Banyak tentara jawa yang gugur dimedan perang kala itu. Jasad mereka akhirnya dikuburkan disana. Hingga kini masih terdapat Kuburan massal para tentara jawa di johor melaka. Salah satu tentara jawa yang gugur di medan perang itu adalah ki Bagja, buyut Mbok Nah. Konon kabarnya istri ki Bagja yang berperan sebagai tukang masak kala itu masih hidup dan mewariskan banyak keturunan disana.
Balai desa yang berjarak enam kilo meter jauhnya kini mulai ditempuh meskipun jalanan berliku dan naik turun.
Di tengah perjalanan, perempuan tua itu mulai merasakan letih. Keringatnya yang seukuran biji jagung mulai tampak membasahi lehernya. Separuh baju dipunggungnya juga basah oleh biang keringat, tetapi Qohar masih menikmati perjalanan. Disa'at rasa letih kian menyerang ada sebuah bangku kayu dipinggir jalan, tempat nongkrong anak-anak muda, suatu kebetulan. Lumayan Mbok Nah dan Qohar lalu beristirahat sebentar duduk selonjor diatas bangku kemudian dikeluarkannya sebotol minuman dari balik selendangnya.
"Alhamdulillah seger tenan." Ucapnya dengan menghela nafas panjang-panjang. "kamu tidak minum?" Tanyanya kemudian.
“Tidak Mak!". Jawabnya dengan menggelengkan kepala.
Kembali perjalanan dilanjutkan, di sepanjang jalan pikirannya mulai dihantui rasa khawatir. Ia mencoba merenungkan kenapa dirinya dipanggil ke kelurahan? mungkinkah perbuatan kemarin itu adalah suatu kesalahan fatal yang dibuatnya? sehingga pihak kelurahan mengutus pak RT untuk melayangkan sebuah surat panggilan bagi dirinya. Akankah orang-orang lingkaran Balai desa tega menganiaya dan mendzalimi seorang perempuan yang telah renta nan lemah seperti dirinya? Apapun yang akan terjadi perempuan berambut perak itu tak gentar untuk menghadapinya. Sementara sejauh mata memandang tak jauh dari tempatnya berdiri di ujung pematang tak jauh dari perkebunan tebu seekor anjing tengah menenteng seekor musang hasil buruannya, tiba-tiba musang yang terlihat sudah mati itu lepas dari gigitan anjing lalu kemudian lari terbirit-birit kedalam semak-semak. Hikmah yang bisa diambil, ternyata musang yang tidak punya otak itu juga bisa berakting layaknya manusia. Ternyata musang itu bisa lolos dari musibah meski nyawanya berada diujung tanduk. Torehan takdir dari yang kuasa tidak ada seorangpun yang tahu, hanya pasrah kepada tuhan yang bisa ia lakukan.
Yaa Allah ya Tuhanku, mati hidupku adalah hak Mu. Apa yang akan terjadi nanti semoga bisa kuterima, Aku pasrah. Pintanya dalam hati.
Tak seperti apa yang ia duga sebelumnya. Di depan balai Desa telah berjajar puluhan sepeda motor. Sepeda pedal hanya terhitung dengan hitungan jari. Rupanya seluruh ketua RT/RW dan semua perangkat desa juga di undang dan telah hadir menunggu kedatangannya. Memasuki halaman Balai Desa tanpa sepatah katapun basa-basi yang mereka ucapkan. Sekali sapaan itu terdengar serasa menyayat hati.
"Jadi ini rupanya orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap pak Carik nerocos begitu saja.
"Dulu aku diajari falsafah hidup darinya, tapi setelah tahu sifat aslinya, Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata maupun petuahnya." Celetuk pak Edi yang tengah menjabat sebagai modin Desa, tetangga sawah. Emosi perempuan tua itu tertahan, ia terima kesumat-kesumat yang dimuntahkan begitu saja. Tidak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang mulai kelu membiru. Walau hakikatnya hati dan perasaannya seperti tersambar petir. Salah seorang perangkat desa yang masih muda serta gayanya yang dibuat-buat mempersilahkan duduk terlebih dahulu.
"Monggo Mbah! duduk dulu, Pak Lurah masih melayani banyak orang.
Lihat Fiksiana Selengkapnya