Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata: Surat Pengabadi Waktu

10 Oktober 2024   09:24 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:43 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu langit terlihat berpendar lembut, seolah alam ikut berbisik dalam senyap. Sebuah pesta pernikahan berlian tengah berlangsung, bukan di gedung megah dengan dekorasi yang membeludak, melainkan di hati dua sosok yang telah berjalan bersama selama enam puluh tahun. Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata sedang merayakan cinta yang tak lekang oleh waktu. Enam dekade, dengan segala suka dan duka, tawa dan tangis, mengukir cerita yang lebih dalam dari goresan cat di atas kanvas.

Opa Tjiptadinata duduk di sudut ruang tamu, dikelilingi anak cucu yang riang. Namun, pikirannya melayang jauh, melampaui batas-batas percakapan yang terdengar. Tangannya menggenggam pena tua, pena yang telah lama tidak disentuh. Di atas meja, selembar kertas kosong menanti goresan tangan, seolah memanggilnya untuk menulis sesuatu yang penting. Ia terdiam sejenak, menarik napas panjang, dan mulai menulis.

"Untuk Roselina, cintaku yang abadi," demikian ia memulai surat itu.

Surat yang telah lama ingin ditulisnya. Surat di ujung waktu, surat yang ia tahu suatu hari akan dibaca ketika ia sudah tak lagi ada. Tinta hitam yang ia gunakan menari dengan pelan di atas kertas, seperti aliran sungai yang tenang namun penuh makna.

"Kau ingat hari pertama kita bertemu? Waktu itu, aku tidak pernah berpikir bahwa kita akan sampai sejauh ini. Kau begitu indah dengan cara yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata. Tidak ada lukisan yang mampu meniru kecantikanmu, dan tidak ada puisi yang sanggup menggambarkan perasaanku saat itu."

Pena berhenti sejenak. Opa tersenyum tipis. Kenangan tentang pertemuan pertama itu masih begitu hidup di benaknya. Kala itu, ia hanya seorang pemuda yang baru meraba dunia, sedang Roselina sudah memancarkan aura anggun yang membuatnya tersihir. Mereka bertemu di sebuah pameran seni kecil di kota yang tenang, sebuah pertemuan sederhana yang mengubah seluruh hidupnya.

"Enam puluh tahun bersama bukanlah waktu yang singkat, tapi anehnya, terasa seperti kemarin kita baru memulai. Aku belajar banyak tentang cinta darimu. Bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang bertahan, memberi, dan menerima. Kau adalah karya seni terhebat yang pernah hadir dalam hidupku, Roselina."

Kata-kata mengalir perlahan, seiring dengan detak jantungnya yang semakin pelan. Opa tahu, waktu tidak akan selalu berpihak padanya. Tapi ia yakin, meski tubuh ini lelah, cinta yang ia miliki untuk Roselina akan terus ada, bahkan melampaui batas kehidupan.

Oma Roselina duduk di dekat jendela, matanya menerawang ke luar, menyaksikan bulan yang perlahan naik. Ia merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh alam, seolah malam ini memiliki arti khusus. Ia menatap Opa dari kejauhan, lelaki yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari setengah abad. Di matanya, Opa adalah sosok yang tak tergantikan. Mereka telah melalui banyak hal bersama. Setiap kerutan di wajah mereka adalah bukti dari setiap langkah yang pernah mereka lalui---saksi dari hari-hari penuh cinta dan perjuangan.

Di setiap peristiwa, Roselina selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan hatinya. Dalam dunia yang terus berubah, mereka berdua menjadi jangkar satu sama lain, memastikan cinta mereka tetap kokoh meski diterpa badai waktu. Dunia seni juga terus berkembang, dengan diskusi dan teori baru tentang estetika dan makna yang bermunculan. Namun, bagi Oma, seni sejati adalah kehidupan itu sendiri, dan cinta adalah ekspresi tertingginya.

"Roselina, mungkin aku tak selalu mengatakannya dengan kata-kata, tapi cintaku padamu tidak pernah pudar. Setiap hari bersamamu adalah pelajaran baru tentang kesetiaan, tentang menerima dengan ikhlas, dan tentang memberi dengan tulus. Kau adalah berlian dalam hidupku, memancarkan cahaya di tengah segala kegelapan."

Di ujung surat itu, Opa menulis kalimat terakhir yang paling ia ingin sampaikan, sebuah pesan yang akan hidup lebih lama dari fisiknya sendiri.

"Jika suatu hari aku harus pergi lebih dulu, ingatlah bahwa cintaku tidak pernah hilang. Aku akan selalu ada di setiap embun pagi yang menyapa kulitmu, di setiap angin yang membelai rambutmu, dan di setiap sinar matahari yang menghangatkanmu. Waktu mungkin akan memisahkan kita, tapi cinta ini akan abadi, seperti berlian yang tak pernah pudar."

Surat itu ia lipat rapi dan disimpan di dalam laci, di tempat yang Oma pasti akan menemukannya. Malam itu, Opa dan Oma kembali duduk bersama di teras, di bawah bintang-bintang yang bersinar terang. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Cukup dengan saling merasakan kehadiran, mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ungkapan verbal.

Waktu terus bergulir, seperti lukisan yang belum selesai di atas kanvas besar. Tapi bagi Opa dan Oma, hidup mereka sudah menjadi karya seni yang utuh. Setiap sapuan warna, setiap goresan kuas, setiap perbaikan dan tambalan adalah bagian dari sebuah masterpiece yang penuh makna.

Surat itu akan menunggu, seperti kenangan yang tidak pernah terlupakan. Dan ketika akhirnya waktu itu tiba, Oma akan membacanya dengan hati yang penuh cinta, mengingat kembali setiap momen indah yang telah mereka lalui bersama. Sebuah surat di ujung waktu, bukan sekadar pesan perpisahan, tapi pernyataan cinta yang abadi, yang tidak pernah mengenal batas.

"Cinta tidak pernah hilang," bisik Oma suatu ketika, mengenang kata-kata Opa. Dan memang benar, cinta mereka, seperti berlian, akan terus berkilau, meskipun waktu telah lama berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun