Mohon tunggu...
Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

13 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:37 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore menjelang para wartawan dan reporter bergerilya menawarkan pekerjaan memanen padi dari rumah kerumah, dari orang ke orang. Dari setiap rumah yang didatangi hanya enam orang yang bersedia, selebihnya mereka sudah ada perjanjian panen ditempat lain.

Sementara itu Mbok Nah bersama Qohar dan beberapa wartawan yang lain kesawah mengambil bumbu dapur lalu memanen nangka muda sebanyak lima buah.

Malam itu rumahnya mendadak sesak penuh wartawan dan reporter. Beberapa wartawan sengaja mendirikan tenda di bawah pohon sawo. Malam itu kebetulan ada dua orang reporter yang berasal dari ranah minang. Mereka menawarkan jasanya dalam membuat gulai nangka muda khas minang. Demikian halnya dengan wartawan yang bisa menanak nasi juga tidak segan menawarkan jasanya dengan cuma-cuma.

Para wartawan dan reporter adalah tamu meski tamu-tamu itu datang tanpa diundang. Kedatangannya bukan untuk menciptakan permasalahan baru, tetapi mencoba mengurai benang basah yang membelitnya. Satu sama lain membagi tugas sesuai apa yang mereka bisa. Membersihkan rumah,menyapu,memasak,mencuci piring sampai melipat pakaian. Seorang reporter yang diketahui bernama Ita sempat jatuh cinta kepada kura-kura yang dipelihara Qohar begitu melihatnya, namun ketika kura-kura itu di tawar dengan harga yang lumayan tinggi Qohar masih belum bisa melepas kura-kura mungilnya itu. Ia masih belum bisa merelakannya.

Adzan shubuh belum berkumandang, Mbok Nah telah terbangun lebih awal. Menyiapkan kayu bakar untuk merebus air sebanyak dua dandang. Nasi beserta lauknya telah matang sejak semalam. Pagi ini ia hanya mempersiapkan pembuatan jenang sebagai cemilan panen nanti. Satu persatu para wartawan dan reporter terbangun, sebagian yang non moslem lebih memilih tiduran di kamar dan sebagian lagi yang moslem lebih memilih mensucikan diri lalu mendirikan tiang agama di musholla.

Ada satu hal yang membuat pagi itu terasa beda dari hari-hari biasa. Yaitu suasana yang mendadak ramai. Dari antrean mandi yang mengular, pembuatan kamar ganti darurat hingga menyulap sebagian ruang dapur sebagai ruang make up.

Semua wartawan dan reporter pagi itu Sarapan dirumah sehingga tidak perlu repot membawa sarapan kesawah. Mbok nah hanya membawa sarapan sebakul untuk para pemanen padi. Sebagai seorang wartawan yang akrab dengan dunia tulis menulis tentunya mereka asing dengan dunia pertanian, apalagi dengan hitam pekatnya lumpur pesawahan. Awalnya mereka tidak tahu harus bagaimana tetapi akhirnya mereka tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Lantas salah seorang kru kembali kerumah mengambil sesuatu yang bisa dipakai.

Kebetulan ada persediaan cutter dan gunting di brankas mobil. Sebagian wartawan yang tidak bisa membabat padi dengan parang lebih memilih memakai gunting atau cutter. Lumayan untuk membabat padi sambil berjongkok santai bagi yang tidak bisa membabat dengan berdiri terlalu lama.

Panen raya itu disiarkan secara langsung di beberapa televisi. Ada satu hal yang menarik perhatian publik yaitu babat padi yang hanya memakai cutter dan gunting karena keterbatasan alat yang tidak memadai. Mbok nah tak pernah menyuruh, tak pernah pula meminta. Tetapi pagi itu mereka yang berjumlah puluhan orang itu mengulurkan tangannya. Mereka tergugah oleh rasa kemanusiaan. Terpanggil jiwanya kala melihat keadilan yang terinjak-injak oleh tirani kekuasaan.

[1] Manusia yang baik itu ringan tangan dan selalu mempermudah urusan, tidak menyukai perbuatan keji dan mungkar. Orang dengan kebiasaannya memperumit suatu masalah itu tiada bedanya dengan menjajah saudaranya sendiri. Lebih buas dari buasnya binatang buas. Secara dzahir sungguh tiada beda dengan binatang. Apakah tidak terpikir? Zaman dahulu tanah air ini di jajah selama bertahun-tahun, memerlukan pengorbanan yang tiada terhingga. Orang-orang terdahulu berjuang melawan segala bentuk penjajahan dengan tujuan ingin merdeka seutuhnya. Kini telah merdeka tetapi yang terjadi penjajahan malah seMakin beringas dengan menjajah sebangsanya sendiri. Hidup seperti halnya tanpa suatu aturan. Ingatlah semua para perangkat desa tidak akan sampai satu abad nyawamu tertancap di dada, kamu semua bakal mati membaur dengan tanah.

[2] Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa KerajaanDeMak. Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai bandar niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia. Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu. Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun