Teringat dibenak Mbok Nah kejadian puluhan tahun silam. Kenangan pahit masa-masa sulit yang musti dilakoni dalam keprihatinan. Di saat sebelum masa kemerdekaan diproklamirkan, pada masa pendudukan tentara Jepang. Awal kedatangannya ke Indonesia menunjukkan misi persaudaraan, baru beberapa bulan kemudian kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.
Waktu itu sekitar tahun 1942 Mbok Nah dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Saking sulitnya hidup dimasa itu umbi-umbian menjadi sesuatu hal yang biasa dimakan sehari-hari sebagai makanan pokok. Untuk mendapatkan umbi-umbiannya juga susah, harus berjalan menaiki bukit sejauh enam hingga tujuh kilometer. Singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak banyak dari warga kampung yang kuat membelinya, hanya terbatas disebagian kalangan. Jika ingin menikmati lezatnya singkong rebus kala itu tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga, tetapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai delapan kilo meter, jalan yang ditempuh berkelok-kelok dan lebarnya kurang dari satu meter. Hanya dilereng-lereng gunung tanaman singkong dibudidayakan.
Di saat serba sulit itulah Mbok Nah menemukan Oshi koizumi seorang Serdadu Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengan Mbok Nah. Satu hal yang unik dari serdadu Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu salah tingkah. Oshi waktu itu terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Dengan tanggap tanpa memperdulikan siapa dan asal usulnya, Mbok Nah datang sebagai malaikat penyelamat. Didalam sebuah gua yang tak begitu dalam seorang yang diketahui sebagai tentara jepang itu dirawat dengan ala kadarnya hingga sembuh. Untuk mengobati luka-luka didadanya oleh tusukan-tusukan kawat, Mbok Nah memakai ramuan kuno berupa perasan daun binahong serta air liur siput.
Atas jasa- jasa dan kebaikan Mbok Nah, Oshi selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar menemui Mbok Nah di sebuah gubuk kecil tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh makanan khas jepang. Kebiasaan itu dilakoninya setiap selesai bertugas. Sebelum pulang kenegaranya Oshi sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin dan celana kolor. Melihat kenyataan pahit itu kang karta menyadari kekurangannya dan mereka pun saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong umur sebulan sudah dirusak babi-babi hutan, tetapi musuh utama masa itu bukan hanya babi hutan tetapi juga sesama manusia. Kala itu padi belum menguning sempurna telah disikat habis oleh orang-orang yang kelaparan. Orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan, menungguinya siang dan malam, nyawa sebagai taruhannya. Kalau pun padi itu berhasil dipanen bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka, kaki tangan para Penjajah. Akhir dari semua itu sawah dan lahan tak terhitung luasnya sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang pribumi lebih memilih membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya lalu hasilnya diserahkan kepada orang lain.
Setiap serdadu Jepang itu datang memberi makanan kepadanya, ia tidak langsung memakannya sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian dibawanya pulang makanan itu, begitu seterusnya. Peristiwa itu berjalan hingga dua tahun, tepatnya setelah pecah perang dunia kedua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak dengan dihancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika serikat1. Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour, sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut di kepulauan Hawaii Amerika Serikat.
Mulanya Setiap kali Mbok Nah pulang membawa makanan, Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu didapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya karena tidak kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kurang.
Mbok Nah tak pernah sekalipun memberitahukan perihal keberadaan senapan angin yang tergeletak dibalik lemari. Muncul beribu tanda tanya dibenaknya namun urung ia tanyakan, menunggu suasana yang tepat untuk menanyakannya. Usai menanak nasi dan mencuci piring Mbok Nah segera membangunkan Qohar sambil mengelitiki kaki kirinya seperti yang dilakukannya setiap hari. Begitu terbangun dengan cekatan Qohar pergi ke padasan蜉1 dan cuci muka kemudian kembali ke kamar tidur dan mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
" Kok tidak shalat?
" kesiangan Mak!" Timpalnya beralasan.
"Ya sudah, sana sarapan!"
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109