Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

New World

Saatnya Kita Harus Berhenti Memuja Digitalisasi?

11 Januari 2025   06:07 Diperbarui: 11 Januari 2025   06:07 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
New World. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dalam beberapa dekade terakhir, digitalisasi telah menjadi mantra yang terus digaungkan di hampir setiap sektor kehidupan. Pemerintah, perusahaan, hingga individu berlomba-lomba untuk mengadopsi teknologi digital dengan harapan meningkatkan efisiensi, memperluas peluang, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik semua janji tersebut, ada bahaya tersembunyi yang perlu kita waspadai. Apakah kita benar-benar membutuhkan digitalisasi dalam setiap aspek kehidupan? Atau, apakah kita telah memuja teknologi tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya?

1. Digitalisasi dan Ketimpangan Sosial

Salah satu dampak paling mencolok dari digitalisasi adalah meningkatnya ketimpangan sosial. Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Masyarakat di daerah terpencil, dengan infrastruktur digital yang terbatas, sering kali tertinggal jauh dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota besar. Ketimpangan ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelompok yang "melek digital" dan kelompok yang tidak. Jika kita terus memuja digitalisasi tanpa memperbaiki aksesibilitasnya, kita justru memperburuk ketidakadilan sosial yang sudah ada.

2. Krisis Privasi di Era Digital

Digitalisasi telah membawa kita pada era di mana data pribadi menjadi komoditas berharga. Tanpa sadar, kita menyerahkan informasi pribadi kepada perusahaan teknologi dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mulai dari riwayat pencarian, lokasi, hingga preferensi belanja, semua data kita dikumpulkan dan dianalisis untuk kepentingan komersial. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, digitalisasi berpotensi menghancurkan privasi individu, menciptakan dunia di mana kebebasan pribadi terancam.

3. Digitalisasi dan Pengangguran Teknologi

Adopsi teknologi digital sering kali dikaitkan dengan efisiensi, tetapi ada harga yang harus dibayar. Di sektor industri, otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menggantikan banyak pekerjaan manusia. Pekerja manual, terutama di sektor manufaktur dan layanan, menjadi korban pertama dari revolusi digital ini. Jika kita tidak hati-hati, digitalisasi dapat menciptakan krisis pengangguran yang signifikan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, di mana banyak pekerjaan masih bergantung pada tenaga manusia.

4. Kehilangan Koneksi Manusiawi

Ironisnya, digitalisasi yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas justru membuat kita semakin terisolasi. Interaksi langsung yang penuh makna digantikan oleh komunikasi berbasis teks atau video call. Media sosial, meskipun menghubungkan kita dengan dunia, sering kali membuat kita merasa lebih kesepian. Ketergantungan pada teknologi ini telah mengikis kualitas hubungan manusia yang seharusnya menjadi inti dari kehidupan bermasyarakat.

5. Konsumerisme Digital yang Tidak Terkendali

Digitalisasi telah mengubah cara kita berbelanja dan mengonsumsi informasi. Platform e-commerce, misalnya, mendorong budaya konsumerisme yang berlebihan. Dengan hanya beberapa klik, kita dapat membeli barang apa pun tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. Akibatnya, kita tidak hanya menghadapi masalah keuangan pribadi, tetapi juga dampak lingkungan akibat produksi dan limbah yang meningkat.

6. Bahaya Ketergantungan pada Teknologi

Semakin banyak aspek kehidupan kita yang dikendalikan oleh teknologi, semakin besar pula risiko ketergantungan yang tidak sehat. Dari pekerjaan hingga pendidikan, kita menjadi semakin bergantung pada platform digital. Ketika teknologi ini mengalami gangguan, kehidupan kita juga ikut terganggu. Ketergantungan semacam ini membuat kita rentan terhadap risiko sistemik yang tidak dapat kita kendalikan.

7. Menemukan Keseimbangan antara Digital dan Analog

Untuk keluar dari jebakan pemujaan digitalisasi, kita perlu kembali pada prinsip dasar: keseimbangan. Tidak semua hal harus didigitalisasi. Ada nilai-nilai dalam interaksi manusia, pekerjaan manual, dan pengalaman analog yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Sebagai masyarakat, kita harus mulai memikirkan kembali di mana dan bagaimana teknologi seharusnya digunakan.

Digitalisasi bukanlah solusi ajaib untuk semua masalah. Meskipun memiliki manfaat yang signifikan, kita juga harus menyadari konsekuensi negatifnya. Berhenti memuja digitalisasi bukan berarti menolak teknologi sepenuhnya, tetapi lebih kepada bersikap kritis dan bijaksana dalam mengadopsinya. Jangan sampai kita menjadi budak teknologi, kehilangan esensi kemanusiaan dalam prosesnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun