Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah tercipta

Surga dunia

Bagi orang-orang yang bersyukur

Tetapi kala surga menjadi tujuan

Meski seorang alim, abid

Menyelubung harap

Maka surga enggan menyapa

Usianya telah senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Matanya cekung, gigi serinya masih utuh meski terlihat agak kusam oleh sebab kebiasaan mengunyah daun sirih, hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, semakin keriput karena ditelan masa, dihempas oleh perjalanan waktu.

Jika diukur dengan usia semestinya ia sudah saatnya beristirahat ongkang-ongkang kaki di rumah, tetapi ia tetap saja melakoni rutinitasnya di pematang sawah saban hari meski sudah udzur. Kedua kakinya sebenarnya sudah ringkih, tetapi masih sanggup menopang tubuh rentanya. Masih mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Menapaki jalanan beberapa kilometer jauhnya. Semua itu adalah ungkapan dari rasa syukur kepada yang kuasa. jika matahari sudah serasa diubun-ubun ia lalu melepas lelah dan menghabiskan waktunya disebuah gubuk  dipinggiran sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek. Tidak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas perawakan tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya.

Di saat bayang-bayang matahari mulai sedikit bergeser ke arah timur, diatas jerami kering diantara bebatuan, perempuan tua itu duduk bersila dipinggir sungai, dibawah pohon nangka yang rimbun. Dengan ditemani semilirnya angin perempuan tua itu bermunajat kepada yang kuasa sembari berdzikir dan bertafakur. Dengan bermunajat dan bertafakkur itulah yang membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila sembari membuang lelah setelah seharian bekerja.

Di atas sungai terbentang sawah beberapa petak peninggalan dari suaminya. Sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya didalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan dan sebagian lagi berupa hibah dari pemerintah kolonial belanda. Waktu dzohor telah berlalu beberapa jam yang lalu,panas terik mentari telah mulai berkurang. Perempuan tua itu masih belum beranjak dari musholla yang didesainnya dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh sembari melawan kantuk. Dari kedua bibirnya tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah, memanjatkan rasa syukur teriring dzikir lalu diakhiri doa sapu jagat seperti biasanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun