Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya mencoba menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut dipinggiran sungai.

Walau hanya sekedar melintas, sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun dipagi hari yang senantiasa disambut kehadirannya.

Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan Keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia. Hampir dibeberapa tempat Perempuan tua itu menjumpai sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama berdosis tinggi. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, katak, belut dan berbagai jenis serangga air yang mati disepanjang aliran sungai. Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil dan serangga air mati secara tidak wajar. sementara ditempat yang lain hampir setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang senapan angin untuk berburu apa saja disepanjang sungai.

Jika menyaksikan ulah para pemuda yang mencari sarang burung dengan membabi buta, seolah perempuan tua itu ingin melarang, mengusir atau bahkan menghardiknya dengan suara lantang. Tetapi semua itu hanya timbul sesaat didalam hatinya, ia merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi memarahinya. Ulah para pemuda itu pelan dan pasti telah merusak ekosistem sungai. Terakhir kali rombongan para pemuda beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas dan insektisida,  racun-racun itu ditebar disepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai sebagai satu bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.

Sepulangnya dari sawah perempuan Tua itu menyempatkan waktunya untuk memulung kacang tanah yang telah selesai dipanen. Bagi orang-orang  kampung seperti perempuan tua itu, memulung kacang tanah merupakan suatu kepuasan tersendiri. Biasanya dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Kacang tanah yang telah dimasak terlebih dahulu itu apabila dikeringkan bisa bertahan hingga enam bulan lamanya.

Ketika memulung hingga setengah hari biasanya terkumpul tiga ember ukuran sedang atau satu ember besar, lebih dari cukup untuk sekedar sebagai camilan selama satu minggu. Jika tersisa tidak sempat dimakan, maka kacang-kacang itu kemudian dikeringkan begitu seterusnya. Tanpa terasa kacang kering menjadi semakin banyak untuk persediaan camilan dimusim penghujan. Telah menjadi semacam tradisi apabila datang musim hujan, orang-orang dusun biasanya selalu ingin ngemil, terutama cemilan yang mengandung banyak karbohidrat. Semacam singkong, talas maupun umbi-umbian lainnya. Musim penghujan yang cenderung berhawa dingin diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghangatkan badan.

Setiap perempuan tua itu pulang dari sawah selalu membawa barang-barang bawaan macam kayu bakar, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang dijadikannya wadah untuk menampungnya. Apabila tidak membawa bakul, ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala dibutuhkan. Sekadar untuk kebutuhan mendadak seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya. Wadah-wadah cadangan itu adalah plastik-plastik lusuh yang didapat dari tepian sungai yang semula hanyut terbawa banjir. Sengaja disimpan sebagai wadah cadangan, diselipkan diantara bebatuan dibawah pohon nangka.

Sesampainya dirumah seorang perempuan paruh baya menghampirinya lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan paruh baya itu biasa dipanggil dengan panggilan Rukini. Seorang Ibu muda yang tengah menggendong seorang balita, sesekali anak kecil itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau mungkin anak kecil itu ingin mendekat. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, merah kecoklatan seperti terjerang panas matahari selama beberapa hari. Kini Ibu muda itu tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dengan suaminya.

"Bawa sayuran lembayung Mbok蜉1. Minta ya Mbok?" Pintanya dengan penuh keakraban.

"Bawa tapi sedikit, ini aku bawa daun singkong banyak kalau mau!"

"Daun singkong juga tak apa, kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong." 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun