Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Karena ketidak adilan" Jawab Mbok Nah sekenanya.

“Ketidak adilan seperti apa?" Timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.

"Aku tidak tahu."

            Lelaki tua yang tinggi seperti tiang listrik itu diam sejenak lalu bertanya lagi.

"Sampeyan menempelkan tulisan ini ke Balai desa sendirian, bukan?" Dahinya berkerut. Sementara Mbok Nah sendiri diam tidak menjawab. Nafasnya tiba-tiba serasa sesak, kedua mulutnya seolah terkunci. Sekujur tubuhnya mendadak dingin kehilangan daya tahan tubuh. Perempuan tua berambut perak itu seperti seorang prajurit yang terpojok lalu dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya. Ia ibarat ranting kecil yang kering ditengah-tengah gurun pasir, sekali di terpa angin akan terserak seketika. Sebentuk perempuan yang dirangkai dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali diluruskan ia akan patah, rapuh. Ia hanya bisa diluruskan dengan keris, keris estetika berlandaskan nilai-nilai rasa kemanusiaan yaitu keris perasaan. Meski harus menghadapi manusia-manusia konyol tetapi ia merasa kuat menghadapi sebuah kenyataan. Pertanyaan konyol yang tidak didasari oleh perasaan itu seperti tak kuasa untuk dijawabnya.

"Dibayar berapa Sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan itu terlontar.

"Aku tidak dibayar dan tak ingin di bayar. Uang dan perhiasanku sudah lebih dari cukup untuk membiayaiku seumur hidup!" Jawabnya dengan dongkol.

" Yo wis kalau begitu sampeyan disini dulu menunggu kebijakan dari pak Lurah." Dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya rapat-rapat. Tiada kepastian sampai kapan kebijakan itu selesai dibuat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian seumpama menantikan sebuah pencarian sebutir garam ditengah-tengah lautan. Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas dalam kisaran waktu yang terus berlalu. Dari bibirnya yang kering tak henti-hentinya melafadzkan kalimah istigfar. Satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri sebagai bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan', seorang manusia yang tidak akan bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan..

Rasa khawatir dan takut membaur menjadi satu. Qohar merengek meminta agar dirinya segera dipulangkan. Kedua bola matanya berkaca-kaca seiring tangis lirih yang tertahan, tetapi akhirnya ia bisa memahami keadaan setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis kecil mengisi kesunyian, Sementara itu tidak jauh dari tempat duduknya seekor laba-laba di ujung pojok kamar tengah membuat sarang dengan air liurnya. Dalam hitungan menit laba-laba  itu sanggup merampungkan rumahnya. Tetapi rumah yang bisa dibangun dalam sekejap itu apabila dihempas angin dan badai akan hancur berkeping-keping, bahkan oleh tiupan angin seorang anak kecil. Begitu mudahnya sarang laba-laba itu terbangun dan begitu mudahnya pula hancur oleh sekedar tiupan angin.

Karena terlalu lama menangis akhirnya terhenti pula pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti menghilang seiring perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya yang putih bersih mengering, tanpa disadari Qohar lalu tertidur dipelukan Mbok Nah.

"Allahu akbar Allahu akbar...."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun