Terdengar alunan suara adzan Ashar. Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan serta jutaan planet-planet di angkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathin Mbok Nah. Waktu shalat dhuhur telah berlalu berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur kini telah berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk pengabdian dan rasa terima kasih kepada Al Khalik telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang kepada Tuhan karena hingga detik ini ia masih bisa mengecap kehidupan. Ia masih bisa merasakan nikmatnya umur panjang dan bernafas sepuasnya tanpa harus mengeluarkan gemerincing rupiah. Ia diberinya ujian hidup karena itu adalah satu bukti dari kecintaannya. Tapi semua itu belum bisa ia balas walau hanya berkorban waktu beberapa menit lamanya untuk mendirikan tiang agama. Ia hanya bisa berdzikir melafadzkan asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala didera permasalahan. Kepada Tuhan ia mengadu.
Ya Allah, sekiranya engkau buka mata hati mereka, engkau lunakkan dan bersihkan hatinya, niscaya akan kutambah ketaatanku padamu Ya Rabb.
Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin kencing lalu tanpa pikir panjang Mbok Nah mengambil plastik bekas yang terserak di lantai untuk menampung air seninya kemudian menaruhnya ke dalam laci disebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu. Mereka terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri.
Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar dikumandangkan Mbok Nah dan Qohar dikeluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Diluar ternyata lengang berselimut sepi tidak seperti apa yang terbayang dibenaknya. Di luar hanya tinggal beberapa orang yang masih setia menunggui balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak salah seorang perangkat desa mempersilahkan pulang.
"Mbah ! …berdasarkan kebijakan dari pak Lurah dan semua perangkat desa, setelah dimusyawarahkan dengan matang-matang ternyata sampean itu melakukan banyak kesalahan, tetapi karena adanya kemurahan dari pak Lurah sampeyan sekarang diperbolehkan pulang dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat, apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Kalau sampai masalah ini diketahui oleh polisi, maka bukan tidak mungkin rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Perlu sampeyan tahu, kemarin di desa tetangga, seorang ibu muda kehilangan rumah dan tanahnya untuk membiayai pengadilan." Ucap salah seorang perangkat Desa seraya menambahkan peringatan bernada mengancam.
Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya tubuh cucu satu-satunya erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata, pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.
" Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di balai Desa bilang Maknyak itu bersalah?" Tanyanya penuh selidik sambil berjalan.
"Sudah, sudah, jangan diingat-ingat!" Larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa barusan.
"Kenapa harus dihukum di kamar terus digembok?" Qohar Makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.
"Biarlah Allah nanti yang akan membalas" Jawabnya singkat.
"Maknyak tidak salah kan?" Rasa keingintahuannya seakan tak bisa dibendung lagi.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109