Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diantara serpihan-serpihan sisa umur

Kan kurangkai mozaik keindahan

Mengiring perjalananku

Hari-hari berlalu tanpa terasa, seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Sebagian insan berlomba-lomba membangun jati dirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Musim kemarau telah bergeser dan berganti musim hujan. Semua mahluk hidup gegap gempita menyambutnya, ada kerbau, kambing, burung-burung, katak, ikan hingga belut dan cacing tanah. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan dedaunan yang kian menghijau pertanda tanah mulai gembur. Luasan rumputan perdu membentang sejauh mata memandang mulai bersemi.

            Menyambut datangnya musim hujan sekumpulan Katak disegenap penjuru merayakan hari kemenangannya, hujan kali pertama. Sekumpulan katak itu tak henti-hentinya bersyukur sembari berdzikir kehadirat Ilahi dengan suaranya yang nyaring. Sedari sore hingga menjelang malam suara-suara itu seolah sambung menyambung tiada jemu. Burung-burung mengeluarkan suaranya yang khas seperti alunan melodi silih berganti mewarnai kesunyian. Belalang-belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari melupakan musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat-saat seperti itulah suatu kesempatan bagi Kadal untuk segera memangsanya. Tanpa harus bersiap-siap siaga tiba-tiba belalang seakan seperti menawarkan diri untuk dijadikan mangsa. Tanpa disadari sebelumnya belalang-belalang kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari yang kuasa jika petualangan hidup belalang akan berakhir tragis dimangsa kadal, demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir ketika berhadapan dengan musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput serta sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan kesegarannya. Para penggarap sawah di segenap penjuru mulai menggarap kembali lahan sawah yang sebelumnya banyak yang mangkrak tak terurus karena kekeringan. Benih-benih padi mulai ditebar di bedeng-bedeng yang sebelumnya telah ditata sedemikian rupa.

            Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari lahirnya Qohar, diambilnya beberapa bekas keringat di leher Qohar yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah bentuk penyadaran Jika sesuap nasi itu harus didapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.

            Sejumput daki Qohar ditaburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Dengan sepenuh hati merawat, membesarkan dan menyayangi tanpa ada batasnya namun kini tidak diketahui secara pasti dimana keberadaannya. Walau mereka hakikatnya tidak ada, namun bagi Mbok Nah mereka ada untuk selama-lamanya.

            Di dapur persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Diambilnya kayu dari belakang rumah yang masih tersisa beberapa lapis hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu, seperti membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat ada sesuatu dibawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.

Seikat serpihan Kayu ditaruh di dapur lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil agar tak lagi hilang sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar.

Di kegelapan fajar saat jendelanya masih tertutup rapat Qohar terperanjat, ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari kakinya. Ia segera lari kedapur namun tak ditemukan seseorang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.

Aku pancen wong seng tuno aksoro.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun