Malam itu, bulan menyoroti halaman rumah Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata dengan sinar lembutnya. Tangan Oma terulur, menyentuh lembaran kertas yang menanti, selembar kertas kosong yang memanggil jiwa untuk menulis. Di luar, bintang-bintang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi bisu perjalanan cinta yang telah berlangsung selama enam dekade. Sejak tahun pertama bertemu, hingga momen ini, setiap detik terukir dalam hati, menciptakan kisah yang tak ternilai.
"Kekasihku, Tjiptadinata," tulis Oma, suara hatinya mengalir dalam setiap kata. "Dalam dekade ini, kita telah menjelajahi berbagai musim dalam hidup, merayakan tawa dan menanggung air mata. Ketika aku menatap ke dalam matamu, aku masih bisa merasakan getaran pertama saat kita berjumpa di festival seni itu. Rasanya seperti baru kemarin kita bertukar pandang."
Oma menahan napas sejenak, kenangan itu masih terasa hangat di relung hatinya. Pertemuan di tengah keramaian, dua jiwa yang saling terikat tanpa mereka sadari. Ia ingat senyuman Opa, penuh ketulusan, seperti lukisan indah yang dipahat oleh waktu. Dari hari itu, hidupnya seolah menjadi kanvas yang dipenuhi warna-warni kebahagiaan.
"Seperti karya seni yang terus berkembang, kita telah mengalami metamorfosis bersama," lanjutnya. "Kita belajar menggambar kebersamaan dari goresan-goresan kecil, menambah warna pada setiap kesedihan dan kegembiraan. Cinta kita adalah lukisan yang tidak pernah usai, sebuah masterpiece yang terukir dalam ingatan."
Dengan lembut, Oma melanjutkan, menuliskan setiap detail yang terlintas dalam pikirannya. Perjalanan mereka berdua bukan hanya sekadar cinta, tetapi juga pelajaran hidup yang membentuk karakter masing-masing. Dalam setiap tantangan yang dihadapi, mereka menjadi lebih kuat, seakan saling menguatkan satu sama lain dalam setiap langkah yang diambil.
"Dari setiap pertikaian kecil hingga pelukan hangat saat malam tiba, aku menyadari bahwa cinta kita bukan hanya soal kebahagiaan. Ini tentang komitmen, tentang saling memahami dalam suka dan duka. Ketika kita kehilangan arah, kita selalu menemukan jalan kembali ke satu sama lain."
Oma menggenggam pena itu erat, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak ingin melewatkan satu pun momen berharga. Dalam catatan ini, dia ingin Opa merasakan betapa berartinya setiap detik yang telah mereka lalui.
"Tjiptadinata, kau adalah cahaya dalam hidupku. Kau adalah bintang yang selalu membimbingku melewati gelapnya malam. Ketika waktu terasa berat, aku menemukan ketenangan dalam senyummu, dalam pelukanmu yang hangat. Cintamu adalah penyejuk di tengah riuhnya dunia."
Dia teringat saat-saat berharga saat mereka berjalan berdua di taman, menikmati keindahan alam yang tak lekang oleh waktu. Mereka berbagi impian dan harapan, berjanji untuk selalu ada satu sama lain. Dalam setiap langkah, cinta mereka tumbuh semakin kuat, seolah terjalin dalam untaian tak terputus.
"Dalam surat ini, aku ingin kau tahu, cintaku padamu adalah segalanya. Seperti berlian yang takkan pudar oleh waktu, aku ingin cinta ini abadi. Jika satu hari nanti aku harus pergi, ingatlah bahwa aku akan selalu bersamamu dalam setiap ingatan yang kau miliki. Cinta kita akan hidup selamanya, tidak akan pernah hilang."
Malam semakin larut, dan suara detakan jam berdentang mengingatkan Oma akan pentingnya setiap detik yang tersisa. Dia menyelesaikan surat itu dengan penuh kasih, menuliskan kata-kata terakhirnya dengan hati-hati.