah bergudang-gudang . Dengan diliputi rasa gundah siang itu Mbok Nah pergi ke rumah Karmini adik dari suaminya. Ia mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah merampungkan studinya. Anak bungsu Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya disebuah perguruan tinggi dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
"Mini....?" Panggilnya dengan suara keibuan.
"Ya Mbakyu. Ada apa?" Tanya karmini sambil membawa pakaian satu ember penuh ke sungai untuk keperluan mencuci pakaian.
"Nyari Mansur" Jawab Mbok Nah. "Dimana dia sekarang?" Sambungnya
"Lagi ngirim Pakne ke sawah."
"Nanti suruh ke rumahku ya?" pesannya
"Ada apa?" Tanya Karmini setengah penasaran.
"Ada perlu sedikit sambil makan-makan, selametan." Ujarnya sambil guyon.
"Tenane? yo wis nanti tak suruh ke rumahmu." Timpal Karmini dengan gurauan.
Tak lama kemudian, Mansur datang menyambangi rumah Mbok Nah. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain dengan kura-kuranya disebuah balok kayu.
"Qohar! simbahmu dimana?"
"Di dapur lagi masak." Tanpa diperintah Qohar segera berlari menuju dapur.
"Mak! ada paklek Mansur!"
"Ya, suruh masuk. Aku cuci tangan dulu."
"Di kesempatan yang sempit saat Qohar pergi ke dapur. Mansur dengan cekatan mengerjainya, secepat para pesulap profesional. Di ambilnya kura-kura mungil itu dan dimasukkan ke dalam kantong celananya.
"Masuk paklek!" Lalu Qohar kembali ke teras. Kaget. Kura-kuranya tak ada didalam ember disamping sebuah balok kayu. Dilongoknya setiap sudut kayu bakar disamping rumah, dibawah kursi tak juga didapatinya. Wajah Qohar terlihat semakin memerah tak dapat disembunyikan lagi. Ia semakin bingung harus mencari kemana. Segala arah dan tempat telah disisir dengan seksama namun tak juga ditemukan kura-kura kesayangannya.
Kura-kuraku kemana? pikirnya dalam hati. Lalu menanyakan pada pakleknya.
"Paklek tau dimana kura-kuraku ?" Tanyanya berselidik.
"Kau tanya Aku, Aku tanya siapa?" Timpal Mansur balik bertanya.
"Maknyak, kura-kuraku hilang, tolong carikan Mak." Teriak Qohar meminta tolong neneknya dengan suara parau lalu ke dapur menyimpan balok kayu.
Mbok Nah keluar rumah tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur lalu memperlihatkan kura-kura dan memberikannya pada Mbok Nah. Ia lalu menyuruh Qohar mengambilkan sesuatu.
"Paklek ambilkan pisang dulu didapur sama kolak nangkanya, biar kura-kuranya Maknyak yang cari." Perintahnya sambil menghibur.
Dengan cekatan Qohar mengambilkan suguhan buat Paklek Mansur, lalu menghampiri Mbok Nah yang telah bermain dengan kura-kuranya di atas dipan.
"Lho kok bisa ketemu Mak?" Tanyanya dengan nada heran.
"Masa tidak bisa" Ujarnya.
“Tidak mungkin!”.
“Nyatanya mungkin.”
"Tadi ku cari-cari tidak ada." Kilahnya.
"Lha wong kenyataannya ada. Dibilangin kok ngeyel. Sudah! sana main lagi, Aku mau belajar sama Paklekmu jangan diganggu!" Suruhnya dengan nada gurauan.
Mbok Nah ke ruang tamu menemui keponakannya. Ia menyodorkan dua buah lembaran kertas dan ballpoint pada Mansur. Di perintahnya Mansur untuk menulis dan ia sendiri yang mendikte.
"Untuk apa Mbah?"
"Di gawe pepeleng蜉1!"
"Pepeleng nopo?"
"Poko'e pepeleng, ono gunane."
Jawaban itu seperti mematikan sebuah pertanyaan, dari kata-katanya yang terakhir sudah bisa ditebak seakan tak ingin di ketahui perihal maksud dan tujuan dirinya menyuruh menuliskannya meski itu oleh Mansyur sendiri. Iapun tak lagi melontarkan pertanyaan.
Mbok Nah mulai mendikte.
Manungso sing becik iku gampangan lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso kang ora ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki dijajah pirang-pirang tahun ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang ngelawan penjajah kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes merdeko tapi malah sedulure tego jajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan. Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil. Kowe kabeh bakal mati mbaur karo lemah[1]. Begitu selesai Mansyur lalu pulang tanpa dihujam rasa penasaran. Ia tidak memahami maksud dan tujuan Mbok Nah mendiktekan tulisan semacam itu. Sementara siang itu meski terik matahari tepat di atas ubun-ubun, tak menyurutkan niat Mbok Nah untuk pergi ke balai desa sekedar menempelkan selembar kertas dipapan pengumuman. Perjalanan yang ditempuh dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, berjarak sejauh enam kilo meter. Perlu waktu sekitar dua jam perjalanan pulang pergi.
"Apa Aku kemarin tak berpakaian di tengah jalan?, kok memalukan, memalukan apanya?"
"Oo wong edan!" Balasnya dengan kedongkolan.
Di sepanjang jalan Mbok Nah bercerita tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat, cita-cita luhurnya ingin menyatukan Nusantara. Bersama kerajaan Johor di Malaka terhitung telah dua kali Ratu Kalinyamat berupaya mengusir orang-orang Portugis, tetapi upayanya gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat[2].
“Tidak Mak!". Jawabnya dengan menggelengkan kepala.
"Jadi ini rupanya orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap pak Carik nerocos begitu saja.
"Monggo Mbah! duduk dulu, Pak Lurah masih melayani banyak orang.
"Dibayar berapa Mbah?" tanya yang lain.
"Tidak ada hubungannya sama sekali, Aku ra kedanan duit[3]." Jawabnya lantang dengan keberanian yang masih tersisa.
"Aku tidak percaya." Timpal pak Lurah sambil geleng-geleng kepala.
Sebagai perempuan renta, walau sekuat apapun ia takkan pernah bisa menandingi kekuatan-kekuatan lawan dengan tenaga yang berlipat-lipat. Secara dzahir ia lemah dan tidak berdaya menghadapi sekumpulan manusia yang ganas seganas harimau yang sewaktu-waktu tiba-tiba menyerang dan menerkamnya. Meski batinnya tetap tegar setegar batu karang yang dihempas ombak, ia tetap kalah dan mengalah pada kepasrahannya. Mengalah untuk menang. Tanpa terasa air matanya meleleh setetes demi setetes dari kedua bola matanya yang cekung mewakili perihnya bathin. Lebih sakit dari pada terputusnya urat-urat syaraf, lebih terluka dari perpisahan ruh dan jasad. Walaupun raganya masih tersisa serpihan-serpihan kekuatan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan konyol. Tidak bisa dipungkiri dan disembunyikan lagi. Jiwanya melemah seperti musnah daya dan upaya, ibarat kuli panggul yang tidak kuasa lagi menahan beban diluar kemampuannya. Menanggung beban yang sedemikian berat diperlukan seumpama pancaran sinar kekuatan. Tetapi hari itu tak seberkas sinarpun yang datang berpihak padanya. Diatas bangku kursi panjang yang seyogyanya hanya bisa memuat tiga orang itu Mbok Nah duduk terdiam dengan kepala menunduk. Disampingnya, Qohar mulai merasakan getar-getar kekhawatiran berselimut takut. Wajahnya yang putih bersih sejernih embun di pagi hari itu tak henti-hentinya memandangi wajah sendu neneknya. Raut mukanya mulai dibalut kekhawatiran, kedua tangannya yang masih remah masih bergelayut di ujung selendang neneknya yang mulai lusuh oleh keringat. Sesekali ia memegangi erat-erat kedua tangan neneknya. Seandainya Qohar yang masih kecil itu diberi kekuatan berlebih dari yang kuasa, Maka ia akan pertaruhkan raganya untuk dijadikan perisai bagi neneknya, tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum disunat, anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh. Seorang anak yang apabila ditendang salah seorang perangkat desa Rakusan bisa terlempar beberapa meter jauhnya. Hanya bergelayut di ujung selendang neneknya yang bisa ia lakukan.
Kedua telapak tangan Mbok Nah mendadak dingin seperti habis pasokan darah untuk mengaliri seluruh ujung jari-jarinya. Dadanya naik turun menahan nafas yang tiba-tiba mendadak terasa berat, didalam hatinya tiada henti melafadzkan istigfar, memohon ampun kepada Tuhan yang maha pemurah.
"Mbah! memangnya dengan air mata dan tangisanmu itu kami bisa kasihan begitu!" Ucap Pak Lurah sambil tersenyum sinis. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut pak Lurah. Satu bentuk pengakuan yang tiada disadari telah menguak kebobrokan dirinya sebagai manusia yang telah hilang dari rasa dan karsa. Satu bentuk metamorfosa tanah yang kelak akan kembali ke tanah yang lembut, sejuk dan tawadu'. Tetapi Lurah Desa Rakusan itu telah mengingkari dirinya sendiri, menafikan diri sebagai insan yang sejatinya teduh dan bersahaja. Nafsu amarah telah berselubung dan menelikung dirinya hingga hilang rasa kemanusiaan dari dalam jiwanya.
"Jawab Mbah!" Bentak seorang yang berdiri di samping kanan Pak Lurah sambil menggedor-gedor meja.
"Maknyak!!" Teriak Qohar spontan dengan menangis histeris. Tangis itu membuncah seketika. Satu ungkapan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam atas sikap salah seorang perangkat Desa yang sangat arogan. Tangis itu lalu tertahan pada nafas yang terburai, terputus-putus lalu berhenti. Sebentar saja, tak pernah terlalu lama Qohar menangis. Tak ada lagi rasa belas kasihan yang tercecer dari pak Lurah.
Setelah tangis Qohar terhenti pak Lurah mengambil kertas yang berisi tulisan tempo hari lalu dikibaskan ke muka Qohar agak keras. Qohar hanya diam menahan rasa sakit dengan meringis, kedua pipinya basah oleh air mata namun tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang bergetar kelu. Tak puas dengan satu bentuk penghinaan, Pak lurah menambahkan kata-kata sinis dan kecut, sangat menyakitkan seumpama kalbu yang teriris.
“Kok malah diam! Tidak menangis lagi ?” Kata-kata itu terasa pahit dan seolah mampu menyulap telinga menjadi merah, penuh oleh darah.
Mbok Nah tidak tinggal diam, dengan lantang ia melontarkan pertanyaan yang tidak kalah sengit.
"Cucuku tidak tau apa-apa, kenapa kamu tampar. Apa kamu yang memberi makan?" Pak Lurah diam tanpa sepatah katapun terucap, diwajahnya tersirat sikap tak acuh.
“Anda ini sudah jelas-jelas dinyatakan bersalah Mbah.!" Ucap salah seorang perangkat Desa yang lain. Seperti manusia yang tak pernah khilaf, orang-orang dilingkaran pemerintahan Desa langsung memvonis tanpa melihat duduk perkaranya secara obyektif terlebih dahulu.
"Kita bawa saja ke pihak yang berwenang." Celetuk perangkat yang lain.
Mbok Nah tetap pada pendiriannya, meski ia diteror tak sepatah katapun kata-katanya yang berubah. Berjam-jam Mbok Nah yang telah renta itu di interogasi tetapi tidak juga menemukan hasil yang mereka harapkan. tak lama kemudian Mbok Nah disuruh keluar dari ruangan.
"Ya sudah! kalau begitu Mbok Nah ikut kami!" Ucap seorang perangkat Desa disamping kirinya lalu dengan diapit dua orang dikanan kiri Mbok Nah dan Qohar yang masih polos itu dibawa ke dalam sebuah ruangan tertutup. Di dalam kamar yang lebih mirip dengan kandang kambing itu dipenuhi kertas-kertas lusuh, koran bekas dan kursi meja yang rapuh dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Tumpukan kursi-kursi yang telah usang itu memenuhi ruangan hingga langit-langit di pojok kamar. Belum sempat bernafas lega di ruangan pengap itu, Mbok Nah kembali didatangi dua orang perangkat desa yang masih belum puas dengan pertanyaan beberapa saat yang lalu. Dengan mimik beringas dan geram dua orang perangkat Desa itu menunggui dan menginterogasi kembali dengan beberapa pertanyaan yang dianggapnya belum tuntas..
"Mbah! semua ini pasti ada yang mendalangi. Siapa Mbah yang mendalangi? Simbah tinggal jawab kalau ingin bebas.!" Tawar salah seorang perangkat Desa.
Karena tidak tahan lagi menghadapi kedzaliman dan kemunafikan, Mbok Nah mencoba ngawur dengan menjawab sekenanya meski sebenarnya sama sekali tak ada yang mendalangi. Mbok Nah sempat tergagap sebelum terucap sebuah jawaban yang ngawur.
"oh...jadi orang chunghoa yang mendalangi. Kenapa Sampeyan mau diperbudak ?" Tanya yang lain sambil mengangguk-angguk.
" Karena ketidak adilan" Jawab Mbok Nah sekenanya.
“Ketidak adilan seperti apa?" Timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.
Lelaki tua yang tinggi seperti tiang listrik itu diam sejenak lalu bertanya lagi.
"Sampeyan menempelkan tulisan ini ke Balai desa sendirian, bukan?" Dahinya berkerut. Sementara Mbok Nah sendiri diam tidak menjawab. Nafasnya tiba-tiba serasa sesak, kedua mulutnya seolah terkunci. Sekujur tubuhnya mendadak dingin kehilangan daya tahan tubuh. Perempuan tua berambut perak itu seperti seorang prajurit yang terpojok lalu dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya. Ia ibarat ranting kecil yang kering ditengah-tengah gurun pasir, sekali di terpa angin akan terserak seketika. Sebentuk perempuan yang dirangkai dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali diluruskan ia akan patah, rapuh. Ia hanya bisa diluruskan dengan keris, keris estetika berlandaskan nilai-nilai rasa kemanusiaan yaitu keris perasaan. Meski harus menghadapi manusia-manusia konyol tetapi ia merasa kuat menghadapi sebuah kenyataan. Pertanyaan konyol yang tidak didasari oleh perasaan itu seperti tak kuasa untuk dijawabnya.
"Dibayar berapa Sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan itu terlontar.
"Aku tidak dibayar dan tak ingin di bayar. Uang dan perhiasanku sudah lebih dari cukup untuk membiayaiku seumur hidup!" Jawabnya dengan dongkol.
" Yo wis kalau begitu sampeyan disini dulu menunggu kebijakan dari pak Lurah." Dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya rapat-rapat. Tiada kepastian sampai kapan kebijakan itu selesai dibuat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian seumpama menantikan sebuah pencarian sebutir garam ditengah-tengah lautan. Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas dalam kisaran waktu yang terus berlalu. Dari bibirnya yang kering tak henti-hentinya melafadzkan kalimah istigfar. Satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri sebagai bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan', seorang manusia yang tidak akan bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan..
Rasa khawatir dan takut membaur menjadi satu. Qohar merengek meminta agar dirinya segera dipulangkan. Kedua bola matanya berkaca-kaca seiring tangis lirih yang tertahan, tetapi akhirnya ia bisa memahami keadaan setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis kecil mengisi kesunyian, Sementara itu tidak jauh dari tempat duduknya seekor laba-laba di ujung pojok kamar tengah membuat sarang dengan air liurnya. Dalam hitungan menit laba-laba itu sanggup merampungkan rumahnya. Tetapi rumah yang bisa dibangun dalam sekejap itu apabila dihempas angin dan badai akan hancur berkeping-keping, bahkan oleh tiupan angin seorang anak kecil. Begitu mudahnya sarang laba-laba itu terbangun dan begitu mudahnya pula hancur oleh sekedar tiupan angin.
Karena terlalu lama menangis akhirnya terhenti pula pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti menghilang seiring perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya yang putih bersih mengering, tanpa disadari Qohar lalu tertidur dipelukan Mbok Nah.
"Allahu akbar Allahu akbar...."
Terdengar alunan suara adzan Ashar. Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan serta jutaan planet-planet di angkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathin Mbok Nah. Waktu shalat dhuhur telah berlalu berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur kini telah berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk pengabdian dan rasa terima kasih kepada Al Khalik telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang kepada Tuhan karena hingga detik ini ia masih bisa mengecap kehidupan. Ia masih bisa merasakan nikmatnya umur panjang dan bernafas sepuasnya tanpa harus mengeluarkan gemerincing rupiah. Ia diberinya ujian hidup karena itu adalah satu bukti dari kecintaannya. Tapi semua itu belum bisa ia balas walau hanya berkorban waktu beberapa menit lamanya untuk mendirikan tiang agama. Ia hanya bisa berdzikir melafadzkan asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala didera permasalahan. Kepada Tuhan ia mengadu.
Ya Allah, sekiranya engkau buka mata hati mereka, engkau lunakkan dan bersihkan hatinya, niscaya akan kutambah ketaatanku padamu Ya Rabb.
Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin kencing lalu tanpa pikir panjang Mbok Nah mengambil plastik bekas yang terserak di lantai untuk menampung air seninya kemudian menaruhnya ke dalam laci disebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu. Mereka terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri.
Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar dikumandangkan Mbok Nah dan Qohar dikeluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Diluar ternyata lengang berselimut sepi tidak seperti apa yang terbayang dibenaknya. Di luar hanya tinggal beberapa orang yang masih setia menunggui balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak salah seorang perangkat desa mempersilahkan pulang.
"Mbah ! …berdasarkan kebijakan dari pak Lurah dan semua perangkat desa, setelah dimusyawarahkan dengan matang-matang ternyata sampean itu melakukan banyak kesalahan, tetapi karena adanya kemurahan dari pak Lurah sampeyan sekarang diperbolehkan pulang dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat, apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Kalau sampai masalah ini diketahui oleh polisi, maka bukan tidak mungkin rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Perlu sampeyan tahu, kemarin di desa tetangga, seorang ibu muda kehilangan rumah dan tanahnya untuk membiayai pengadilan." Ucap salah seorang perangkat Desa seraya menambahkan peringatan bernada mengancam.
Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya tubuh cucu satu-satunya erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata, pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.
" Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di balai Desa bilang Maknyak itu bersalah?" Tanyanya penuh selidik sambil berjalan.
"Sudah, sudah, jangan diingat-ingat!" Larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa barusan.
"Kenapa harus dihukum di kamar terus digembok?" Qohar Makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.
"Biarlah Allah nanti yang akan membalas" Jawabnya singkat.
"Maknyak tidak salah kan?" Rasa keingintahuannya seakan tak bisa dibendung lagi.
"Qohar! kamu makan tidak cukup hanya dengan nasi dan sambel, masih perlu lauk yang lain kan?" Ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.
“Hidup di dunia jangan hanya memandang antara salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah engkau cucu yang baik yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang hidup ini antara salah dan benarnya, apabila kamu melihat seseorang yang berbuat kemungkaran dan maksiat belum tentu orang itu salah atau benar, kita harus terlebih dahulu memahami maksud dan tujuan seseorang melakukan semua itu, jangan hanya bertindak gegabah lantas menghakimi, itu artinya mengabaikan Tuhan dengan berbuat sewenang-wenang. Bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan adalah musyrik. Cintailah semua orang, semua ummat manusia seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib dan Orang-orang yahudi, meskipun mereka telah dinash dalam kitab sebagai kaum yang ingkar.”
Mbok Nah menerangkan secara gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan dari KH. Idris.
Di tengah perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang menghadang dengan mengendarai motor. Diperhatikannya dengan perasaan cemas seseorang berbadan tambun berambut keriting itu. Raut wajah orang itu seperti orang yang ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya pak Susilo yang tengah menjabat sebagai kamituo Desa Rakusan.
"Mbah!" Panggilnya dengan sorot matanya membulat.
"Aku mohon maaf mbah. Karena tidak bisa membantu apa-apa."
"Simbah tidak menaruh dendam padaku, bukan?"
"Untuk apa aku dendam. Apa untungnya? semuanya sudah diatur sama Gusti."
“yo wis kalau begitu, mari Mbah?”
Dari hati yang paling dalam sebenarnya pak Susilo ingin membela Mbok Nah dengan terang-terangan tetapi ia menghawatirkan kedudukannya sebagai kamituo. Rasa takut menyelubungi jiwanya, khawatir apabila tiba-tiba ia dicopot dari jabatannya karena tidak sehaluan dengan pemerintah Desa Rakusan.
Setibanya dirumah Mbok Nah lalu merebus air kemudian menanak nasi. Sembari menunggu nasi matang Mbok Nah lalu ke sumur mengambil air wudhu dan mendirikan shalat ashar. Qohar tidak disuruh untuk mendirikan shalat, hanya disuruh belanja keperluan dapur ke rumah Bu Maryam. Selesai shalat ashar Mbok Nah lalu ke dapur menyiapkan lauk pauk untuk makan malam. Ketika hendak mengambil nasi dari periuk tiba-tiba tubuhnya lemas, ia terduduk lunglai di atas kursi kecil didepan tungku. Kedua kakinya gemetar dan sulit untuk digerakkan disertai ngilu di kedua lututnya, sekujur tubuhnya menggigil kedinginan meski didekat tungku perapian yang masih membara. Bara api yang masih membara itu agaknya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang dilanda kedinginan. Sementara kepalanya mulai terasa pusing, panas disertai demam. Ia menyangka mungkin dirinya hanya masuk angin biasa, Mbok Nah lalu beranjak ke tempat tidur kemudian istirahat. Tetapi suhu disekujur tubuhnya semakin bertambah panas. Ia hanya bisa tergolek lemas dipembaringan.
"Qohar!" Panggil Mbok Nah dengan suara lirih.
"Nasinya kalo sudah matang pindahkan ke bakul"
Qohar sore itu makan dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Mbok Nah kepadanya pelan dan pasti telah mengakar pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai makan ia suapi neneknya, namun hanya satu dua suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Nasi yang biasanya nikmat rasanya apabila tercecap di lidah itu mendadak tiba-tiba terasa pahit, selebihnya digeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi walaupun hanya sesuap. Seolah jiwa dan raganya tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan yang ditanggungnya sampai hilang gairah dan semangat hidupnya. Masih teringat segar dalam ingatannya kiamat kecil di balai desa. Trauma, pikirannya terus dihantui rasa takut. Tak lekang dari ingatannya bagaimana dirinya dicerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak menerkamnya. Dilecehkan seperti anak kecil dan disekap dalam ruangan kosong yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup baru kali ini ia mengalami nasib yang amat perih. Kini dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah tanpa arah. Dunia seakan tidak lagi menampakkan warna. Hanya satu yang senantiasa merapat dikepalanya, yaitu rasa takut.Peristiwa di balai desa itu membuatnya sakit lahir bathin. Seolah perempuan tua berambut perak itu seperti tidak mampu lagi menahan beban pikiran yang menderanya.
Telah beberapa hari Qohar tidak ikut mengaji di Musholla oleh sebab kesibukannya. Suara Iqamah telah berkumandang beberapa menit yang lalu, sebagai sebuah pertanda shalat berjamaah telah mulai didirikan. Dengan cekatan ia bergegas pergi ke Musholla dengan menyandang sebuah kitab suci, tetapi ia lupa memakai peci. Ia baru teringat ketika tengah berwudlu merasakan sesuatu disaat mengusap sebagian kepalanya. Ia mengira tidak masalah jika lupa tak memakai peci seperti hari-hari biasanya. Tetapi kali ini pengajarnya adalah Pak Haji Sholeh bukan Kang Fajri seperti biasanya.
Sehabis shalat berjamaah dengan sigap anak-anak berlari-lari kecil mengambil kitab suci di almari kitab lalu berebut mencari tempat yang terdepan. Tidak seperti acara tradisional lainnya yang lebih memilih berebut tempat duduk di tempat yang paling belakang. Mulanya Pak Haji Sholeh tidak memperhatikannya ketika masih dibelakang, tetapi setelah ia mulai bergeser maju ke depan barulah mendapat teguran dan peringatan dari Pak Haji Sholeh.
“Ketinggalan Mbah.” jawabnya sambil kepalanya menunduk.
“Niatmu kesini mengaji atau main-main?” Tanyanya lagi dengan nada tinggi.
Qohar terdiam, ia tak berani menjawabnya.
“Ngaji kok tidak membawa peci. Sudah pulang sana! Tidak usah mengaji lagi.”
Qohar malam itu terpaksa pulang diliputi rasa khawatir jika dimarahi lagi untuk yang kedua kalinya.
“Kok sudah pulang tak seperti biasanya?”
“Kenapa?” Tanyanya dengan mengerutkan dahi.
“Disuruh pulang Mbah Sholeh karena saya lupa bawa peci.”
“Ya sudah kalau begitu jangan pernah mengaji di musholla lagi. Sekarang ngajinya dirumah saja.” Timpalnya dengan nada kesal.
Malam itu Qohar tidur disampingnya, menemaninya tidur sambil memijiti kaki dan tangannya. Kedua bola matanya yang sayu membiru sulit terpejam meski telah berusaha ia pejamkan. Ia hanya pura-pura tertidur kala Qohar memijitinya. Akhirnya Qohar tertidur pulas disampingnya. Di tengah malam kedua bola matanya masih liar dan sulit untuk ditakhlukkan. Mata sebagai cerminan jiwa, penyibak sebuah rahasia, pembuka tabir yang terangkum dalam kalbu seakan ikut merasakan beban pikiran yang terlampau jauh bersarang di kepalanya. Sesakit dan seberat apapun permasalahan hidup yang melilitnya seringkali dengan mudahnya terlupakan. Paling lama permasalahan itu hilang setelah bangun tidur tetapi kali ini tidak. Belenggu itu masih terus menghantui pikirannya. Hingga fajar menyingsing kedua bola matanya masih liar. Dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba untuk mengingat kalimah Allah, disebutnya asma-asma Allah.
"Qohar! bangun cucuku" Mbok Nah membangunkan sambil membelai lembut keningnya. Qohar terbangun dari tidurnya. Dirabanya jari jemari di kedua tangan neneknya, terasa panas.
" Tanganmu terasa panas sekali Mak. Maknyak tidak apa-apa kan?".
"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Cepat ambil air wudlu dan laksanakan shalat!"
Selesai sholat tidak lupa memanjatkan doa sebisanya, meminta dan mengharapkan kesembuhan neneknya.
"Sekarang buka pintu dan jendela dapur lalu beri makan ayam-ayamnya dan jangan lupa beri makan kura-kuramu, setelah itu Maknyak buatkan bubur!”
Tanpa menunggu perintah susulan, Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela dapur lalu memberi makan ayam dan kura-kuranya. Setelah itu ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bubur.
"Maknyak! kelapanya habis" Ucapnya sambil melongok ke bilik Mbok Nah.
"Masih satu butir didalam ember." Jawab Mbok Nah dengan suara lirih.
Persedian kayu di dapur tinggal sedikit, hanya tersisa beberapa ranting. Ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon bambu yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang tak kunjung sembuh dan tidak sanggup lagi menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya menjadi bubur nasi sehingga memudahkannya untuk bisa ditelan karena bentuknya yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang secara tulus padanya kini keadaannya terpuruk tak berdaya ia jadi lebih menyadari dan memahami arti hadirnya seorang nenek baginya. Seandainya semenjak dilahirkan tidak ada orang yang sudi merawatnya, mungkinkah dirinya masih bisa hidup? Atas semua ketulusan yang telah diberikan padanya ia berjanji kepada diri sendiri akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya. Ia ingin membalas rasa tulus neneknya yang selama ini tercurah pada dirinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan lalu diambilnya kayu bakar satu persatu. Kini bubur nasi aroma santan kelapa yang praktis itupun tersaji disamping tempat tidur Neneknya.
Kali ini Qohar mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Ia berusaha menjadi penyejuk bagi jiwa yang masih diliputi rasa takut. Dengan sabar ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap. Dengan memaksa diri perempuan tua itu mencoba menelan suapan dari Qohar meski lidahnya terasa pahit, semua itu di lakukannya demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis dilahapnya. Bubur yang berasa asin itu mampu merangsang kerongkongannya untuk segera diguyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.
Terbersit rasa syukur di hatinya lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan seperti menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh Celah-celah samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.
"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun terus direbus seperti yang biasa ku lakukan” Pinta Mbok Nah pada Qohar.
Ditepi kampung Qohar dikesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak. Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu baginya seperti halnya upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk ditangkap. Tidak mudah untuk dicabut apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan cangkul atau peralatan lainnya. Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak ditempatnya, ia nyaris putus asa seandainya tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul disimpan dibawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Dibawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Digalinya tanah lempung yang elastis itu disekeliling temulawak dengan perlahan memakai cungkil dan pisau usang. Entah telah berapa minggu pisau usang itu tidak di asah. Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang. Ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah dititik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Tetapi hatinya terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.
Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit dicabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk dicabutnya. Dengan mudah kedua rimpang itu ia dapatkan. Bahan-bahan untuk ramuan itu dicuci bersih lalu ditumbuk di sebuah lumpang kemudian direbus dengan air tiga gayung seperti biasanya kala neneknya membuat ramuan. Malam itu kesehatan Mbok Nah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatannya. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua tangan dan kakinya yang semula terasa berat kini terasa ringan.
Merasa dirinya sudah baikan disuruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu beranjak ke sumur mengambil air wudlu. Selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.
"Kamu kenapa cucuku?" Tanya Mbok Nah penasaran. Tak ada jawaban, Qohar terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.
"Bocah bagus ada apa? kok seperti dikejar binatang." Tanyanya kali kedua.
"Aku baru saja melihat setan Mak!"
"Setan-setanan? " Jawab Mbok Nah balik bertanya.
"Bukan, bukan setan-setanan." Kata Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang ini beneran Mak!, tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat putih-putih seperti melayang dibawah pohon dadap. Aku takut sekali Mak!"
"Dikibuli setan kok takut, Itu karena sewaktu kamu mengambil jarek tidak membaca basmalah terlebih dahulu. Ya kan?"
"Iya, saya lupa Mak." Jawab Qohar tersungging senyum.
" Lupa kok dipelihara, setiap mengawali segala pekerjaan bacalah Basmalah supaya selamat. Mungkin yang kamu lihat tadi hanyalah plastik putih kecil tertiup angin. Karena kamu tidak membaca basmalah, Maka kamu dengan mudahnya diperdaya oleh setan. Putihnya kertas di malam hari dalam kamarpun akan tampak seperti pocong kalau kamu sendiri lupa membaca basmalah!"
" Mak! kata faldi sekarang sudah tidak ada setan. Apa itu benar Mak?"
"Iya memang ada benarnya. Tapi perlu kamu tahu bahwa setan sekarang sudah menyatu dalam diri manusia atau lebih tepatnya sudah berubah bukan tidak ada. Kalau ada orang yang marah lalu mengamuk seperti kesetanan, maka disitulah setan bersemayam. Karena akal, hati dan pikirannya telah dikuasai oleh nafsu dan amarah yang dihembuskan oleh setan. Dulu kata Mbah Rasup Buyutmu, sewaktu Maknyak masih kecil katanya setan itu bisa kelihatan. Terkadang menampakkan diri dalam bentuk binatang, genderuwo, kuntilanak dan lainnya. Tetapi sekarang apakah kamu pernah lihat setan?"
"Maknyak sendiri sudah pernah lihat?”
"Tidak pernah, tapi kalau melihat orang yang sudah mati lalu hidup lagi Maknyak pernah."
Suatu hari aku pergi menyusul bapak ke pematang, jalannya melewati tengah kuburan. Biasanya di tengah kuburan itu memang tidak ada apa-apa. Tapi hari itu terasa ganjil, Aku berpapasan dengan kakek tua berbaju serba putih, ditangannya menggelantung seutas kain putih yang telah lusuh. Kakek tua itu melintas persis didepanku, jalannya tertatih-tatih, pakaiannya compang-camping dan kotor penuh dengan bekas tanah basah seperti habis dari sawah mengolah lahan. Dari kedua sorot matanya mengisyaratkan sebuah kekecewaan yang mendalam, tampak pucat dan sayu membiru seperti seseorang yang tengah menderita katarak. Rambut kakek tua itu meski pendek tapi terlihat acak-acakan seperti tak pernah disisir berbulan-bulan. Sebelumnya ku perhatikan kakek tua itu datang dari perkampungan, Aku sendiri merasa tidak pernah melihat dan mengenalinya. Karena saking penasaran Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Dari rumah anakku." Jawabnya dengan suara lirih agak terbata-bata.
"Kok membawa kain putih cuma segitu? Untuk apa?" Tanyaku penasaran.
"Untuk peringatan. Sudah beberapa hari kuperingatkan anak-anakku. Sebenarnya tali pocongku belum dibuka, yang telah dibuka hanyalah kain di lapis pertama" Jawab Kakek tua itu dengan nafas tersengal-sengal.
"Masya Allah!!" Aku kaget, bulu kudukku berdiri dan seluruh kepalaku tiba-tiba seakan seperti diperban kuat-kuat,ditekan-tekan tanpa terlihat pelakunya.
Seketika itu ku menjerit histeris, berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari namun ndilalah kersaning Gusti, tak seorangpun yang mendengar teriakanku. Aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kakek tua itu. Setelah sampai dikejauhan aku teringat beberapa minggu yang lalu ada berita kematian dari kampung seberang, nama orang yang telah meninggal itu tidak lain adalah Munarman. Sesaat setelah kematiannya orang-orang kampung terutama para ibu-ibu memperbincangkan beberapa persoalan yang masih membelitnya. Diantaranya persoalan hutang dan harta warisan. Meski di usianya yang telah udzur dan telah memiliki banyak cucu dan beberapa cicit, akan tetapi harta pusaka dan peninggalannya belum juga dibagi dan diserahkan kepada anak-anaknya. Belum selesai kisah mistis itu diceritakan, Qohar secepat kilat mendekap ke tubuh neneknya lebih erat.
"Memangnya tali pocong itu harus dibuka ya Mak?" Tanya Qohar berselidik.
"Kok tidak dibuka sendiri tali pocongnya?" Rasa keingintahuannya tiba-tiba membuncah.
"Kamu kira mayat bisa membuka sendiri tali pocongnya?" Seloroh Mbok Nah balik bertanya.
"Mayat itu bangkai manusia, sudah tidak bisa apa-apa lagikarena ruhnya telah pergi, nyawanya telah dicabut oleh yang kuasa. Ruh itu barang gaib, bisa dirasakan tetapi tak bisa dilihat. Ada suara tapi tanpa rupa seperti kamu!"
"Ah Maknyak menakut-nakuti saja. Oh ya Mak barang gaib itu seperti apa?" Tanya Qohar penasaran
"Ya tidak seperti apa-apa!" Mbok Nah diam sejenak. "Kamu pernah melihat angin?"
"Ya kira-kira seperti angin itu, bisa diraba dan dirasakan tapi tak bisa dilihat.
"Ohh begitu." Ujarnya mengangguk-angguk puas.
"Yo wis kalau begitu kamu baca basmalah terus berdoa seperti biasanya terus tidur."
Merasa dirinya sudah sembuh, dipagi buta tanpa sepengetahuan Qohar, Mbok Nah mengambil air wudlu lalu mendirikan sholat kemudian menuju dapur hendak menanak nasi. Diambilnya air dari sumur untuk mencuci beras lalu memasaknya. Karena airnya dirasa kurang iapun mengambil lagi ke sumur. Begitu air didapat lalu dibawa ke dapur, tetapi ia malah terpeleset dan jatuh didekat sumur hingga pingsan, kepalanya terbentur sebuah tiang bambu disamping sumur. Tak ada seorangpun yang mengetahui hal ini, beberapa saat kemudian Qohar terbangun dan tidak mendapati neneknya, iapun bergegas mencarinya, begitu ditemukan Qohar kaget bukan kepalang..
Setelah tersadar Qohar membantu memapahnya ke dalam bilik.
"Maknyak kan belum sembuh benar, kenapa tidak istirahat saja?" Dari kedua bola matanya seperti meleleh.
"Tidak apa-apa, nanti nasinya kalau sudah matang dibuat bubur saja."
"Sudah! jangan dipikirkan. Yang penting Maknyak sehat dulu."
Setiap kali Mbok Nah mengangkat periuk dari tungku, Qohar seringkali melihatnya tanpa melapisi tatakan lain dikedua tangannya, ia pun mencobanya. Setelah dicoba ternyata tak semudah dengan yang ia bayangkan, antara berat dengan dimensi panas menyatu. Tak kuasa ia bertahan terlalu lama barang beberapa detik. Ketika periuk akan dipindah, ujung jari tangan kirinya tiba-tiba terkena bara api kecil yang menempel di dinding periuk, sehingga melepuh dan meninggalkan bekas luka.
Bubur nasi putih itu telah matang dan tersaji di meja. Di ambilnya semangkuk buat dirinya dan semangkuk lagi buat neneknya. Bekas luka yang masih terlihat melepuh berusaha ia tutup-tutupi namun karena suatu ketidak sengajaan, lukanya terbentur mangkuk bubur disampingnya. Meski benturannya tidak terlalu keras tetapi ia telanjur mengaduh pelan secara spontan tanpa sengaja.
"Kenapa tidak hati-hati, siapa nanti yang merawatku jika kamu juga ikut sakit?" Keluh Mbok Nah menghawatirkan keadaan Qohar.
"Tidak apa-apa Mak, nanti juga sembuh.?”
Diluar sana kabar miring mengenai persekongkolan Mbok Nah dengan orang-orang Chunghoa cepat tersebar. Orang-orang kampung yang masih lugu dan menganggap tabu kehadiran orang-orang asing itu terpancing oleh hasutan pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Satu bentuk kesalahpahaman yang kian mengakar dimasyarakat. Bumbu-bumbu dusta merasuk ke dalam sendi-sendi percakapan para ibu-ibu. Kabar yang beredar Mbok Nah kini menjadi berani kepada pemerintah Desa Rakusan semenjak bertemu dan bersekongkol dengan orang-orang Chunghoa.
Belum genap dua hari peristiwa balai Desa itu, kini kabar mengenai dirinya telah tersebar luas. Dari mulut ke mulut kesimpangsiuran kabarnya kian meluas. Kabarnya Mbok Nah mulai berani melawan pemerintah Desa Rakusan karena ada yang mendalangi, tersiar kabar pula Mbok Nah membantu pengusaha Chunghoa didalam upaya menguras sumberdaya alam dengan menguasai tanah ulayat warga. Jika semua itu terjadi dikhawatirkan akan mengganggu kearifan lokal yang telah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kearifan lokal kian tercerabut dari akarnya, maka bukan tidak mungkin akan hilang mata pencaharian penduduk.
Satu gambaran kekhawatiran warga yang semakin menjadi-jadi. Berita itu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan oleh ibu-ibu di kebun dan juga di sawah yang tengah memulai musim tanam. Kabar yang tak jelas juntrungannya itupun sampai juga ke telinga KH Idris, pemimpin pondok pesantren Attaubah sekaligus pembina dan pengasuh sebuah majlis taklim. Seorang Kiai yang dikenal ahli tafsir Al qur'an dan Hadits.
Di majlis taklim Attaubah asuhan KH Idris itu Mbok Nah mengaji dan menuntut ilmu selama ini. Begitu kuat pengaruh KH Idris di masyarakat, melebihi peran pemerintah. Setiap kali ada permasalahan yang mencuat, hanya kepada kiai yang menjadi jujugan masyarakat sekaligus sebagai tempat berbagi dan berkeluh kesah. Bagi KH Idris Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah suatu keniscayaan, harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.
Setelah mengetahui adanya desas-desus penguasaan lahan oleh orang asing dari selentingan warga yang tak menghendaki adanya monopoli yang didasari oleh kesalah pahaman. Tanpa menunggu waktu lama Kiai Idris mengerahkan sebagian santrinya ke balai Desa Rakusan, menuntut agar lahan yang telah dibeli oleh pengusaha chunghoa supaya secepatnya dibatalkan dan segera diblokir jalannya. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara diwaktu yang sama KH Idris mengutus dua orang santrinya menemui Mbok Nah. Dalam pertemuan itu dua orang santri itu menyampaikan pesan dari KH Idris yang berisi himbauan agar Mbok Nah tidak usah lagi, hadir mengikuti pengajian majlis taklim yang diasuhnya karena telah dianggap mencemarkan nama baik majlis taklim. Di Majlis taklim yang di asuhnya sebulan sekali itu tidak menerima jama'ah yang mempunyai cacat moral macam Mbok Nah.
Tanah kapling yang telah dibeli beberapa hari yang lalu itu didatangi ratusan santri. Mereka membawa batu, kayu, minyak tanah dan peralatan lain untuk memblokir tanah kapling yang di anggapnya terlaknat itu. Dengan di bantu para pemuda kampung setempat, mereka semakin leluasa mengobrak-abrik tanah kapling yang sedianya untuk pembangunan pabrik kopra itu. oleh pak Yusuf dan pak Amin juga tidak luput dari amukan para santri dan pemuda-pemuda kampung, gubuk kecil berukuran dua kali dua meter itu ikut terbakar hangus hingga rata dengan tanah. Dengan dibakar semangat jihad mereka teriakkan yel-yel takbir sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Saling menyambung dan mengisi satu sama lain.
Allahu Akbar Allahu Akbar ! Allahu Akbar Allahu Akbar !
Kalimah takbir yang suci itu dengan sengaja mereka nodai lalu mempermainkannya sedemikian rupa di ditempat yang tidak semestinya. Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang bukan haknya. Tanah kapling itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan itu dilanjutkan. Tanpa disadari mereka telah menjajah saudaranya sendiri. Hati sanubari mereka sama sekali telah mati . Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain.
Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?Atau bahkan menjadi menang? Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka tidak mengetahui jika Tuhan tidak memerlukan semua itu.
Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? Hingga mereka tega merampas hak orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama, Agama yang manakah yang mereka bela? Dengan samar mereka ingin menuhankan diri dan semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus, sehingga tiada lagi terasa. Ketika semua itu berhasil maka para iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Karena telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan untuk dijadikan kerak di dalam neraka
Belum sepenuhnya sembuh dari sakit, ujian hidup kembali datang menyambanginya. Kini seorang Kiai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang. Ratusan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Dampaknya kini muncul sentimen dari masyarakat. Para tetangga menjulukinya sebagai orang tua yang tidak waras. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang ditempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang ditanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tidak mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap berusaha menghapus memori peristiwa balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin itu. Sakit hati yang tidak ada obatnya itu hanya bisa diobati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi.
Rasa sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Ia mulai takut jikalau berpisah dengan ruhnya. Didalam bathinnya bertanya-tanya. Mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh yang kuasa harus kuterima, biarpun waktu yang ditorehkan hanya tinggal beberapa hari. Bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar. Itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.
"Baskom cuci tangannya mana?" Pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur.
"Kenapa tidak dihabiskan ?"Tanya Qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.
"Mulutku terasa pahit.” Ujar Mbok Nah mengeluh.
Kamu sudah Makan?” Tanyanya kemudian.
"Belum lapar Mak!” Jawab Qohar Dengan wajah lesu.
"Kalau begitu Maknyak ambilkan uang dilemari lalu belikan bubur kacang hijau dua bungkus. Sekalian belikan pil reumatik dan flu tulang dua kaplet, kakiku rasanya ngilu.”
"Tadi saya mau mencuci tapi sabunnya habis!”
"Ya sudah! kamu belikan sabun cuci sekalian." Perintahnya kemudian.
Dua bungkus kacang hijau telah ia dapatkan di warung bu Bariyah, ia lalu mampir ke toko bu Maryam untuk membeli obat dan sabun cuci. Sementara di waktu yang sama seorang Ibu muda yang tengah belanja di toko Bu Maryam menanyakan keadaan Mbok Nah kepada Qohar.
"Kata Bu Mirna kemarin nenekmu sakit, bagaimana keadaannya sekarang? sudah sembuh?".
Begitu barang yang dipesan telah didapat Qohar lalu membayar barang belanjaan, tetapi oleh Bu Maryam sebagian uangnya sengaja dikembalikan itung-itung sebagai amal sirran蜉1.
"Nanti saya dimarahi Maknyak."
"Wis ra opo-opo, lha wong nenekmu sakit kok masih banyak bertingkah!
Malam mulai menampakkan wajahnya, rembulan yang siang itu bersembunyi dibalik awan kini waktunya menampakkan diri. Sekumpulan kelelawar mulai keluar dari lubang pada ruas-ruas bambu disetiap teras rumah. pertanda waktu maghrib telah tiba. Kearifan alam hadirkan pengetahuan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tradisi. Anak-anak dengan busananya yang rapi mulai menyandang kitab suci lalu dengan indahnya anak-anak kecil melafadzkan kalam ilahi. Kalimah-kalimah yang selalu selaras dengan berbagai zaman itu tak pernah bisa dinodai hingga dunia digulung. Setiap hari setiap minggu muncul tunas-tunas baru al khamil蜉2 diseluruh penjuru dunia yang senantiasa mengawal dan menjaga kesuciannya. Sementara itu sekumpulan ayam, kambing dan ternak-ternak lain telah masuk ke kandangnya masing-masing. Burung hantu, mahluk Tuhan yang unik, bisa memutar lehernya hingga seratus delapan puluh derajat itu mulai mengasah ketajaman indera penglihatannya dengan sorot matanya yang kaku seolah tak bisa bergerak. Seandainya seseorang memperhatikan sorot matanya berlama-lama maka akan tersipu malu dan meringis dibuatnya. Siapapun orangnya. karena sorot matanya yang tajam itu terus memaku seperti sedang berakting. Tetapi aktingnya keterlaluan dan mampu mengalahkan rekor hingga berjam-jam lamanya. Burung itu menanti dan terus menanti datangnya mangsa, begitu mangsa datang secepat kilat burung itu menyambarnya.
Selepas waktu Isya' para tetangga dengan beberapa anaknya datang menjenguk Mbok Nah.
Malam itu Qohar sedikit sumringah, para tetangga secara sukarela membagi tugas masing-masing. Ada yang membantu merapikan tempat tidur, melipat baju, memijiti, dan memasak air. Adapula beberapa ibu yang sengaja datang untuk menghibur dengan banyolan-banyolannya yang khas.
"Lho setelah di pijiti kok malah sekujur tubuhnya Makin terasa dingin bagaimana ini? Wah jangan-jangan..." Kata seorang perempuan kepada rekannya.
"Ah kamu menakut-nakuti saja." Sahut yang lain.
"Lha wong tubuhnya makin terlihat segar gitu kok, ya mbok ya?" Tanya seorang perempuan yang berpakaian abu-abu. Mbok Nah cuek saja sambil menahan senyum. Lalu kemudian senyumnya mengembang.
"Lha mukamu kenapa? kok coreng moreng, habis masak ya?" Tanya yang lain sambil terus memijiti kaki Mbok Nah, mengada-ada.
"Masa iya, lha wong saya tadi mau kesini ya bedakan dulu." Keluhnya sambil mengelus-elus pipinya. "Yang mana sih?". Tanyanya kemudian.
"Itu lhoo itu." Tipu yang lain ikut nimbrung sambil jari telunjuknya mengarah lurus ke arah orang yang tengah menjadi bahan tertawaan.
" Yang mana?" Tanyanya lagi." Ngaco kamu!"
"Lha wong kamu dikibuli kok mau." Ujar yang lain membuka tabir.
"Sudah tua kok gampang ditipu. "
"Mbok! sampeyan ini sudah tua perbanyak istirahat saja." Nasehat seorang yang memakai pakaian merah marun, lalu kemudian memohon diri pamit pulang.
" Wes poko'e tenangkan pikiran, perbanyak dzikir biar cepat sembuh." Ujar yang lain.
"Jangan lupa makan makanan yang bergizi."
“jangan lupa minum air putih yang banyak.”
"Kok makannya cuma bubur, mbok ya dibelikan sate atau ayam goreng gitu lho, uang banyak kok pengiritan." Gerutu yang lain dengan wajah cemberut sambil memberikan bungkusan plastik berwarna merah.
Malam semakin larut, para ibu beserta anaknya satu persatu pamit pulang. Dari para tetangga itu Mbok Nah mendapatkan banyak buah tangan berupa roti, mie instan, sate ayam, lontong pecel, keripik singkong hingga kacang rebus. Setelah semuanya pulang Qohar membuka dan mencicipi sebagian oleh-oleh dari para tetangga itu tanpa harus menunggu perintah dari Mbok Nah. Melihat semangat cucu satu-satunya dalam membuka bungkus demi bungkus itu, guratan-guratan kecil diwajahnya mulai bertambah kerut. Menyiratkan sebuah kebahagiaan. Mbok Nah Semakin bertambah senang ketika melihat Qohar makan roti coklat belepotan. Ingatannya melayang jauh ketika Qohar masih lucu-lucunya, ia teringat tingkah polah Qohar sewaktu gagal menangkap anak ayam, berebut lauk dengan kucing sewaktu ditinggalnya mengambil air minum. Sewaktu ingin belajar makan sendiri lalu di tinggalnya. Belum lama ditinggal nasinya tumpah lalu dengan terburu-buru di tutupinya dengan debu, pada hal waktu itu Mbok Nah melihat semuanya dari balik pintu. Teringat pula disaat ia membuatkan titilo jago tilo[4] membuat Qohar gembira bukan main, saking gembiranya kakinya kesandung dan terjatuh lalu menangis. Begitu mudahnya tawa itu menjadi tangis.
"Maknyak kok malah bengong! Maknyak tidak makan?" Tanya Qohar memecah kebekuan.
"Tidak, tapi lapar" Candanya dengan nada serius." Coba kamu lihat yang diplastik merah itu isinya apa.?" pintanya kemudian.
"Maknyak kepengen? Saya suapin ya Mak?" Tawar Qohar.
"Isinya apa?" Mbok Nah tetap kekeh dan kembali mengulang pertanyaannya.
"Jangan kau makan! Buang saja atau berikan pada kucing!" Larang Mbok Nah sambil geleng-geleng kepala.
"Barang itu tadi diberikan dengan setengah hati, itu artinya pemberiannya tidak ikhlas. Kamu tahu kan maksudnya?"
"Jika kamu pengen nanti kita beli sendiri!" Hibur Mbok Nah kemudian.
Telah beberapa hari Mbok Nah tidak mengunjungi sawahnya lantaran keadaan dirinya belum pulih benar. Kali ini sebelum ia kembali ke sawah ia ingin memastikan jika dirinya sudah benar-benar sembuh. Tidak ingin sawahnya telantar dan mengering begitu saja, Mbok Nah menyuruh Qohar agar ke sawah mengambil jatah pengairan.
"Qohar ! kamu nanti ke sawah mengambil jatah pengairan, kalau ada yang melarang bilang saja sudah berhari-hari belum dapat jatah. Jangan sampai tidak dapat soalnya mungkin sekarang sawahnya sudah kering." Perintah Mbok Nah sembari menasehati dengan memberikan sebuah jurus jitunya.
Dipematang Qohar bertemu dengan ibu-ibu yang tengah menyiangi rumput disawah tetangga. Mereka berbagi cerita dan saling mengungguli satu sama lain. Suasana ramai mengisi hari-hari dipersawahan. Tak jauh dari tempat para ibu-ibu yang bercuap ria itu ada lagi sekumpulan ibu-ibu yang juga tengah mengobrol dengan sesekali diselingi tawa yang secara tidak langsung telah menjadi sumber semangat tersendiri. Tanpa terasa pekerjaan selesai lalu pulang. Begitulah orang-orang kampung dengan keluguannya dalam mewarnai kehidupan.
Tak terlalu sulit untuk mendapatkan jatah pengairan karena sawah-sawah disekitarnya telah teraliri. Air yang melimpah itu ia arahkan begitu saja kesawahnya.
"Yang mengairi kok kamu? Mbahmu ke mana?" Sapa seorang ibu yang biasa akrab dipanggil Mbak Rumini.
"Di rumah, sedang tidak enak badan."
"Mbahmu katanya sakit ya?” Tanya perempuan yang lain.
"Kebanyakan uang kali?" Sahut seorang perempuan yang memakai caping gunung bercat hijau sambil mencabuti rumput sembari bercanda.
"Sakit apa?" Tanya seorang perempuan yang berselempang selendang.
"Ooh kena reumatik mungkin." Sahut yang lain.
"Biasanya kalau kebanyakan uang yang sakit itu kepalanya karena pusing mau dikemanakan itu uangnya” Sahut yang lain lagi sambil cengar-cengir.
“Tapi kalau kakinya apa dibuat mikir?" Seloroh perempuan paruh baya yang tengah mengumpulkan rumput hendak dibuang.
Para ibu buruh tani terbiasa bercanda ria sembari menyiangi rumput. Dari waktu kewaktu selalu ada saja topik yang dibicarakannya.
Tidak ingin ikut hanyut dalam obrolan para ibu-ibu. Qohar pergi menjauh memperbaiki dan mengecek saluran air sambil menyiangi rumputan liar disela-sela tanaman padi. Pekerjaan itu dilakukan sambil menunggu ratanya permukaan air. Disepanjang guludan rumput-rumput liar dan ilalang dibersihkan dengan rapi seperti yang biasa dikerjakan neneknya. Dari jauh samar-samar tanpa sengaja masih terdengar pembicaraan ibu-ibu buruh tandur. Semenjak kedatangannya ke sawah pelan-Pelan mereka menggiring dan mengalihkan topik pembicaraan ke masalah neneknya. Dibawah terik panasnya mentari yang kian menyengat tak menyurutkan para ibu-ibu itu untuk terus bercerita. Ada semacam rasa puas dan bangga menghinggapinya apabila mengetahui berita itu secara menyeluruh. Itung-itung dijadikan hiburan sebagai upaya keluar dari keadaan yang menelikungnya. Terkungkung oleh rasa jemu, keram dan pegal-pegal disekujur badan. Biasanya di waktu dzuhur mereka mulai beristirahat.
Mereka seperti terhibur dengan cara bergosip ria dan seolah terobati akan sebuah candu yang telah lama mengakar dan bersarang di kepala para ibu-ibu itu. Sambil menyiangi rumput para ibu-ibu itu tak henti-hentinya membicarakan orang lain. Sementara Qohar semakin asyik pula dengan dunianya sendiri, mengairi sawah sembari menyiangi rumput, lalu sesekali pergi ke sungai dan nyebur dengan gaya saltonya.
"Kayaknya memang sudah cukup lama ya Mbok Nah tidak ke sawah." Ujar perempuan yang dari tadi pagi pekerjaannya hanya membuang rumput ke selokan
"Mungkin sakitnya sudah ada seminggu, kalau tidak salah semenjak dari balai Desa." ujar yang lain.
"Mbakyu tak bilangin! Jangan bilang ke orang-orang ya? Kabarnya Mbok Nah itu sudah tidak di perbolehkan ngaji di majlis taklim asuhan pak Yai Idris karena bisa mendatangkan aib bagi Majlis Ta'lim itu sendiri. Kalau Mbok Nah tetep nekat ikut pengajian itu sama artinya dia mencemarkan nama baik pak Yai, sampai-sampai kata Mbok Karti yang ikut pengajian kemarin pak Yai berpesan kepada seluruh para jamaah agar supaya berhati-hati di dalam bekerja, bertindak maupun bersikap. Jangan sampai menjadi Mbok Nah yang kedua kali. Yang lurus-lurus saja gitu lho." Bisik Nyai Sarkem kepada katimeh.
"Katanya Mbok Nah cuma jadi makelar tanah?" Timpal Katimeh pelan.
"Makelar sih Makelar tapi buktinya kan kayak gitu, sekongkol dengan orang-orang kafir." Ujar nyai Sarkem yang biasa menyaMakan orang-orang asing itu dengan orang kafir.
"Sakitnya mungkin adzab dari gusti Allah." Seorang perempuan yang lain berkesimpulan.
"Adzab kepalamu! Lha wong Mbok Nah itu katanya bela-belain ke balai Desa demi keadilan kok!" Bela Kasanah, tetangga jauh Mbok Nah yang sejak tadi diam saja. "Dia itu protes dengan aturan yang di buat pak Carik yang katanya berubah-ubah itu!"
"Aku dengar-dengar sih katanya Mbok Nah itu menempelkan kertas, entah isinya apa gitu lho di papan balai desa sehingga memancing amarah para perangkat Desa." Ujar yang lain.
"Bukan begitu, tapi yang jelas menurutku Mbok Nah itu cuma negur atau sekedar mengingatkan pihak pemerintah Desa. Pihak pemerintah Desa kan juga manusia yang bisa saja salah dan khilaf. Siapa lagi yang mau menegur atau mengingatkan pemerintah kalau bukan masyarakatnya seperti kita, benar apa tidak.?" Kata yang lain kepada rekan-rekannya.
“Iya ada benarnya juga.” Jawab yang lain.
"Setahun yang lalu aku membukukan surat tanah yang di belakang rumahku itu eh nyatanya baru jadi kemarin, itupun karena sering-sering tak beri uang tambahan biar cepet kelar, sampai habis satu juta lho!" Sambung perempuan yang berkerudung merah.
"Apa semua itu harus dibiarkan terus menerus.?” Sahut perempuan yang lain.
"Yaah mau bagaimana lagi, ya dimaklumi saja. Lha wong nyalon kades saja modalnya sudah ratusan juta, dari mana modal bisa kembali kalau bukan dari masyarakat!" Pungkas kasanah nerocos begitu saja lalu berlari-lari kecil menuju sungai, hendak buang hajat.
Beberapa hari ini Mbok Nah menjadi bahan perbincangan, baik itu di rumah maupun di sawah, bahkan di majlis ta'lim dan tempat pengajian para ibu-ibu.
Kini Qohar telah terbiasa mendengar neneknya diperbincangkan, tidak ada lagi rasa heran maupun kaget mendengar pembicaraan-pembicaraan konyol tentang neneknya. Selesai mengairi sawah ia langsung pulang dan tidak lupa di setiap jejak langkahnya sepanjang perjalanan ia sempatkan diri memunguti kayu-kayu kering. Tanpa terasa semakin banyak kayu bakar yang di dapatnya, dengan agak kesulitan ia membawanya sambil sesekali istirahat di bawah rimbunnya pohon asem.
Di waktu yang sama tak jauh dari tempatnya beristirahat terparkir sebuah mobil pick up dengan warna hitam metalik, salah seorang penumpangnya datang menghampirinya. Sejenak ia teringat beberapa hari yang lalu dengan salah seorang yang akan mendekati dirinya, sewaktu rumah neneknya di datangi dua orang tamu asing yang tidak begitu di kenalnya, lama-lama ia mengenali betul wajah seseorang yang mulai mendekatinya, namun ia tak mengetahui siapa namanya.
"Itu orang nya!." Ujar pak Puji, sopir pribadi pak Amin yang tengah menunggu di pintu mobil setengah berteriak.
"Hai bocah bagus kamu cucunya Mbah Aminah, bukan?" Tanya pak Amin setelah menghampiri Qohar.
"Di rumah, kemarin sewaktu Maknyak pulang dari balai Desa badannya langsung panas demam, Maknyak di hukum di balai desa." Ujarnya polos.
"Oohh...Ya sudah jangan bersedih!" Hiburnya kemudian. "Ayo ikut sekalian, taruh kayunya di atas bak, kita ke rumahmu!"
Ajak pak Amin dengan mengangguk-angguk.
Di teras rumah Mbok Nah duduk selonjor diatas dipan sambil mengupasi kacang tanah.
Tanpa berbasa-basi, begitu sampai di rumah Pak Amin dan pak Puji langsung menanyakan tanah kapling yang telah di blokir itu. Qohar masuk ke rumah hendak makan siang.
"Nenek sudah tau mengenai tanah kapling yang telah kami beli kemarin sekarang telah di blokir?Tanya pak Amin sambil duduk di sebelah Mbok Nah.
"Ya tahu. Saya mohon maaf pak tidak bisa berbuat apa-apa, kata Sarmi kemarin tanah itu sudah dipalangi kayu. Sungguh saya tidak mengira kalau akhirnya ditutup seperti itu, saya sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."
"Oke kalau Nenek tidak mengerti, tapi setidaknya Nenek tahu jika tanah itu bermasalah kan? Lalu kenapa Nenek tidak berterus terang saja dari awal. Sehingga kami dari pihak perusahaan yang merugi. Anda tidak sekongkol kan dengan pelaku pemblokiran?" Tanya pak Amin dengan sungguh-sungguh. Tak sepatah katapun yang terlontar dari Mbok Nah.
"Tolong jawab dengan jujur Nek?" Sela pak Puji menambahkan. Mbok Nah masih tertunduk lesu, dari kedua bola matanya mulai meleleh.
"Aku benar-benar tidak tahu dengan semua ini." Jawabnya dengan suara lirih.
"Saya tidak mengerti kenapa Nenek bisa dihukum dibalai desa?"
"Bagaimana semua itu bisa terjadi?"
"Nenek bisa berbagi kepada kami perihal kejadiannya sehingga bisa sampai dihukum?"
"Tidak. Saya tidak dihukum, saya hanya ditahan dan dikurung disebuah gudang."
Mbok Nah bertutur tentang peristiwa itu hingga tuntas. Selesai bertutur tentang pengalaman pahitnya itu pak Amin meminta ijin agar Mbok Nah bersama Qohar bersedia di potret.
"Kok di photo segala untuk apa? Wong saya sudah tua gini kok!" Tukas Mbok Nah dengan lugu. .
"Nek! perusahaan kami selain mengelola pabrik kelapa sawit juga mengelola media massa dan rencananya tahun depan perusahaan kami akan merambah dibidang pengolahan hasil perkebunan di tiga wilayah di Indonesia. Pak Amin yang memotret ini selain mempunyai pekerjaan sebagai konsultant juga merangkap sebagai wartawan." Ujar pak puji menerangkan.
" Nenek tahu itu? Tanyanya kemudian.
"Yaah aku hanya orang kampung yang tidak tahu apa-apa." jawabnya dengan lugu.
"Ooh ya nek! kami baru saja meliput sebuah insiden pembunuhan di desa kapasan. Sebelum kami meninjau bakal lokasi proyek yang tengah diblokir itu. Nenek belum tahu kan kabarnya?”
"Aku malah tidak tahu, pada hal desa Kapasan itu tetangga kampung ini.
"Kejadiannya tadi malam Nek! seorang istri dibakar suaminya dibelakang rumahnya sendiri. Awalnya warga menyangka pelaku pembakaran sedang membakar sampah karena dijumpai banyak kertas kardus dan kertas folio disekitar lokasi pembakaran. Baru kemudian pagi harinya warga kampung di buat geger setelah seorang pemulung menemukan jasad seorang perempuan tanpa busana yang telah gosong disekujur tubuhnya.
"Masya allah!! Ujar Mbok Nah takjub sambil mengurut dada.
Hanya berselang dua hari kemudian kisah pilu Mbok Nah dibalai Desa Rakusan lengkap beserta dua fotonya bersama Qohar terpampang disalah satu harian terbitan Ibu kota. Belum ada yang tahu perihal munculnya Mbok Nah diharian Ibu Kota itu. Tetapi dari pihak balai Desa hanya berselang satu hari setelah berita itu diturunkan para perangkat Desa Rakusan baru mengetahuinya. Begitu diketahui berita mengenai penuturan Mbok Nah yang blak-blakan disebuah harian Ibu Kota. Pihak pemerintah Desa Rakusan langsung geram dibuatnya. Dengan cepatnya bola liar berita itu menggelinding ke segenap sudut-sudut perkampungan. Di warung makan, pos kamling, musholla maupun masjid. Pak Lurah sendiri begitu melihat berita tentang kelakuan buruknya beserta jajarannya ditulis disebuah media massa terbitan ibukota, darah pak Lurah seakan ikut mendidih. Bagi Pak Lurah kewibawaannya kali ini benar-benar tercoreng, ditampar sekeras-kerasnya oleh perempuan Renta yang tidak mempunyai daya dan upaya. Mbok Nah sendiri semenjak berita mengenai profil dirinya diturunkan malah tidak tahu. Tetapi ia harus mengalah kepada nasib, pihak pemerintah Desa Rakusan menduga semua ini adalah sebuah rekayasa terencana, suatu permainan dari Mbok Nah seorang, sebuah permainan fatal yang tidak bisa dimaafkan. Berita itu dinilainya sudah lebih dari mencemarkan nama baik Desa Rakusan. Atas dugaan pencemaran nama baik itulah Mbok Nah kembali digelandang ke balai Desa Rakusan.
Belum sepenuhnya pulih dari rasa sakit lahir bathin yang menderanya, Mbok Nah harus menghadapi kembali kenyataan pahit. Berhadapan dengan manusia-manusia yang bertindak dan bersikap seperti anjing-anjing yang kelaparan. Kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol yang seharusnya tidak pantas untuk dipertanyakan. Kali kedua ditahan justru terasa lebih menyakitkan. Tetapi karena kali ini ia lebih siap lahir bathin sehingga tidak terlalu mengguncang jiwanya. Penahanannya kali ini tanpa ada kepastian kapan akan dibebaskan karena dari pihak pemerintah Desa Rakusan menyatakan masalah yang kedua kali ini masih dalam tahap pengkajian. Pada hal untuk mengkaji ulang terlebih dahulu bisa saja dari pihak pemerintah Desa mengulur-ulur waktu sebagai sebuah bentuk pembalasan. Sementara Qohar diusianya yang belum genap delapan tahun harus mulai membiasakan diri bolak balik dari rumahnya ke balai Desa Rakusan.perjalanan yang melelahkan untuk ukuran anak kecil seusia Qohar. Menjenguk neneknya saban pagi dan sore hari, mengantarkan makanan, pakaian dan keperluan lainnya.
Tiga hari berlalu, Qohar dengan setia menjenguk neneknya ditahanan gadungan itu. Hingga pada sore hari seusai pulang dari balai Desa Rakusan Qohar kedatangan dua orang tamu yang mengaku sebagai wartawan tempo hari, suatu kebetulan. Mereka terdiri dari pak Amin dan pak Puji.
"Nenekmu ada di rumah?" Kata pak Puji kepada Qohar.
"Tidak ada, lagi di balai desa."
"Karena kami terburu-buru, ini ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih kami karena kemarin nenekmu mau meluangkan waktunya dengan kami untuk sekedar berbagi cerita dan peristiwa." Kata pak Amin sambil menyodorkan secarik amplop berisi uang.
Oleh Qohar amplop itu diterima dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca lalu dibukanya dengan seksama. Setelah mengetahui isi amplop itu berisi uang kemudian tanpa pikir panjang uang itupun dibuang dan tercecer di tanah.
"Gara-gara uang itu Maknyak di hukum."
"Dasar anak kecil sombongnya selangit. Apa maksudmu uang itu kamu buang!" Kata pak Amin dengan geram lalu membuang ludah.
"Orang miskin tidak tahu diri." Timpal pak Puji menambahkan..
Tidak ada kebencian atas hujaman kata-kata kasar yang dilontarkan para tamu itu kepada dirinya. Yang tergurat di wajahnya hanyalah wajah kepolosan seorang anak kecil yang tengah di rundung duka. Air matanya terus meleleh meski telah berulang kali ia menyekanya.
"Maafkan saya ya bocah bagus, bukan maksudku untuk menghinamu, tapi kenapa uang pemberianku harus kau buang ?" Rasa bersalah itu tiba-tiba merapat dibenak pak Amin setelah melihat beningnya air mata bocah kecil itu yang terus meleleh.
"Karena photo yang beredar di koran itu Maknyak kembali dimarahi dan sekarang dihukum di balai Desa."
"Ya Tuhan kenapa bisa jadi begini runyam urusannya. Ya sudah, kalau begitu kamu sekarang ku antar ke balai Desa. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk nenekmu. Kita tidak boleh gegabah, hanya pihak yang berwenang yang berhak menyelidiki masalah ini. Kamu jangan khawatir! biar nanti saya hubungi pihak yang berwenang supaya segera membebaskannya." Kata pak Amin meyakinkan Qohar lalu diambilnya handphone dari dalam kantong celananya dan menelepon pihak Kepolisian.
Siang itu Qohar diantar ke balai Desa dan hanya diantar sampai di seberang jalan. Sebelum berpisah pak Amin memberikan sebuah bungkusan berisi biscuit sembari berpesan kembali kepada Qohar agar tidak usah lagi mengkhawatirkan keadaan Neneknya karena nanti polisi akan datang dan membebaskannya.
"Jangan khawatir! Nenekmu pasti akan baik-baik saja, polisi nanti segera datang menyelamatkan Nenekmu. Karena hari ini kita ada meeting dikantor. Insya Allah saya akan datang kerumahmu untuk menindak lanjuti masalah ini."
Lalu mereka pergi meninggalkan Qohar.
Memasuki balai Desa Rakusan seperti memasuki sarang binatang buas. Kalau bukan karena terpaksa mungkin Qohar tidak akan sudi menyambanginya. Tetapi ia harus menemui neneknya dibalai Desa. Di mata Qohar para perangkat Desa Rakusan tak ubahnya seperti monster yang menakutkan. Seorang perangkat Desa yang berbadan tambun, berperawakan pendek serta berkumis tebal dengan mata melotot terlihat mondar-mandir tepat didepan kamar yang ditempati neneknya. Sementara dipojok ruangan empat orang yang masih berbaju dinas tengah bermain kartu domino. Dengan tegar Qohar memberanikan diri menemui Neneknya. Membawakan selembar jarek dan sebungkus nasi serta biskuit pemberian dari pak Amin.
Tak sampai satu jam kemudian apa yang dikatakan pak Amin terbukti. Sejumlah enam orang polisi tiba-tiba mendatangi kantor kepala Desa Rakusan, dua diantaranya memakai baju sipil.
"Kami dari kepolisian mendapat surat perintah penyelidikan mengenai adanya dugaan penyekapan terhadap seorang Nenek, ini suratnya!"
Belum tuntas surat itu dibaca, seorang perangkat Desa berbadan kurus dan berpakaian batik menanyakan perihal siapa yang mengadukan masalah ini ke kepolisian. Didalam surat itu tanpa dicantumkan nama terang sebagai pihak pelapor, tetapi data-data dan alamat pelapor telah dikantongi di kepolisian. Pelapor mengatas namakan PT Wahana Nusantara.
"Bagaimana bisa masalah ini ditindak lanjuti tanpa adanya pihak pelapor? Ini fitnah! Siapa yang berani mencari gara-gara seperti ini?" Ujar seorang perangkat Desa yang mengenakan batik lurik.
"Yang jelas ada yang melapor. Mustahil kami ditugaskan tanpa adanya perintah."
"Bapak lihat sendiri, disini tidak ada apa-apa seperti yang dituduhkan. Silahkan dicek kebenarannya kalau tidak percaya!" Ucap perangkat yang lain membela diri.
Seolah para perangkat Desa Rakusan sudah tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Tanpa harus membagi tugas masing-masing, salah seorang petugas memperlakukan Mbok Nah dan Qohar dengan layak didepan para polisi. Faktanya para Polisi memang mendapati seorang nenek beserta seorang cucunya didalam sebuah ruangan tetapi tidak ditemui adanya tanda-tanda tindak kekerasan atau penyekapan. Fakta itu tidak berbanding lurus dengan apa yang dituduhkan pihak pelapor. kenyataannya mereka memang tengah makan dengan lahapnya disebuah kamar yang lebih mirip gudang.
"Perempuan tua itu beserta cucunya kami temukan tengah luntang-lantung didepan balai Desa, itulah yang membuat kami iba dan kami beri makan seadanya, lagian nenek itu telah berulang kali memalukan pihak balai Desa dengan caranya yang mondar-mandir didepan balai Desa tanpa ada perlunya, pantas saja makannya kami beri tempat digudang." bela seorang perangkat yang lain.
Dari cara dan sikap para perangkat Desa, sejumlah Polisi itupun memahami jika para perangkat Desa Rakusan tengah membela diri. Terutama cara-cara musangnya itu terbaca dari keterangan yang terakhir. Tercium gelagat aneh nan ganjil yang seharusnya tak diambangkan ke permukaan.
"Ya sudah. Kalau begitu sediakan kami makan siang kalau tak ingin diperiksa lebih lanjut." Kata seorang polisi kepada seorang perangkat yang berbadan tinggi dan berkumis.
Dengan cekatan salah seorang perangkat bergegas menuju warung makan yang terletak disamping balai Desa. Selesai dijamu makan, salah seorang polisi mengecek kembali keadaan perempuan tua itu beserta cucunya didalam sebuah ruangan yang lebih mirip gudang itu.
Diruangan itu Mbok Nah dan Qohar terlihat tengah makan buah jeruk, pemberian dari salah seorang perangkat Desa. Satu upaya pengelabuhan untuk bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Dengan nada halus seorang polisi yang berambut keriting itu lantas menanyainya.
"Nenek kenal dengan PT Wahana Nusantara?"
"Saya tidak kenal, tidak tahu apa-apa."
"Punya saudara di PT Wahana Nusantara? "
"Maaf. Seberapa luas sawah dan tanah Nenek?"
"Untuk apa? Saya hanya punya sawah dan kebun tinggalan."
"Bukan begitu Nek! Seandainya kalau masalah ini masuk ke ranah hukum dan berlanjut ke pengadilan, maka bukan tidak mungkin sawah dan kebun Nenek akan habis untuk membiayai pengadilan seperti yang sudah banyak terjadi."
"Siapa yang sudi membawa masalah ini ke pengadilan? ke kantor polisi saja aku tak pernah!Aku tidak mau masalah ini menjadi runyam. Aku sudah tua, ingin kuhabiskan waktuku dirumah bersama cucuku, Aku ingin hidup tenang bersama cucuku."
"Ya sudah, kalau begitu Nenek boleh pulang sekarang."
Tanpa berbelit-belit Mbok Nah dan Qohar di ijinkan pulang.
Keesokan harinya Pak Amin datang memenuhi janjinya. Pak Amin datang bersama dua orang, seorang berkaos putih berbadan tambun dan seorang lagi berjas rapi dan bertopi untuk sekadar menutupi kepalanya yang pelontos. Dari dalam mobil pria tambun itu mengeluarkan beberapa bungkusan plastik warna hitam serta dua kaleng biskuit berukuran sedang. Diteras rumah Qohar masih asyik menikmati pekerjaaannya, mengupasi pisang yang telah masak untuk bahan dasar pembuatan nogosari, rencananya kalau tak ada aral melintang nanti malam Mbok Nah akan menggelar syukuran kecil-kecilan.
Pagi itu Mbok Nah sudah tidak ada di rumah, ia pergi ke kebun mengambil keperluan dapur dan juga daun pisang.
"Bisa kau panggilkan sekarang!"
"Ya pak, tunggu sebentar " Terlebih dahulu Qohar membersihkan sisa kulit-kulit pisang yang tercecer untuk dikumpulkan lalu dibuang dibelakang rumah.
Belum sempat ditunaikannya perintah dari pak Amin tiba-tiba Mbok Nah sudah kembali pulang dengan membawa barang bawaan.
"Itu Maknyak!" kata Qohar kepada pak Amin sembari menunjuk lurus kearahnya, lalu menemuinya.
"Masih kecil kok sudah pikun. Ini daun pisangnya jerang didepan tungku lalu jahe sama kunyitnya taruh di ember." Perintah Mbok Nah bersahaja lalu menemui para tamu.
"Silahkan masuk pak? Tadi malam cucuku sudah cerita. Saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan dan tidak lupa saya haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kebaikan dan ketulusan bapak. Kini Alhamdulillah Saya bisa kembali kerumah dengan keadaan sehat wal afiat."
"Sudah lupakan saja Nek! Biarlah itu semua menjadi pelajaran hidup."
"Lalu bagaimana nasib orang balai Desa?apakah mereka ditangkap?"
"Aku tidak tahu apa-apa, aku hanya ditanyai seorang polisi seputar harta bendaku sebelum di ijinkan pulang. Sementara para perangkat Desa membiarkanku pulang bersama cucuku begitu saja. Sebelumnya cucuku melihat mereka makan bersama di aula depan dan diwaktu yang sama kami juga diberi makan sama diberi sesisir pisang raja dan jeruk beberapa buah. Tapi pak! biarlah masalah ini cukup sampai disini. Jangan dibesar-besarkan apalagi diperkarakan. Aku khawatir melihat masalah kriwikan menjadi grojogan[5]."
"Saya melihat ini semua penuh persekongkolan dan kesewenang-wenangan dari segelintiran orang yang sengaja menghalang-halangi niat kami. Sehingga lahan bakal proyek yang telah kami beli menjadi terbengkalai karena keputusan sepihak, ini sama sekali tidak adil. Apabila masalah ini dilanjutkan apa yang harus ditakutkan? Kita tidak perlu takut, tidak ada yang perlu ditakutkan dalam masalah ini. Bahkan kepada siapapun juga termasuk para perangkat Desa Rakusan itu. Kita tidak boleh takut kecuali hanya kepada Allah!"
"Begitu fasih kau melafadzkan kalimah Allah, bukankah kau dari etnis cunghoa?"
"Bukan. Saya bukan dari etnis cunghoa, saya keturunan Betawi, hanya saja mungkin karena sejak kecil saya dirawat dan dibesarkan oleh orang cunghoa, sehingga saya mirip seperti orang cunghoa, dari sifat,sikap maupun tindakannya”
Pak Amin diam sejenak lalu bertutur tentang bagaimana dirinya terlahir ke dunia. Semasa terlahir kedunia ia tertahan dirumah sakit karena ayahnya tidak mampu membiayai biaya persalinan dan ditambah lagi ibunya wafat sesaat kemudian setelah melahirkan, ayahnya sendiri seperti tak kuasa menahan beban penderitaan setelah tahu belahan jiwanya sudah tidak lagi bernyawa. Ditambah lagi hutang pembiayaan rumah sakit yang masih terkatung-katung, belum jelas kapan bisa terbayar. Waktu itu ayahnya sengaja menahannya dirumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang yang ditemui tanpa rasa malu ia meminta bantuan biaya tetapi hasilnya nihil. Tak seorangpun yang mau membantu membiayai biaya persalinan yang lumayan besar waktu itu .Mendengar kabar mengenai ketidak mampuan ayahku dalam membiayai biaya persalinan, Lie kang tjoan seorang tetangga yang kebetulan dari etnis chunghoa membantu membiayai seluruh biaya persalinan. Lalu sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih ayahku memberikan hak asuh kepada keluarga Lie kang tjoan dan meminta kesediaannya untuk memberikan sebuah nama. Jadilah diriku menjadi Amin ong gwee. Atas pemberian nama yang berbau chunghoa itu ayah sangat bersyukur dan sama sekali tidak mempersoalkannya, tetapi justru sangat bangga karena itulah keadilan dari Tuhan.
"Apakah Nenek tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidakadilan dan kemunafikan? Ini adalah bentuk dari kedzaliman! Nenek tidak usah khawatir biar nanti saya dan rekan yang akan mengatur semuanya.”
Mbok Nah terdiam, seraut wajahnya muram lalu tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu bagaimana ia dilahirkan dulu. Ibunya Nyai Rasup pernah bercerita tentang bagaimana Mbok Nah kecil terlahir ditengah-tengah kesusahan. Waktu itu Nyai Rasup tengah mengandung menginjak usia sembilan bulan. Disaat suasana sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman orang-orang pribumi dari berbagai arah. Mereka kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan melainkan juga dari udara. Benar-benar keadaan suatu Bangsa sedang genting-gentingnya. Saat itu para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit diantara para pejuang maupun warga sipil yang terperangkap di medan pertempuran, terkena peluru panas. Banyak warga sipil yang menderita luka parah hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Perkampungan warga dikepung dari berbagai arah. Sebagian ibu dan anak-anak yang berhasil lolos dari kepungan tentara lari tungang langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.
Nyai rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya Ki Rasup. Dengan sekuat tenaga Nyai Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Nyai Rasup yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan. Yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa. Mereka diduga masih bersembunyi dirumah-rumah warga. Dibalik hutan larangan dan dilereng gunung Muria.
Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk Ki Rasup suaminya, menyerang sebuah markas milik tentara Belanda yang disinyalir didalamnya tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di markas tentara kolonial Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara, tiga orang didalam dan dua orang lagi berjaga-jaga diluar. Suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah segala peralatan perang dan obat-obatan. Para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan, seluruh pemuda dikerahkan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit lima orang tentara Belanda itu tewas seketika. Tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya telah didoakan dan dijampi-jampi terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu lama, puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah seluruhnya. Sehari setelah peristiwa itu saat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri. Terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan di obrak-abrik lalu dibakar habis. Rumah-rumah warga banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawa Nyai Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu Nyai Rasup terlebih dahulu menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib para lansia dan anak-anak terperangkap. Mereka diarak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer didekat rumah letnan Abraham. Seperti biasanya, disana mereka disekap beberapa hari lalu dipaksa membuka rahasia kemudian dibebaskan. Adapula yang dihukum jemur ditengah-tengah lapangan, dijerang dibawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya.
Dengan tertatih-tatih Nyai Rasup dan Suaminya terus menapaki jalanan curam dan terjal, mencari tempat persembunyian. Belum sempat Nyai Rasup bersama suaminya menemukan tempat persembunyian, takdir berkehendak lain. Ki Rasup yang mulanya menyuruh Nyai Rasup agar berjalan didepan dan mendahuluinya itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Tepat dibelakangnya Ki Rasup yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi dirinya itu tertembak peluru panas. Nyai Rasup melihat sendiri bagaimana ki Rasup menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru panas yang tembus dibagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Rasup. Dilihatnya wajah suaminya itu. Guratan senyum yang merekah menjelang kepergian tak seperti biasanya. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Rasup hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.
"Selamatkan anakmu Imran! Dia ku letakkan dibawah tanah dikamar kita, tepat dibawah tempayan."
Tak lama setelah itu Nyai Rasup menjumpai raga suaminya yang kaku tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Rasup telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar didepan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua bibirnya seperti ada senyuman yang tersungging. Sementara Nyai Rasup berusaha tegar menghadapi sebuah kenyataan, dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh. Nyai Rasup yang lemah tak berdaya tidak kekurangan akal. Ia pura-pura pingsan beberapa menit lamanya saat berada tepat diatas mayat Ki Rasup. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasad suaminya. Semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi jabang bayi yang masih dikandung badan selama hampir sembilan bulan itu, perlahan dengan langkah gontai Nyai Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkannya jasad Ki Rasup tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batin Nyai Rasup berjanji kepada diri sendiri. Suatu saat apabila nyawa masih dikandung badan akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak. Dimanapun keberadaannya. walaupun hanya tinggal bangkai akan kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan berada pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak akan ku serukan bahwa semangat hidup takkan pernah mati dan perjuangan tak akan pernah usai.
Didepan mata Nyai Rasup menyaksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban keganasan perang, mereka telah tertulis masanya kembali kepada Yang Kuasa di lauhilmahfud. Mereka yang selamat lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung. Sebagian lagi terkena incaran peluru panas, mati. Tergeletak berserakan dijalan-jalan tikus dibawah tebing. Nyai Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan tepat diatas kepala. Spontan Nyai Rasup tiarap ditanah. Dalam tiarap itu Nyai Rasup seperti setengah sadar. Dalam ketidaksadarannya Nyai Rasup merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Ia berusaha mengikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu meski terasa berat. Tetapi itu semua hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap ditanah, Nyai Rasup telah mendiami dunia antah berantah. Dunia bawah alam sadar. Nyai Rasup ketiduran, begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.
Padang rembulan seperti tepat diatas kepalanya. Ditengah malam itu mulai dirasakan sakit diperut lalu dicarinya tempat yang kering dibawah pepohonan hutan jati diantara rindangnya pohon kemuning. Saat berkontraksi rasa sakit diperut tak henti-hentinya mendera, rasa mulas yang luar biasa sakitnya tidak seperti biasanya. Sambil menahan rasa sakit dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering. Ditata sedemikian rupa untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Nyai Rasup bergulat antara hidup dan mati. Berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya. Hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk meneranginya, menemani dalam kesusahan. Di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. Tangis bahagia menemaninya malam itu. Beralas dedaunan kering dilahirkannya seorang bayi perempuan tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak, tepat ditengah malam. Bagaimana pedihnya perjuangan seorang nyai Rasup didalam melahirkan dan bertahan untuk bisa tetap hidup, sungguh tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata.
Pak Amin masih menunggu jawaban dari Mbok Nah lalu kembali bertanya dengan nada tinggi.
"Apakah Nenek sendiri tidak tahu jika semua ini adalah bentuk kedzaliman atau bahkan mungkin satu bentuk penjajahan baru?"
Mbok Nah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Terputus dari lamunan panjangnya.
"Saya tahu! Ini sama artinya dengan penjajahan oleh sebangsanya sendiri, tetapi diriku hanyalah perempuan biasa tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin saja sewaktu mencoba protes barang secuil, anda tau sendiri apa yang ku alami kemudian?"
"Ya sudah. Mulai sekarang Nenek tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir, biarlah dari pihak kami nanti yang akan mengurus semuanya."
Siang itu seluruh warga Desa Rakusan geger. Kantor kepala Desa digerebek pihak kepolisian. Akhir dari semua itu kepala Desa Rakusan beserta para kroni-kroninya ditangkap lalu ditahan dikepolisian. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan tidak banyak yang tahu mengenai akar permasalahan itu. Warga Desa Rakusan hanya bisa menerka-nerka dengan kejadian dihari sebelumnya, yaitu peristiwa penahanan Aminah di balai desa. Kesimpangsiuran berita mengenai penggerebekan menjadi suatu keniscayaan. kemudian kecurigaan lagi-lagi mengarah kepada Mbok Nah yang diketahui sehari sebelumnya ditahan di balai Desa. Tak satupun warga Desa Rakusan yang tahu jika yang memperkarakan masalah itu adalah pak Amin.
Dalam sebuah perbincangan dihandphone tempo hari, pak Amin mengancam pihak kepolisian. Ancaman itu tidak main-main, apabila permintaan penahanan kepala Desa tidak diindahkan, maka pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke publik perihal pembiaran dan kongkalikong antara kepolisian dengan pemerintah desa Rakusan serta pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ke berbagai media.
Sejak peristiwa penggerebekan balai Desa Rakusan, pelan dan pasti Mbok Nah menjadi terkucil dari pergaulan. Ia menjadi sesosok mahluk yang terasing ditengah-tengah keramaian. Orang-orang disekitarnya tiba-tiba menjauh dan enggan untuk sekedar bertemu dengannya. Tiada lagi tegur sapa yang merapat padanya. satu-satunya yang masih tetap bersahabat hanyalah alam, alam pesawahan serta burung-burung dan ikan.
Sekelompok burung pipit pemakan padi mulai berkurang seiring terik panas mentari yang kian menyengat. Siang itu sehabis menunggui padi Mbok Nah hendak shalat dluhur. Diambilnya mukena di langit-langit gubuk, ternyata ada beberapa kotoran cicak yang menempel. Rupanya kemarin ia lupa membungkusnya dengan plastik. Mukena yang warnanya telah memudar itu lalu dicuci di kali sembari mandi di siang hari. Dengan mukena yang masih basah itu ia mendirikan shalat di atas bebatuan yang telah diberi alas jerami kering. Usai shalat ia berdzikir dalam rentang waktu cukup lama, tanpa terasa mukena yang dikenakannya mengering. Lama-lama ia mengantuk dan tertidur beberapa saat lamanya. Begitu terbangun ia teringat sesuatu yang terselip di bawah pohon nangka. Seutas plastik untuk membungkus mukenanya. Sekali waktu diperhatikannya pohon nangka dari bawah hingga ujung penuh dengan babal bakal buah. Ia pun berencana membuat gulai nangka muda untuk lauk musim panen yang akan datang.
Hamparan padi dari bawah hingga keatas lereng persawahan mulai menguning serempak. Tak lama lagi memasuki musim panen. Sebuah masa yang dinanti-nanti sekian bulan lamanya kini mulai nampak didepan mata.
Para tetangga sawah yang menunggui padi telah pulang. Iapun demikian akan segera pulang, tetapi ketika mengambil bakulnya di gubuk ia teringat sesuatu, rupanya ia mendapat pesanan dari Bu Maryam berupa daun singkong dan daun lembayung masing-masing dua puluh ikat. Niatan pulang diurungkan, diambilnya pisau yang terselip di gubuk untuk memanen sayuran.
Peristiwa balai desa telah berlalu. Memori itu kian menghilang dari ingatannya. Sementara itu diluar sana, dirinya mulai diperbincangkan banyak orang. Menjadi bahan pemberitaan di beberapa televisi nasional karena kegigihannya dalam mengkritisi pemerintah desa Rakusan. Sejumlah media massa, online dan televisi nasional berebut informasi mengenai siapa jatidiri Mbok Nah dan sepak terjang kehidupannya.
Sore itu mendadak halaman rumahnya penuh dengan mobil wartawan dan reporter. Kali ini Mbok Nah benar-benar terpukul dan menjadi semakin was-was, ia khawatir jika peristiwa minggu lalu terulang kembali.
Tak ingin menanggung resiko untuk yang kesekian kali iapun menutup rapat-rapat pintu rumahnya. Detik demi detik, menit demi menit Mbok Nah dan Qohar tidak kunjung keluar dari rumah. Sebagian para wartawan dan reporter lebih memilih kembali dengan tangan hampa tanpa mendapat informasi satupun darinya. Sebagian lagi lebih memilih tetap bertahan menunggu dan tetap menunggu. Salah satu wartawan yang masih tetap bertahan itu adalah pak Nugroho, pemilik salah satu media massa nasional yang berkantor di Jakarta. Satu hari, dua hari sampai tiga hari lamanya Mbok Nah dan Qohar bertahan di dalam rumah. Sore itu dihari ke empat Pak Amin Ong datang menemui Mbok Nah untuk meluruskan informasi yang kadung beredar di masyarakat, serta meminta kesediaanya untuk datang dalam sebuah acara di Ibukota. Pak Amin Ong menuai kekecewaan karena tidak ada jawaban dari Mbok Nah.
Sekitar pukul dua siang Qohar menyusup keluar dari jendela dapur pada saat Mbok Nah tengah tertidur. Sebagai anak kecil dengan dunianya yang masih liar, ia mencoba melawan dengan mencuri-curi kesempatan. Tetapi aksi nekatnya itu ternyata diketahui banyak orang, pasang-pasang kamera bersiaga memantau keadaan di sekitar rumahnya. Mengetahui ada beberapa orang yang melihatnya iapun bergegas ke belakang rumah menuju kesebuah kebun, namun lagi-lagi salah seorang wartawan mengejarnya sampai dapat.
“Kenapa kamu lari? Ada apa sebenarnya?” Tanya seorang wartawan berseragam hitam dan berkacamata sambil menarik lengan bajunya.
“Tidak ada apa-apa, saya hanya ingin jajan ke warung.” Jawabnya menutupi alasan yang sebenarnya, karena bosan di dalam rumah.
“Adik belum makan?” Tanya wartawan perempuan yang memakai batik dan kalung etnik.
“Belum.” Jawab Qohar sekenanya.
“Ya sudah ayo ikut kami, kita makan bersama.” Ajaknya pada Qohar.
Salah satu kru reporter lalu mengajaknya masuk kedalam sebuah mobil lalu menawarkan beberapa cemilan makanan ringan. Sejurus kemudian para wartawan dan reporter mengerubunginya, termasuk pak Amin Ong.
“Qohar kau baik-baik saja?” Tanyanya lalu mendekat dan mengelus kepalanya.
“Nenekmu ada didalam rumah bukan?”
“Tolong nanti sampaikan padanya. Ada pak Amin datang, sudah menunggu cukup lama.” Pintanya menaruh harap.
“Itu makanannya dihabiskan dulu!” Sambungnya kemudian.
Qohar lalu kembali menyelinap masuk melalui celah-celah jendela sang sama. Mbok nah masih tertidur di bale-bale biliknya.
“Mak..bangun!” Qohar membangunkan neneknya.
“Ada apa?” Jawabnya dengan pelan.
“Di luar ada pak Amin, katanya sudah menunggu lama ingin ketemu Maknyak.”
“Kamu tadi keluar rumah?” Gertaknya dengan nada yang semakin tinggi.
“Iya lha wong tak ada apa-apa.”
“Tak ada apa-apa bagaimana. Diluar banyak orang bukan?”
“Tapi yang ini lain Mak, mereka hanya ingin ketemu maknyak.”
“Yo wis kalau begitu biar maknyak nanti yang temui sehabis shalat ashar.”
Nasi yang telah dimasak tadi pagi masih tersisa separuh lebih, tinggal membuat lauknya. Lauk kali ini tetap seperti yang kemarin yaitu ikan asin yang di goreng garing ditemani sambal terong, kebetulan sayur terongnya masih tersisa. Shalat ashar dan merapikan ruang tamu telah selesai dikerjakannya. Sementara Qohar menjaga api dapur untuk merebus ubi jalar.
Begitu pintu dibuka semua wartawan dan reporter menyalaminya satu persatu. Mbok Nah hanya tertegun bercampur rasa haru menyaksikan semua ini. Tanpa ada sebab yang jelas tiba-tiba mereka begitu menghormatinya.
“Woalah banyak sekali rekannya. Kok bawa kamera besar-besar untuk apa?”
“Jangan khawatir mbah mereka hanya meliput kok tidak lebih.” Pak amin diam sejenak lalu melanjutkan percakapannya.
“Sebetulnya saya dan rekan-rekan ingin menanyakan sesuatu pada simbah. Boleh kan Mbah?” Pintanya dengan merendahkan suaranya.
“Siapa yang melarang, tanyakan saja apa-apa yang bisa dijawab.”
“Apa benar simbah berani melawan pemerintah desa rakusan?”
“Maksudnya berani bersikap kritis pada pemerintah desa rakusan. Apa simbah tidak merasa takut kala berhadapan dengannya?”
“Apa yang ditakutkan? Wong mereka juga manusia.”
“Simbah sempat di tahan di sebuah kamar kosong. Apa itu benar?”
“Oh ya barangkali rekan-rekan ada yang mau bertanya. Silahkan!” Ujarnya memberi kesempatan bertanya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke atas lalu memberikan kesempatan kepada salah seorang wartawan.
“Saya ingin menanyakan dua persoalan.” Sahut salah seorang wartawati melontarkan pertanyaan.
“Pertama. Adakah dalang dibalik peristiwa balai desa waktu itu? kedua. Jika ada, siapa dalangnya?”
“Peristiwa itu tidak ada yang mendalangi. Semua itu karena saya ingin melawan ketidak adilan.” Jawabnya dengan menggelengkan kepalanya.
“Kapan persisnya peristiwa itu terjadi?”
“Sudah lama yang kedua sekitar seminggu yang lalu.”
“Jadi peristiwa itu terjadi hingga dua kali? Selorohnya dengan nada heran.”
“Iya dua kali.” Mbok Nah mengangguk perlahan.
Wawancara sore itu disiarkan secara live dibeberapa stasiun TV nasional. Semakin banyak wartawan dari luar kota yang ingin mengetahuinya lebih mendalam. Belum lagi para wartawan dan reporter tempo hari yang kecewa. Kabarnya mereka juga mulai merencanakan peliputan kembali nanti pagi.
Mbok nah mohon ijin ke dapur mengambil ubi jalar rebus. Sebaskom penuh ubi jalar rebus yang masih hangat itu lalu disajikan bersama teh manis hangat. Qohar sempat tak sengaja menjatuhkan satu gelas hingga pecah karena saking gugupnya. Mbok Nah berusaha memahaminya.
“Mbah! kami mohon kehadiran anda dalam sebuah acara kami di jakarta besok. Bisa kan?” Pinta Pak Amin sambil mendekat ke arah telinganya.
“Besok kapan? Saya tidak bisa.” Jawabnya sambil menggelengkan kepala.
“Lha bisanya kira-kira kapan mbah?”
“Entahlah. Saya juga belum tahu.”
“Masih ada sesuatu yang mengganjal? atau ada yang tak bisa ditinggal?”
“Padi disawah belum dipanen, padahal sudah terlalu tua. Biasanya kalau ketuaan akan roboh dengan sendirinya.”
“Lalu kapan padinya dipanen Mbah?”
“Sekarang cari tukang panen susah karena lagi musim panen.”
“Kalau boleh tahu berapa upah tukang panen disini?”
“Kalau borongan biasanya 100 kalau harian cuma 70.”
“Ooh begitu. Bagaimana kalau upah borongan ditambah 50 dan kami yang membayarnya?”
“Terserah sampeyan, yang penting padinya bisa segera dipanen.”
Sore menjelang para wartawan dan reporter bergerilya menawarkan pekerjaan memanen padi dari rumah kerumah, dari orang ke orang. Dari setiap rumah yang didatangi hanya enam orang yang bersedia, selebihnya mereka sudah ada perjanjian panen ditempat lain.
Sementara itu Mbok Nah bersama Qohar dan beberapa wartawan yang lain kesawah mengambil bumbu dapur lalu memanen nangka muda sebanyak lima buah.
Malam itu rumahnya mendadak sesak penuh wartawan dan reporter. Beberapa wartawan sengaja mendirikan tenda di bawah pohon sawo. Malam itu kebetulan ada dua orang reporter yang berasal dari ranah minang. Mereka menawarkan jasanya dalam membuat gulai nangka muda khas minang. Demikian halnya dengan wartawan yang bisa menanak nasi juga tidak segan menawarkan jasanya dengan cuma-cuma.
Para wartawan dan reporter adalah tamu meski tamu-tamu itu datang tanpa diundang. Kedatangannya bukan untuk menciptakan permasalahan baru, tetapi mencoba mengurai benang basah yang membelitnya. Satu sama lain membagi tugas sesuai apa yang mereka bisa. Membersihkan rumah,menyapu,memasak,mencuci piring sampai melipat pakaian. Seorang reporter yang diketahui bernama Ita sempat jatuh cinta kepada kura-kura yang dipelihara Qohar begitu melihatnya, namun ketika kura-kura itu di tawar dengan harga yang lumayan tinggi Qohar masih belum bisa melepas kura-kura mungilnya itu. Ia masih belum bisa merelakannya.
Adzan shubuh belum berkumandang, Mbok Nah telah terbangun lebih awal. Menyiapkan kayu bakar untuk merebus air sebanyak dua dandang. Nasi beserta lauknya telah matang sejak semalam. Pagi ini ia hanya mempersiapkan pembuatan jenang sebagai cemilan panen nanti. Satu persatu para wartawan dan reporter terbangun, sebagian yang non moslem lebih memilih tiduran di kamar dan sebagian lagi yang moslem lebih memilih mensucikan diri lalu mendirikan tiang agama di musholla.
Ada satu hal yang membuat pagi itu terasa beda dari hari-hari biasa. Yaitu suasana yang mendadak ramai. Dari antrean mandi yang mengular, pembuatan kamar ganti darurat hingga menyulap sebagian ruang dapur sebagai ruang make up.
Semua wartawan dan reporter pagi itu Sarapan dirumah sehingga tidak perlu repot membawa sarapan kesawah. Mbok nah hanya membawa sarapan sebakul untuk para pemanen padi. Sebagai seorang wartawan yang akrab dengan dunia tulis menulis tentunya mereka asing dengan dunia pertanian, apalagi dengan hitam pekatnya lumpur pesawahan. Awalnya mereka tidak tahu harus bagaimana tetapi akhirnya mereka tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Lantas salah seorang kru kembali kerumah mengambil sesuatu yang bisa dipakai.
Kebetulan ada persediaan cutter dan gunting di brankas mobil. Sebagian wartawan yang tidak bisa membabat padi dengan parang lebih memilih memakai gunting atau cutter. Lumayan untuk membabat padi sambil berjongkok santai bagi yang tidak bisa membabat dengan berdiri terlalu lama.
Panen raya itu disiarkan secara langsung di beberapa televisi. Ada satu hal yang menarik perhatian publik yaitu babat padi yang hanya memakai cutter dan gunting karena keterbatasan alat yang tidak memadai. Mbok nah tak pernah menyuruh, tak pernah pula meminta. Tetapi pagi itu mereka yang berjumlah puluhan orang itu mengulurkan tangannya. Mereka tergugah oleh rasa kemanusiaan. Terpanggil jiwanya kala melihat keadilan yang terinjak-injak oleh tirani kekuasaan.
[2] Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa KerajaanDeMak. Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai bandar niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia. Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu. Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa.
Sumber. Wikipedia bahasa Indonesia.
[5] Aliran air yang kecil menjadi kian membesar. Masalah kecil menjadi masalah yang kian membesar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109