Dalam beberapa tahun terakhir, dunia mengalami berbagai tantangan ekonomi, termasuk dampak pandemi COVID-19, ketidakpastian politik, dan fluktuasi harga energi. Perubahan ini telah mengubah cara bank sentral menetapkan suku bunga acuan. Misalnya, banyak bank sentral di seluruh dunia mengadopsi kebijakan suku bunga rendah sebagai respons terhadap krisis ekonomi akibat pandemi. Namun, dengan meningkatnya inflasi global, banyak bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga untuk mengendalikan harga.
Ketidakpastian ini menciptakan dilema bagi pembuat kebijakan. Di satu sisi, menaikkan suku bunga diperlukan untuk menstabilkan inflasi. Di sisi lain, kebijakan tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghambat upaya untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang seimbang dalam pengaturan suku bunga acuan, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan dan stabilitas.
Komparasi Negara Maju dan Negara Berkembang
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, suku bunga acuan sering kali digunakan untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bank sentral di negara maju telah menerapkan kebijakan suku bunga rendah untuk merangsang pertumbuhan pasca krisis keuangan 2008. Misalnya, Federal Reserve di AS mempertahankan suku bunga mendekati nol untuk waktu yang lama guna mendorong pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, memiliki dinamika yang berbeda. Suku bunga acuan di negara-negara ASEAN sering kali dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk aliran modal internasional dan fluktuasi nilai tukar. Sebagai contoh, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menyesuaikan suku bunga acuan dengan kondisi ekonomi domestik dan global. Ketika inflasi meningkat akibat lonjakan harga bahan pangan atau energi, Bank Indonesia cenderung menaikkan suku bunga untuk mengendalikan laju inflasi.
Stabilitas Ekonomi dan Pertumbuhan Inklusif
Stabilitas ekonomi adalah fondasi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Suku bunga acuan yang tepat dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi. Ketika bank sentral mengelola suku bunga dengan bijak, mereka dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi. Namun, tantangan muncul ketika fluktuasi ekonomi global memengaruhi stabilitas ekonomi domestik.
Di negara-negara maju, pertumbuhan inklusif seringkali tercapai melalui kebijakan yang mengedepankan redistribusi pendapatan dan perlindungan sosial. Misalnya, negara-negara Skandinavia menerapkan sistem perpajakan progresif dan jaminan sosial yang kuat untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Di ASEAN, termasuk Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menjaga pertumbuhan yang inklusif di tengah perbedaan struktur ekonomi dan tingkat kemiskinan yang bervariasi.
Kasus Indonesia: Peluang dan Tantangan
Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, menghadapi tantangan yang unik dalam mengelola suku bunga acuan dan mencapai pertumbuhan inklusif. Meskipun Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam dua dekade terakhir, ketidaksetaraan masih menjadi isu besar. Dalam konteks ini, suku bunga acuan berperan penting dalam menciptakan akses yang lebih baik terhadap pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah (UKM), yang merupakan pendorong utama pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
Namun, penting untuk dicatat bahwa penetapan suku bunga acuan yang terlalu tinggi dapat membatasi akses UKM terhadap kredit. Bank Indonesia perlu menemukan keseimbangan antara mengendalikan inflasi dan memastikan akses kredit yang cukup bagi sektor riil. Kebijakan suku bunga yang fleksibel dan responsif terhadap kondisi ekonomi dapat membantu menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan mendorong pertumbuhan inklusif.