Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       "Iya Mak."

Kala mentari belum menenggelamkan diri di ujung barat Qohar telah bersolek diri hendak ke musholla. Disandangnya baju koko, peci, seutas sarung serta sebuah kitab suci. Petang itu qohar berangkat sendiri tanpa ditemani mbok Nah seperti biasanya. Di dapur mbok Nah tengah mempersiapkan menu berbuka puasa. Telah menjadi semacam tradisi apabila tiada aral melintang mbok Nah rutin melaksanakan puasa senin kamis. Menu tambahan untuk cemilan malam nanti telah disediakan tebu sebanyak tiga batang. Begitu masakan telah tersaji dimeja makan lalu ia mengupas tebu di teras belakang sembari menunggu waktu berbuka puasa.

Suara adzan maghrib telah berkumandang memecah kesunyian petang itu. Diteguknya dawet hangat yang sebelumnya telah dicampur cairan kental gula jawa dan aneka macam rempah-rempah. Manis dan sedap aromanya menggugah selera. Dawet manis suam-suam kuku yang hampir segelas penuh itupun langsung membasahi kerongkongannya yang semula kering. Dawet manis itu seakan-akan langsung merembes menembus kulit arinya yang tipis.

            Malam itu selepas sholat isya' Mbok Nah berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor, tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya, terbersit keinginan dibenaknya untuk membeli gulai kambing. Disuruhnya Qohar ke warung gulai Mbok pairah.Tanpa perasaan terbebani Qohar menyanggupinya. Sebenarnya ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh apalagi waktunya malam hari. Tetapi dihadapan neneknya ia mencoba memperlihatkan keberanian dan percaya diri.

            Diluar rumah banyak anak-anak seusianya yang tengah bermain singkongan蜉1. Qohar lalu mengajak Rudi, usianya dua tahun lebih tua darinya namun ia mempunyai sifat pemalu dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil Rudi pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si Belang sehingga menyisakan mental minder pada dirinya. Mereka pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung itu. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah. Cukup lama mereka menunggu, akhirnya dapat juga gulai kambingnya. Mereka pun membawanya pulang.

Dirumah Mbok Nah sudah tertidur di atas kursi panjangnya.

            "Maknyak, bangun Mak! ini gulainya nanti keburu adem."

"Taruh saja di lemari nanti bisa dihangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya ditutup!" Perintah Mbok Nah seraya ke tempat tidur.

            Di tengah malam Mbok Nah terbangun lalu melaksanakan shalat tahajjud diakhiri baca'an Do'a Abu Nawas.

Ilaahi Lastulil Firdausi Ahlaa

Walaa Aqwaa A'lannaril Jakhiimi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun