Di ujung surat itu, Opa menulis kalimat terakhir yang paling ia ingin sampaikan, sebuah pesan yang akan hidup lebih lama dari fisiknya sendiri.
"Jika suatu hari aku harus pergi lebih dulu, ingatlah bahwa cintaku tidak pernah hilang. Aku akan selalu ada di setiap embun pagi yang menyapa kulitmu, di setiap angin yang membelai rambutmu, dan di setiap sinar matahari yang menghangatkanmu. Waktu mungkin akan memisahkan kita, tapi cinta ini akan abadi, seperti berlian yang tak pernah pudar."
Surat itu ia lipat rapi dan disimpan di dalam laci, di tempat yang Oma pasti akan menemukannya. Malam itu, Opa dan Oma kembali duduk bersama di teras, di bawah bintang-bintang yang bersinar terang. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Cukup dengan saling merasakan kehadiran, mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ungkapan verbal.
Waktu terus bergulir, seperti lukisan yang belum selesai di atas kanvas besar. Tapi bagi Opa dan Oma, hidup mereka sudah menjadi karya seni yang utuh. Setiap sapuan warna, setiap goresan kuas, setiap perbaikan dan tambalan adalah bagian dari sebuah masterpiece yang penuh makna.
Surat itu akan menunggu, seperti kenangan yang tidak pernah terlupakan. Dan ketika akhirnya waktu itu tiba, Oma akan membacanya dengan hati yang penuh cinta, mengingat kembali setiap momen indah yang telah mereka lalui bersama. Sebuah surat di ujung waktu, bukan sekadar pesan perpisahan, tapi pernyataan cinta yang abadi, yang tidak pernah mengenal batas.
"Cinta tidak pernah hilang," bisik Oma suatu ketika, mengenang kata-kata Opa. Dan memang benar, cinta mereka, seperti berlian, akan terus berkilau, meskipun waktu telah lama berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H