Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini Qohar mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Ia berusaha menjadi penyejuk bagi jiwa yang masih diliputi rasa takut. Dengan sabar ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap. Dengan memaksa diri perempuan tua itu mencoba menelan suapan dari Qohar meski lidahnya terasa pahit, semua itu di lakukannya demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis dilahapnya. Bubur yang berasa asin itu mampu merangsang kerongkongannya untuk segera diguyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.

Alhamdulillah....

Terbersit rasa syukur di hatinya lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan seperti menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh Celah-celah  samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.

"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun terus direbus seperti yang biasa ku lakukan” Pinta Mbok Nah pada Qohar.

“Iya Mak.”

Ditepi kampung Qohar dikesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak. Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu baginya seperti halnya upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk ditangkap. Tidak mudah untuk dicabut apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan cangkul atau peralatan lainnya. Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak ditempatnya, ia nyaris putus asa seandainya tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul disimpan dibawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Dibawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Digalinya tanah lempung yang elastis itu disekeliling temulawak dengan perlahan memakai cungkil dan pisau usang. Entah telah berapa minggu pisau usang itu tidak di asah. Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang. Ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah dititik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Tetapi hatinya terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.

Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit dicabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk dicabutnya. Dengan mudah kedua rimpang itu ia dapatkan. Bahan-bahan untuk ramuan itu dicuci bersih lalu ditumbuk di sebuah lumpang kemudian direbus dengan air tiga gayung seperti biasanya kala neneknya membuat ramuan. Malam itu kesehatan Mbok Nah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatannya. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua tangan dan kakinya yang semula terasa berat kini terasa ringan.

Merasa dirinya sudah baikan disuruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu beranjak ke sumur mengambil air wudlu. Selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.

"Kamu kenapa cucuku?" Tanya Mbok Nah penasaran. Tak ada jawaban, Qohar  terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.

"Bocah bagus ada apa? kok seperti dikejar binatang." Tanyanya kali kedua. 

"Aku baru saja melihat setan Mak!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun