Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perangkat desa yang masih muda itu mengelu-elukan kesibukan pak lurah, pada hal mbok Nah tahu sendiri dan telah menjadi rahasia umum jika pelayanan di balai desa tak pernah genap setengah hari. Itu semua dikarenakan minimnya orang-orang yang berurusan dengan balai Desa. Mereka enggan mengurus surat-surat ke balai desa karena urusannya bisa tambah runyam dan berbelit-belit. Masyarakat lebih memilih jalur instan dari pada harus warawiri ke balai desa dan ke kecamatan. Kalaupun diurus sendirian urusannya belum tentu kelar dalam sehari, bahkan bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dalam sehari pihak Balai desa melayani puluhan orang itu berarti telah mencapai angka yang tertinggi. Hanya melalui calo jalan satu-satunya mengurus keperluan ke balai desa.

"Mbah! perlu saya beri tahu! bahwa setiap ada masalah maupun keperluan warga pihak pemerintah Desa selalu mempermudah urusan, bahkan kalau perlu sampai tengah malam sekalipun, dua puluh empat  jam." Ujar seorang perangkat desa berbadan kurus.

"Mbah! kalau tidak setuju dengan program-program Desa bilang saja langsung pada pak Carik atau pal lurah jangan nulis seperti itu, jadinya kan malah tambah ruwet urusannya." Seloroh yang lain.

Tidak ada jawaban dari kedua bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya ia berdialog dengan Tuhan. Memohon ampun dan pertolongan darinya. Hingga beberapa saat lamanya Mbok Nah tetap diam memaku. Dibiarkannya lalat-lalat kecil menghinggapi matanya yang sembab, lalu lalat-lalat itu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang mulai tercium aroma pengap oleh keringat. Seolah lalat-lalat kecil itu tengah menertawakan nasib yang tengah menimpanya. Lalat yang tercipta tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun itu hinggap di tempat-tempat kumuh, sampah busuk dan segala bentuk kotoran, bahkan bangkai menjadi tempat peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan, perumpamaan orang yang tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya niscaya seperti seekor lalat. Sementara Qohar semakin merapatkan gayutan di ujung selendang, wujud dari sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang, keterikatan bathin diantara keduanya.

Melihat neneknya diperlakukan kasar oleh orang-orang yang tak begitu dikenalnya, tidak kuasa ia meyembunyikan kepedihan bathin. Ia seperti mengetahui apa yang tersimpan dibenak neneknya. Tetapi ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut diliputi tanda tanya besar atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat desa kepada neneknya. Pelan dan pasti kedua pipinya yang putih bersih basah oleh air mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan keberingasan. Semakin terlihat jelas topeng-topeng diwajah sebagian perangkat desa yang awalnya memandang biasa mendadak terlihat geram beringas dengan tatapan mata seolah  berwarna merah darah. Darah seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis.

Tiba waktunya perempuan tua itu dipanggil pak lurah. Disebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga orang itu dipenuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin. Tetapi didalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas diliputi hawa nafsu yang berselubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Didalam ruangan itu berjajar empat orang selain pak lurah dan dua orang yang sama-sama tak berdaya. Sementara diluar ruangan pasang-pasang mata terus mengawasinya. Mengintip dari balik jendela meski pintu dan semua jendela telah ditutup rapat-rapat. Tidak pernah menyangka jika akhirnya ia akan di sidang lima orang penting di Balai desa. Ia baru menyadari jika dirinya ternyata akan disidang karena ulahnya tempo hari.

"Silahkan duduk di tengah Mbah?" Perintah salah seorang perangkat Desa. Mbok Nah diapit empat orang, dua orang dibagian kanan dan dua orang lagi di sebelah kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan  berhadapan langsung dengan pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga dimulai, suasana hening sejenak. Pasang-pasang mata keempat perangkat desa disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik. Mereka  menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci, raut mukanya mendadak memerah menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. Semakin terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Mbok Nah adalah objek, orang yang patut disalahkan atau bahkan kalau perlu didzalimi sekalian. Mbok Nah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan, meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang yang hendak menangis.

"Mbah! sampeyan ini sudah tua kok malah neko-neko nulis kayak gini." Ujar pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari. "Siapa yang menyuruh? Akal-akalannya siapa ini ?" Tanyanya kemudian.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku hanya ingin sekedar  mengingatkan agar pemerintah Desa selalu mempermudah urusan bukan malah mempersulit urusan." Jawabnya dengan tegar dan tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan sebagian para perangkat desa yang berulang kali melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang lemah.

"Mbah! itu memang sudah aturan dari pemerintah pusat. Memangnya simbah itu siapa kok berani-beraninya protes ke kelurahan. Sampeyan belum tahu saya ini siapa?" Sebuah keakuan, ananiyah atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang  Lurah.  Wujud nyata suatu pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri yang sejujurnya justru ia sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya ia berlindung didalamnya, berlindung dari kesalahan. Satu bentuk kesengajaan yang didasari perlindungan diri. Kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja tergantikan sifat lahiriyah manusia yang  serakah, pongah manakala kekuasaan berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang atasan ataupun para pejabat diberbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk melindungi kesalahan itu sendiri.

"Mbah! tolong jawab yang jujur! Siapa dalang dibalik semua ini?" Tanya pak Lurah dengan mata melotot.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun