"Begitu fasih kau melafadzkan kalimah Allah, bukankah kau dari etnis cunghoa?"
"Bukan. Saya bukan dari etnis cunghoa, saya keturunan Betawi, hanya saja mungkin karena sejak kecil saya dirawat dan dibesarkan oleh orang cunghoa, sehingga saya mirip seperti orang cunghoa, dari sifat,sikap maupun tindakannya”
Pak Amin diam sejenak lalu bertutur tentang bagaimana dirinya terlahir ke dunia. Semasa terlahir kedunia ia tertahan dirumah sakit karena ayahnya tidak mampu membiayai biaya persalinan dan ditambah lagi ibunya wafat sesaat kemudian setelah melahirkan, ayahnya sendiri seperti tak kuasa menahan beban penderitaan setelah tahu belahan jiwanya sudah tidak lagi bernyawa. Ditambah lagi hutang pembiayaan rumah sakit yang masih terkatung-katung, belum jelas kapan bisa terbayar. Waktu itu ayahnya sengaja menahannya dirumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang yang ditemui tanpa rasa malu ia meminta bantuan biaya tetapi hasilnya nihil. Tak seorangpun yang mau membantu membiayai biaya persalinan yang lumayan besar waktu itu .Mendengar kabar mengenai ketidak mampuan ayahku dalam membiayai biaya persalinan, Lie kang tjoan seorang tetangga yang kebetulan dari etnis chunghoa membantu membiayai seluruh biaya persalinan. Lalu sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih ayahku memberikan hak asuh kepada keluarga Lie kang tjoan dan meminta kesediaannya untuk memberikan sebuah nama. Jadilah diriku menjadi Amin ong gwee. Atas pemberian nama yang berbau chunghoa itu ayah sangat bersyukur dan sama sekali tidak mempersoalkannya, tetapi justru sangat bangga karena itulah keadilan dari Tuhan.
"Apakah Nenek tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidakadilan dan kemunafikan? Ini adalah bentuk dari kedzaliman! Nenek tidak usah khawatir biar nanti saya dan rekan yang akan mengatur semuanya.”
Mbok Nah terdiam, seraut wajahnya muram lalu tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu bagaimana ia dilahirkan dulu. Ibunya Nyai Rasup pernah bercerita tentang bagaimana Mbok Nah kecil terlahir ditengah-tengah kesusahan. Waktu itu Nyai Rasup tengah mengandung menginjak usia sembilan bulan. Disaat suasana sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman orang-orang pribumi dari berbagai arah. Mereka kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan melainkan juga dari udara. Benar-benar keadaan suatu Bangsa sedang genting-gentingnya. Saat itu para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit diantara para pejuang maupun warga sipil yang terperangkap di medan pertempuran, terkena peluru panas. Banyak warga sipil yang menderita luka parah hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Perkampungan warga dikepung dari berbagai arah. Sebagian ibu dan anak-anak yang berhasil lolos dari kepungan tentara lari tungang langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.
Nyai rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya Ki Rasup. Dengan sekuat tenaga Nyai Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Nyai Rasup yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan. Yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa. Mereka diduga masih bersembunyi dirumah-rumah warga. Dibalik hutan larangan dan dilereng gunung Muria.
Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk Ki Rasup suaminya, menyerang sebuah markas milik tentara Belanda yang disinyalir didalamnya tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di markas tentara kolonial Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara, tiga orang didalam dan dua orang lagi berjaga-jaga diluar. Suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah segala peralatan perang dan obat-obatan. Para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan, seluruh pemuda dikerahkan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit lima orang tentara Belanda itu tewas seketika. Tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya telah didoakan dan dijampi-jampi terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu lama, puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah seluruhnya. Sehari setelah peristiwa itu saat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri. Terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan di obrak-abrik lalu dibakar habis. Rumah-rumah warga banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawa Nyai Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu Nyai Rasup terlebih dahulu menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib para lansia dan anak-anak terperangkap. Mereka diarak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer didekat rumah letnan Abraham. Seperti biasanya, disana mereka disekap beberapa hari lalu dipaksa membuka rahasia kemudian dibebaskan. Adapula yang dihukum jemur ditengah-tengah lapangan, dijerang dibawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya.
Dengan tertatih-tatih Nyai Rasup dan Suaminya terus menapaki jalanan curam dan terjal, mencari tempat persembunyian. Belum sempat Nyai Rasup bersama suaminya menemukan tempat persembunyian, takdir berkehendak lain. Ki Rasup yang mulanya menyuruh Nyai Rasup agar berjalan didepan dan mendahuluinya itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Tepat dibelakangnya Ki Rasup yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi dirinya itu tertembak peluru panas. Nyai Rasup melihat sendiri bagaimana ki Rasup menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru panas yang tembus dibagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Rasup. Dilihatnya wajah suaminya itu. Guratan senyum yang merekah menjelang kepergian tak seperti biasanya. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Rasup hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.
"Selamatkan anakmu Imran! Dia ku letakkan dibawah tanah dikamar kita, tepat dibawah tempayan."
Tak lama setelah itu Nyai Rasup menjumpai raga suaminya yang kaku tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Rasup telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar didepan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua bibirnya seperti ada senyuman yang tersungging. Sementara Nyai Rasup berusaha tegar menghadapi sebuah kenyataan, dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh. Nyai Rasup yang lemah tak berdaya tidak kekurangan akal. Ia pura-pura pingsan beberapa menit lamanya saat berada tepat diatas mayat Ki Rasup. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasad suaminya. Semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi jabang bayi yang masih dikandung badan selama hampir sembilan bulan itu, perlahan dengan langkah gontai Nyai Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkannya jasad Ki Rasup tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batin Nyai Rasup berjanji kepada diri sendiri. Suatu saat apabila nyawa masih dikandung badan akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak. Dimanapun keberadaannya. walaupun hanya tinggal bangkai akan kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan berada pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak akan ku serukan bahwa semangat hidup takkan pernah mati dan perjuangan tak akan pernah usai.
Didepan mata Nyai Rasup menyaksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban keganasan perang, mereka telah tertulis masanya kembali kepada Yang Kuasa di lauhilmahfud. Mereka yang selamat lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung. Sebagian lagi terkena incaran peluru panas, mati. Tergeletak berserakan dijalan-jalan tikus dibawah tebing. Nyai Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan tepat diatas kepala. Spontan Nyai Rasup tiarap ditanah. Dalam tiarap itu Nyai Rasup seperti setengah sadar. Dalam ketidaksadarannya Nyai Rasup merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Ia berusaha mengikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu meski terasa berat. Tetapi itu semua hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap ditanah, Nyai Rasup telah mendiami dunia antah berantah. Dunia bawah alam sadar. Nyai Rasup ketiduran, begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109