Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"sama-sama."

            Tak seberapa lama Pak Carik pulang dengan mengendarai pick up bersama seorang anak laki-laki.

"Walah ada tamu rupanya tunggu sebentar ya, aku mau salin pakaian dulu, habis nganter bibit mahoni masih belepotan. Silahkan di minum dulu tehnya." Pintanya sambil bersalaman.

Pak carik kemudian keluar menemui para tamu. Belum sempat Mbok Nah mengutarakan Maksud kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang sepasang suami istri. Tanpa basa-basi terlebih dahulu mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang baru dibelinya setahun yang lalu yang hingga kini belum juga dibukukan. Sementara kartu pajaknya masih mengatas namakan pihak penjual. Dengan santai Pak Carik mampu meredam keadaan, disuruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi karena dua bulan lagi akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar atau yang kedua dalam minggu ini tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena diluar ketentuan, alasannya uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan lalu ke kabupaten.

            Karena tak ingin terlalu lama menunggu tanpa suatu kepastian, dua orang semuhrim itu lebih memilih pilihan yang kedua. Lazimnya seorang manusia yang tidak menginginkan permasalahan tak berujung. Permasalahan berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.

            Dari pada harus menanti sesuatu yang tidak pasti dan menunggu terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Pak Amin lalu mengutarakan keinginannya kepada kedua belah pihak supaya mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya. Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tata cara yang ditempuh pak Amin, tetapi setelah dijelaskan ihwal keseluruhan pembiayaan diluar perhitungan semula akan ditanggung pihak pembeli bukan dari kedua belah pihak, maka kemudian Bu Marni menyetujuinya. Sementara Mbok Nah sebagai orang tua yang kurang tau duduk perkaranya hanya bisa mengiyakan, meski hatinya ngedongkol, ingin rasanya protes mempertanyakan tata cara yang terkesan dipersulit. Tetapi apa boleh buat orang kecil macam Mbok Nah tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah urusan pak Carik dengan suami istri itu selesai pak Amin kemudian menemui pak Carik di ruang tengah, entah apa yang dibicarakannya, kedua orang itu hanya berbicara empat mata dan langsung dicapai sebuah kesepakatan. Keduanya lalu keluar ke ruang tamu dan menandatangani sebuah kwitansi lengkap dengan sebuah materai. Akhirnya pak Amin menandatangani akad jual beli bersama Bu Marni dan Ambar disaksikan kedua belah pihak. Pak carik meminta kerelaan saksi dari kedua belah pihak untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Di luar perjanjian tanpa sepengetahuan pihak penjual, pak Carik meminta uang tambahan kepada pak Amin tanpa rasa canggung. Dengan enteng pak Amin menambahkan lagi segepok uang dan hasilnya kemudian di capai sebuah kesepakatan yang fantastis. Apabila masyarakat desa biasa menunggu proses hingga dua tahun bahkan lebih. Pak Amin di janjikan hanya dibutuhkan waktu selama dua minggu.

            Selama berabad-abad negeri ini dijajah oleh bangsa asing dan kini telah merdeka walau hakikatnya hanya formalitas belaka. Kemerdekaan hanya berlaku bagi orang-orang tertentu. Negeri ini tak lekang oleh penjajahan, penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang sekiranya bisa dilanggar. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Mbok Nah adalah adanya peraturan yang sengaja dibuat rumit oleh pihak pemerintah Desa. Mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat maupun jalur lama. Semua itu sebenarnya bisa dipermudah tetapi entah kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu dibuat sulit dan sengaja disulapnya menjadi mesin rupiah. Meski telah renta dimakan usia Mbok Nah tak habis semangat juangnya untuk terus mengkritisi meski hanya didalam bathin. Dibenaknya muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan. Ghirah itu semakin berkobar didadanya, sementara itu ia tidak tahu harus bagaimana. Dalam bathinnya bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bertambah heran, mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat Desa justru bermain topeng dan mempermainkan jati dirinya? Untuk apa semua itu? Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang. Membayar mahal dengan bentangan ratusan mayat atau bahkan mungkin ribuan. Mereka terpaksa harus merelakan ceceran darah saudara-saudaranya disepanjang jalan sebagai tumbal kemerdekaan. Kemerdekan adalah keinginan untuk bersatu dalam membangun sebuah peradaban menuju kemajuan, kemerdekaan itu begitu mahal harganya sehingga tak bisa ditukar dengan apapun meski dengan nilai nominal rupiah bergudang-gudang . Dengan diliputi rasa gundah siang itu Mbok Nah pergi ke rumah Karmini adik dari suaminya. Ia mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah merampungkan studinya. Anak bungsu Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya disebuah perguruan tinggi dengan beasiswa penuh dari pemerintah.

"Mini....?" Panggilnya dengan suara keibuan.

"Ya Mbakyu. Ada apa?" Tanya karmini sambil membawa pakaian satu ember penuh ke sungai untuk keperluan mencuci pakaian.

"Nyari Mansur" Jawab Mbok Nah. "Dimana dia sekarang?" Sambungnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun