Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalimah takbir yang suci itu dengan sengaja mereka nodai lalu mempermainkannya sedemikian rupa di ditempat yang tidak semestinya. Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang bukan haknya. Tanah kapling itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan itu dilanjutkan. Tanpa disadari mereka telah menjajah saudaranya sendiri. Hati sanubari mereka sama sekali telah mati . Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain.

Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?Atau bahkan menjadi menang? Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka tidak mengetahui jika Tuhan tidak memerlukan semua itu.

Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? Hingga mereka tega merampas hak orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama, Agama yang manakah yang mereka bela? Dengan samar mereka ingin menuhankan diri dan semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus, sehingga tiada lagi terasa. Ketika semua itu berhasil maka para iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Karena telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan untuk dijadikan kerak di dalam neraka

Belum sepenuhnya sembuh dari sakit, ujian hidup kembali datang menyambanginya. Kini seorang Kiai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang. Ratusan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Dampaknya kini muncul sentimen dari masyarakat. Para tetangga menjulukinya sebagai orang tua yang tidak waras. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang ditempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang ditanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tidak mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap  berusaha menghapus memori peristiwa balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin itu. Sakit hati yang tidak ada obatnya itu hanya bisa diobati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi.

Rasa sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Ia mulai takut jikalau berpisah dengan  ruhnya. Didalam bathinnya bertanya-tanya. Mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh yang kuasa harus kuterima, biarpun waktu yang ditorehkan hanya tinggal beberapa hari. Bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar. Itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.

"Baskom cuci tangannya mana?" Pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur.

"Ya Mak, sebentar!”

"Kenapa tidak dihabiskan ?"Tanya Qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.

"Mulutku terasa pahit.” Ujar Mbok Nah mengeluh.

Kamu sudah Makan?” Tanyanya kemudian.

"Belum lapar Mak!” Jawab Qohar Dengan wajah lesu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun