Membangun swasembada dalam industri pertahanan adalah misi strategis yang menjanjikan kemandirian dan keamanan nasional yang berkelanjutan. Namun, di balik ambisi besar ini, terdapat berbagai risiko yang dapat menghambat, bahkan mengancam keberlangsungan jangka panjang dari industri tersebut. Mengelola risiko secara efektif adalah hal mendasar yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa investasi dan upaya yang dilakukan benar-benar menghasilkan sistem pertahanan yang mandiri dan tahan lama.
Kompleksitas dan Tantangan dalam Mengelola Risiko Swasembada Pertahanan
Risiko dalam swasembada industri pertahanan dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ketergantungan pada komponen impor, kendala teknis dan sumber daya, hingga risiko geopolitik yang berubah-ubah. Pengembangan teknologi canggih sering kali bergantung pada pasokan komponen atau material dari negara-negara tertentu, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber ketergantungan baru. Sebagai contoh, India yang telah lama mengupayakan kemandirian di sektor pertahanan, mengalami hambatan ketika sanksi internasional terhadap Rusia mengganggu rantai pasokan komponen militer yang penting.
Untuk Indonesia, mengurangi ketergantungan pada komponen impor bisa menjadi tantangan besar namun penting. Pendekatan yang dapat diambil meliputi diversifikasi sumber material dan memprioritaskan penggunaan sumber daya lokal. Dengan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global, Indonesia akan lebih mampu menghadapi krisis pasokan di masa depan, baik yang disebabkan oleh konflik politik maupun perubahan ekonomi global.
Risiko Finansial dan Keberlanjutan Investasi: Menyelaraskan Dana dengan Prioritas
Industri pertahanan menuntut dana yang besar, dan setiap proyek atau program membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Risiko finansial menjadi faktor krusial yang perlu dikelola dengan teliti untuk mencegah pemborosan atau kegagalan investasi. Salah satu strategi untuk mengurangi risiko ini adalah dengan menetapkan prioritas pada program-program yang memiliki nilai strategis tinggi dan dampak jangka panjang. Alih-alih menyebarkan dana secara merata, lebih bijaksana untuk fokus pada pengembangan teknologi atau produk pertahanan yang sangat dibutuhkan dan relevan dengan situasi keamanan nasional.
Pemerintah negara-negara seperti I*** menunjukkan keberhasilan dengan menyusun anggaran pertahanan yang efisien dan fokus pada teknologi yang memiliki keunggulan strategis. I*** berfokus pada pengembangan sistem-sistem pertahanan canggih, seperti Iron Dome dan teknologi intelijen, yang terbukti sangat relevan dengan tantangan keamanan yang mereka hadapi. Pendekatan ini memastikan bahwa dana yang dialokasikan menghasilkan manfaat maksimal. Indonesia dapat meniru langkah ini dengan merumuskan strategi investasi yang fokus pada area teknologi yang memiliki relevansi strategis dan peluang komersial jangka panjang, seperti drone untuk pengawasan maritim atau sistem radar dalam pengawasan wilayah perbatasan.
Mengatasi Risiko Teknologi: Inovasi dan Adaptasi sebagai Solusi
Pengembangan teknologi pertahanan tidak hanya memerlukan biaya yang besar tetapi juga memerlukan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan teknologi. Risiko kegagalan teknologi selalu ada, terutama di sektor pertahanan di mana setiap komponen harus melalui pengujian ketat. Salah satu cara untuk mengurangi risiko ini adalah dengan menerapkan pendekatan yang fleksibel dan adaptif, di mana inovasi diutamakan dan proses produksi bisa disesuaikan sesuai perubahan kebutuhan.
China menjadi contoh penting dalam hal ini. Sebagai salah satu negara yang memproduksi sebagian besar kebutuhan militernya sendiri, China berhasil mengembangkan teknologi militer yang kompetitif dengan negara-negara Barat melalui pendekatan inovasi yang cepat dan berkelanjutan. Sistem ini memungkinkan mereka untuk terus memperbarui teknologi sesuai dengan tren global, meski pada awalnya mereka mengadopsi teknologi dari luar. Di Indonesia, strategi serupa bisa diterapkan dengan mendukung program riset dan pengembangan yang bersifat inovatif dan cepat beradaptasi, baik melalui kerja sama dengan universitas maupun perusahaan teknologi dalam negeri. Langkah ini penting untuk membangun basis pengetahuan dan teknologi dalam negeri yang mandiri dan tidak terlalu bergantung pada inovasi asing.
Risiko Sumber Daya Manusia: Pengembangan Kompetensi dan Penguatan Kelembagaan
Swasembada industri pertahanan membutuhkan tenaga ahli yang kompeten dan berpengalaman. Namun, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki keahlian spesifik dalam teknologi pertahanan sering kali menjadi hambatan tersendiri. Risiko ini dapat diminimalisir dengan memperkuat lembaga-lembaga pendidikan yang berfokus pada teknologi militer dan keamanan nasional, serta memberikan pelatihan berkelanjutan bagi para ahli pertahanan.
Jerman menjadi contoh negara yang sukses membangun sistem pelatihan yang terintegrasi dengan kebutuhan industri pertahanannya. Dengan mengembangkan institusi pendidikan khusus yang mempersiapkan tenaga kerja sesuai kebutuhan industri pertahanan, Jerman berhasil membentuk ekosistem industri yang mandiri dan kompetitif. Indonesia dapat mengembangkan program pelatihan serupa, yang diintegrasikan dengan riset industri, sehingga lulusan memiliki kemampuan teknis yang sesuai dengan kebutuhan swasembada pertahanan nasional.
Pengelolaan Risiko Geopolitik: Diplomasi dan Diversifikasi Pasar
Risiko geopolitik adalah faktor yang tidak dapat dihindari dalam industri pertahanan. Ketergantungan pada negara tertentu atau pasar tertentu dapat membawa dampak besar saat terjadi perubahan dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, diversifikasi hubungan ekonomi dan aliansi strategis dengan berbagai negara menjadi salah satu solusi untuk mengurangi risiko ini. Dengan memiliki pasar yang lebih luas dan kerja sama dengan banyak pihak, Indonesia bisa lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan geopolitik yang mungkin berdampak pada rantai pasok industri pertahanan.
Turki, misalnya, melakukan diversifikasi kerja sama internasional untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan industri pertahanannya. Meskipun Turki memiliki kemitraan dengan NATO, negara ini juga menjalin hubungan strategis dengan negara-negara Asia dan Timur Tengah dalam upaya memperluas pasar ekspor pertahanannya. Langkah ini menjaga industri pertahanan Turki tetap tangguh, meskipun menghadapi ketegangan politik dengan beberapa mitra NATO. Indonesia bisa mengadopsi model serupa, dengan memperkuat hubungan diplomatik dan pasar di Asia Tenggara serta kawasan lainnya untuk membentuk jaringan yang mendukung stabilitas rantai pasok pertahanan.
Memperkuat Dasar Swasembada Pertahanan yang Berkelanjutan
Swasembada industri pertahanan adalah pilar penting bagi keberlanjutan dan kedaulatan nasional, namun juga memerlukan pendekatan yang hati-hati dalam mengelola berbagai risiko yang melekat. Risiko finansial, teknologi, sumber daya manusia, dan geopolitik memerlukan strategi pengelolaan yang beragam namun saling melengkapi untuk menciptakan industri pertahanan yang tangguh dan berdaya saing tinggi.
Melalui perencanaan yang tepat, investasi yang strategis, serta pengelolaan risiko yang terstruktur, Indonesia memiliki peluang untuk mewujudkan kemandirian di sektor pertahanan yang tidak hanya berdampak pada kekuatan militer, tetapi juga membawa dampak positif pada pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam negeri. Dengan demikian, upaya swasembada industri pertahanan tidak sekadar menciptakan ketahanan nasional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di arena internasional, membuka peluang ekspor, dan meningkatkan daya saing teknologi dalam negeri. Strategi pengelolaan risiko yang holistik dan berkelanjutan akan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil menuju swasembada industri pertahanan membawa hasil yang bermanfaat dalam jangka panjang bagi keamanan dan kemajuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H