Setiap kali pergi kesawah perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa bekal makanan secukupnya, dua lapis jarek untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih. jika lupa membawa biasanya ia sempatkan pulang sebelum tiba saatnya waktu dzohor.
Terkadang ia sengaja menyimpan jarek atau mukena di pojok atas gubuknya. Usai melawan kantuk dengan berdzikir di akhiri doa sapu jagat, ia lalu beranjak menuju cangkruk, sebuah gubuk kecil yang didesainnya sendiri pula untuk sekedar istirahat disela-sela kesibukannya disawah. Didalam bilik tanpa jendela dan hanya diberi rumbai-rumbai pelepah daun pisang kering itu ia duduk selonjor beberapa saat. Selembar daun pisang diambilnya langsung dari pohonnya yang tak jauh dari tempatnya. Selembar daun pisang itu lalu dijadikannya sebagai alas makan pengganti piring. Diambilnya nasi beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung dan ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang.
Apabila sudah dihadapkan dengan kenikmatan duniawi maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa dibeli maupun ditukar meskipun ditukar dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka wajar jika didalam pikirannya tidak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di Akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah lebih dari cukup. Hanya satu kata yang senantiasa mengiringi langkah hidupnya, yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah.
jika teringat bagaimana zaman penjajahan mati-matian berjuang untuk bertahan hidup, membuat perempuan tua itu sangat mensyukuri dan menghargai kehidupannya. Sisa umurnya yang kian berkurang tak ingin disia-siakannya dengan cara berdzikir setiap sehabis shalat fardlu. Kelak yang ia harapkan setelah dirinya dipanggil yang Maha Kuasa bukanlah surga maupun neraka, melainkan keridzaannya. Ia ingin menjadi hamba yang diridzai Allah di Akhirat kelak dan tidak lebih.
Seusai makan lalu diteguknya air kendi. Ces!! dingin dan sejuk. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan disekujur punggungnya mulai keluar perlahan, mengalir membasahi bajunya. Lalu angin sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa didapat dipersawahan, dibawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang bersyukur.
Tak jauh dari tempat perempuan tua itu, sekumpulan ikan bader dan udang berkejaran lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja disisakan untuknya. ketika sisa-sisa nasi putihnya ditumpahkan ke arah aliran sungai, ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.
Menyaksikan sebuah sandiwara kecil makhluk-mahluk lain adalah suatu keistimewaan tersendiri. Perempuan tua itu telah menyatu dengan alam, demikian pula dengan burung-burung terkuok, berkeliaran bebas berkejar-kejaran disatu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya disiang hari kala suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Disaat orang-orang mulai kembali pulang melepas lelah dan letih setelah setengah hari bekerja.
Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana senyap. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Jalannya tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam dibagian ekornya. Sesekali burung-burung itu menyelam, menghilang kedasar sungai sambil mencari mangsa dengan lincahnya.
Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat, burung yang terbiasa berenang-renang berlalu lalang dan berkejar-kejaran dikala senyap itu, kini sudah mulai berkurang oleh sebab perburuan yang semakin membabi buta, pada hal kemunculannya disaat-saat sepi setelah keadaan terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak, tetapi ada pula yang bermalas-malasan bertengger didahan dan ranting-ranting rumpun pohonan bambu sehingga mudah untuk diburu. Apalagi telurnya yang lebih mirip seukuran telur ayam seringkali menarik minat pemuda-pemuda kampung untuk mayoran蜉1. Hanya didekat perempuan tua itu burung-burung terkuok berani menampakkan diri.
Setelah burung-burung terkuok berlalu pergi. Datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung terkuok. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu seperti menyadari kekalahan dan kelemahannya, rela menunggu lalu silih berganti sampai menjelang sore.
Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Siang itu burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan, mereka memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109