Ki Slamet Gundono melemparkan semua wayang-wayang suket itu ke dalam kotak. Persis seperti Izroil mencabuti nyawa manusia-manusia. Ah, Ki Dalang sudah lupa daratan! Lupa mengontrol emosinya. Bahkan, tiba-tiba ia mengaku sebagai tuhan. Dia lupa, padahal ada tuhan lain yang tengah mengaturnya. Buktiknya, pakem yang sudah disusunnya rapih bisa saya rombak sekehendak hati—dengan kapasitas sebagai sutradara film dokumenter, tentunya.
Mohon maaf, bila tiba-tiba, sekarang saya pun jadi begitu perkasa hingga juga menjadi pengatur cerita, sekaligus menentukan premis, drama, dan klimaks. Padahal, maunya saya, ya sekadar merekam saja apa yang terjadi di panggung. Lalu, menjelaskan gambar-gambar yang didapat. Ya, seperti konsep membuat news feature. Tapi, ini kan film dokumenter! Ya, harus beda.
Karena itu, di luar informasi, estetika, dan drama, maka pesan moral laksana ustadz pun sah-sah saja disisipkan dalam film dokumenter ini. Toh, saya pemilik konsep penceritaan. Tujuan utamanya, saya pun bisa menjejalkan “jeritan batin” yang sering dijadikan doa. Isinya sederhana saja: semoga Tukul Arawana istiqomah menjadi host acara Bukan Empat Mata, Iwan Fals konsisten dengan lagu-lagu kritik sosialnya, Oneng juga tetap setia dengan Bang Bajuri-nya, Andrea Hirata terus saja menulis novel-novel inspiratif, dan saya pun tetap saja berdoa untuk mereka.
Maksudnya, agar mereka tak pernah terpikir, apalagi latah, untuk tiba-tiba menjadi calon-calon pemimpin di negara tercinta ini, dalam porsi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, termasuk Ketua RT. Karena, Gusti Allah memang telah menyediakan space sendiri untuk para pemimpin yang dilahirkan sebagai pemimpin.[]
* Tulisan ini didedikasikan kepada sahabat saya, Ki Slamet Gundono.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI