Mohon tunggu...
Syaiful Hadi Jl
Syaiful Hadi Jl Mohon Tunggu... -

pengamat seni

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kursi Haram

2 Maret 2014   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Syaiful Hadi JL

“Ecek-ecek menanto ate,

akale sirung lengkunge dele”

Sengkarut Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berpotensi menghasilkan 60 kursi haram di DPR-RI masih jadi polemik tak berkesudahan. Tapi sesungguhnya, masih banyak kursi haram lain. Bukan cuma 60, bisa ratusan kursi haram di DPRD/DPRK. Awas, kursi haram akan menjadikan lembaga terhormat (legislatif) akan tercederai.

Sesungguhnya soal kursi haram ini bukan cerita baru. Pesta Demokrasi, yang kita harapkan menjadi proses terpilihnya orang terbaik terbaik yang akan mengurus negeri ini, selalu cidera karena mereka menghalalkan semua cara untuk mengantarkan mereka berstatus anggota dewan itu.

Banyak joke yang beredar, 'sidah se ne'.  Semakin dekat tanggal 9 April 2014 maka bursa 'sidah se ne' menjadi semakin hangat. Dibanyak pojok, selalu terdengar, si caleg anu bayar sekian sedangkan caleg si fulan bayar sekian.

Harga suara rakyat, yang katanya, suara Tuhan, itu kini jadi bahan dagangan. Hargnya pun meningkat dan saling menimpa. Awalnya, muncul patokan Rp 100 ribu/suara. Tapi kini, ada caleg berani menimpanya Rp 250 sampai Rp 400 ribu. Wow !

Caleg yang sudah menempel fotonya dengan sejuta gaya, masih tidak percaya diri untuk bisa memenangi pemilihan tanpa membayar (suara) rakyat.  Belum lagi aksi 'serangan fajar' di hari "H" dengan mengantar kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dlsb.

Membayar suara pemilih adalah ciri paling memalukan dari para wakil rakyat. Sesungguhnya, suara itu diperoleh atas kepercayaan rakyat dengan memberikan amanah kepada mereka sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Buka dengan membayarnya.

Yang terjadi adalah, karena mereka telah membayar suara rakyat dengan uang recehan + plus sedikit bahan pokok maka pemegang mandat itu tak merasa perlu mempertanggungjawabkannya kepada rakyat (konstituen) yang memilihnya. Akhirnya, seperti yang kita saksikan selama ini, anggota dewan itu bekerja tanpa peduli rakyatnya. Kan semuanya sudah dibayar putus.

Tak usah heran, kalau rakyat marah. Gelombang demo silih berganti. Temanya selalu sama, anggota DPRK itu tidak peduli rakyatnya. Salahkah rakyat marah ? Tapi kenapa rakyat marah, kan suara mereka sudah dibayar putus lima tahun lalu.

Saat ini, Lihatlah, puluhan anggota legislatif yang sudah dan atau masih duduk (satu atau dua periode). Apa sesungguhnya yang sudah mereka lakukan ? Adakah mereka dekat dengan rakyatnya ? Ataukah mereka coba sangat ramah bahkan santun, hanya menjelang pemilu saja ?   Kemudian jadi teringat pepatah Gayo, “Ecek-ecek menanto ate, akale sirung lengkunge dele” (memakai muka palsu, diluar kelihatan baik, tapi ternyata di dalam kebalikannya).

Seperti yang terjadi hari ini, selalu tampak bermanis muka, sok akbrab, soal jadi pahlawan, tapi apa yang mereka lakukan kemudian, adalah kegilaan sesungguhnya sebagai anggota dewan dengan mempertontonkan, aksi ganti mobil, aksi tambah isteri, nambah rumah baru plus pesiar ke luar negeri tiap sebentar ? Lalu Rakyat ? Memangnya mereka pikiri.

Memang tidak semua wakil rakyat menjadikan uang sebagai segalanya. Masih ada diantara mereka yang menjadikan rakyat sumber inspirasinya, sumber ide dan kerja kreatifnya. Mereka selalu berdialoq dan bersama rakyat.

Anggota DPR-RI/ DPD-RI/DPRA/DPRK seperti ini  selalu memiliki konsepnya untuk rakyat. Ia susun perencanaan anggaran pembangunan untuk rakyat. Mereka perjuangkan insfrastruktur dan fasilitas umum, untuk rakyat. Bila ada dana aspirasi pun mereka berikan untuk rakyat. Mereka kritisi eksekutif yang lalai, karena merasa rakyat tak dibela. Mereka tidak selingkuh dengan eksekutif untuk mendzolimi rakyat dan mereka pun siap berseberangan, siap tidak populer, karena memperjuangkan rakyat.

Rakyat,   butuh mereka (anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRA, DPRK) yang amanah, kreatif, punya gagasan, inovator, gigih dan selalu bersama rakyat. Nafas rakyat adalah nafas pejuangan mereka. Tapi adakah mereka ? Jawabnya, bisa "ada" bisa "tidak".

Selama rakyat memilih caleg yang melakukan aksi bayar-bayar ditambah serangan fajar, pasti (sekali lagi) pasti mereka bukanlah wakil yang bisa amanah ?

Akhirnya, kembali berpulang kepada dua belah pihak, membayar (rakyat) untuk duduk sebagai anggota dewan dan menerima bayaran ( caleg ) untuk memilih perwakilan mereka dilembaga legislatif.

Wahai, para calon anggota legislatif, ingat, jangan peroleh kursi DPRRI/DPD-RI/ DPRA/DPRK  dengan cara membayar karena pasti Anda telah memebeli "Kursi Haram" kursi yang sesungguhnya akan memanggangmu di Yaumil Mahshar nanti.

Wahai rakyat, pemegang mandat kekuasaan, jangan engkau gadaikan suaramu hanya untuk amplop yang berisi uang recehan. Karena sesungguhnya engkau telah menyediakan kursi haram kepada mereka (yang terpilih nanti) karena  sesungguhnya, setelah mereka duduik nanti, mereka  akan  mendzolimi-mu.

Berapa kursi haram yang akan tergelar di gedung yang terhormat itu ? Siapa mereka yang akan mendudukinya, sesungguhnya kitalah pelakunya.

Kapur boh jire,

malas nge lepas,

nasal nge munge

(Sesal dahulu pendatang, sesal kemudian tidak berguna)

Untuk itu, jangan "sediakan" kursi-haram. Pilihlah, anak negeri terbaik untuk memimpin negeri ini.

Selamat memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun