Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kuranya, ia tak terlalu merisaukan kepergiannya, dikira neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara itu menjelang kepergiannya ke balai desa, disudut pintu belakang rumah seekor laba-laba jantan sedang berkorban nyawa dan jasad, tubuhnya dijadikan santapan laba-laba betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan dipenuhi lilitan jaring yang keluar dari air liur laba-laba betina, lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi yang terdapat pada jasad sang jantan disedot habis. Hukum alam mengajarkan sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Sebagai bekal selama masa kebuntingannya. Tak lama setelah itu laba-laba betina akan mengeluarkan ratusan butir kemudian dieraminya. Lazimnya binatang yang bertelur akan mengerami telur-telurnya persis dibawah tubuhnya supaya tetap terjaga suhu dan kelembabannya. Tetapi laba-laba betina punya cara lain untuk menetaskan telur-telurnya. Ditaruhnya telur-telur itu diatas punggungnya, ditata sedemikian rupa lalu digendongnya kemanapun laba-laba betina itu pergi, mirip perilaku kalajengking dalam upaya melestarikan jenisnya. Tak jauh dari jaring laba-laba, dibawah dipan belakang rumah, seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang tengah menggigit seekor anak kucing yang baru saja dilahirkannya. Sekilas perilakunya terlihat buas tetapi itulah cara penyelamatan yang terbaik. Induk kucing itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman, khawatir jika sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya kucing jantan menerkam anakannya, terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Induk kucing senantiasa mewaspadai gerak-gerik kucing jantan. Takdir yang telah ditorehkan yang kuasa telah menjadi semacam hukum alam yang oleh sebagian orang awam menyebutnya sebagai sebuah misteri Ilahi.

Waktu terus berlalu, bumi langit dan seisinya berdzikir kepada sang khalik tanpa jengah, sementara manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Siang berganti malam dan seterusnya hingga sandiwara ini usai. Para penghuni di atasnya kian terlena meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Kini bukti-bukti nyata selalu hadir ditengah-tengah kebimbangan, tetapi semua itu datang tanpa disadari dan ditafakuri. Bukti-bukti yang semakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk terimakasih kepada yang kuasa dengan bersujud barang beberapa menit.

            Esok hari menjelang keberangkatannya ke sawah, pak RT datang menemui Mbok Nah. tanpa berbasa-basi terlebih dahulu pak RT menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan dengan di iringi pertanyaan sengit.

"Mbok! Sampeyan kemarin ke kelurahan itu untuk apa? kok kabarnya buat cemar kelurahan. Sudah tua mbok ya ingat tuanya, diperbanyak ibadahnya, tidak ditambah ibadahnya kok malah maksiatnya yang semakin menjadi, memalukan sekali" Kata-kata kasar itu mampu memancing kemarahan seorang perempuan berambut perak itu, ia lalu membalasnya dengan kata-kata sengit pula.

"Apa Aku kemarin tak berpakaian di tengah jalan?, kok memalukan, memalukan apanya?"

"Dipikir tho, lha wong kamu kan punya otak !" Jawab pak RT tak kalah kecut, jawaban itu seakan mampu menyentakkan dada perempuan tua itu.

"Oo wong edan!" Balasnya dengan kedongkolan.

Pak RT diam tidak menanggapinya lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis meninggalkan perempuan tua itu.

            Selama ini Mbok Nah merasa apa yang telah dilakukannya adalah benar. Sekedar ingin mengingatkan para perangkat Desa bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. Ia sendiri tidak tahu pasti untuk apa dirinya diundang ke Balai Desa, Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut, hanya berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi.

Pagi harinya Mbok Nah berangkat ke Kelurahan. Tak ada yang dirisaukan, tak ada sesuatu hal yang ganjil atau firasat apapuntetapi pagi itu Qohar seperti tidak merelakan kepergian neneknya ke Kelurahan. Dari kedua bola matanya menetes perlahan bulir-bulir air mata, seakan-akan bocah kecil itu tahu apa yang akan terjadi nanti. Ia meratap meminta agar dirinya di ijinkan ikut ke Kelurahan. Dengan berat hati Neneknya mengijinkannya ikut ke Kelurahan.

Di sepanjang jalan Mbok Nah bercerita tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat, cita-cita luhurnya ingin menyatukan Nusantara. Bersama kerajaan Johor di Malaka terhitung telah dua kali Ratu Kalinyamat berupaya mengusir orang-orang Portugis, tetapi upayanya gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat[2].

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun