Ketergantungan Indonesia terhadap impor alat utama sistem persenjataan (alutsista) telah menjadi sorotan dalam diskursus kebijakan pertahanan dan ekonomi nasional. Di tengah berbagai tantangan geopolitik, kebutuhan akan kemandirian dalam penyediaan alutsista menjadi lebih mendesak. Namun, isu ini bukan hanya tentang pertahanan, melainkan juga peluang besar untuk memberdayakan ekonomi lokal. Swasembada alutsista dapat menjadi katalisator bagi pengembangan industri dalam negeri, transfer teknologi, serta peningkatan daya saing ekonomi lokal di tingkat global.
Mengapa Swasembada Alutsista Penting?
Swasembada alutsista adalah langkah strategis untuk memastikan kedaulatan negara, baik dalam konteks militer maupun ekonomi. Dalam konteks pertahanan, ketergantungan pada negara lain untuk suplai alutsista berisiko menciptakan kerentanan, terutama saat terjadi konflik atau embargo. Namun lebih dari itu, jika dikelola dengan baik, pengembangan industri alutsista dapat menjadi sumber ekonomi baru yang berkontribusi pada pertumbuhan lokal.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengadaan alutsista, di mana sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor. Misalnya, pada dekade terakhir, anggaran pertahanan yang meningkat signifikan digunakan untuk membeli pesawat tempur dari Rusia, kapal perang dari Korea Selatan, dan tank dari Jerman. Ketergantungan semacam ini menciptakan "kebocoran" ekonomi, di mana sebagian besar dana negara dialokasikan ke luar negeri tanpa berdampak signifikan pada industri domestik.
Dengan memprioritaskan swasembada alutsista, Indonesia dapat menciptakan ekosistem industri lokal yang inklusif. Contoh konkret bisa dilihat pada keberhasilan PT Pindad dalam memproduksi panser Anoa dan senjata SS-2, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke negara-negara lain seperti Timor Leste dan beberapa negara Afrika.
Kesuksesan PT Pindad menunjukkan bahwa industri lokal mampu bersaing jika didukung oleh kebijakan yang tepat. Lebih jauh lagi, pengembangan industri alutsista membutuhkan berbagai komponen yang membuka peluang bagi sektor lain, seperti industri baja, elektronik, teknologi informasi, hingga logistik. Sebagai contoh, produksi kapal perang membutuhkan bahan baku baja berkualitas tinggi yang dapat memacu perkembangan industri baja lokal, seperti Krakatau Steel.
Transfer Teknologi: Jembatan ke Depan
Salah satu manfaat besar dari pengembangan alutsista adalah transfer teknologi. Negara-negara maju seperti Korea Selatan telah menunjukkan bahwa kolaborasi dengan perusahaan asing dapat mempercepat penguasaan teknologi lokal. Melalui proyek pembuatan kapal selam bersama Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), Indonesia telah memulai langkah awal ke arah ini.
Namun, transfer teknologi harus dipastikan memberikan manfaat nyata bagi tenaga kerja lokal. Alih-alih hanya menjadi tempat perakitan, Indonesia perlu memastikan bahwa proses produksi melibatkan insinyur dan pekerja lokal. Dengan demikian, penguasaan teknologi dapat diperluas dan diterapkan pada sektor lain, seperti transportasi atau energi terbarukan.
Tantangan yang Harus Diatasi