Malam itu langit terlihat berpendar lembut, seolah alam ikut berbisik dalam senyap. Sebuah pesta pernikahan berlian tengah berlangsung, bukan di gedung megah dengan dekorasi yang membeludak, melainkan di hati dua sosok yang telah berjalan bersama selama enam puluh tahun. Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata sedang merayakan cinta yang tak lekang oleh waktu. Enam dekade, dengan segala suka dan duka, tawa dan tangis, mengukir cerita yang lebih dalam dari goresan cat di atas kanvas.
Opa Tjiptadinata duduk di sudut ruang tamu, dikelilingi anak cucu yang riang. Namun, pikirannya melayang jauh, melampaui batas-batas percakapan yang terdengar. Tangannya menggenggam pena tua, pena yang telah lama tidak disentuh. Di atas meja, selembar kertas kosong menanti goresan tangan, seolah memanggilnya untuk menulis sesuatu yang penting. Ia terdiam sejenak, menarik napas panjang, dan mulai menulis.
"Untuk Roselina, cintaku yang abadi," demikian ia memulai surat itu.
Surat yang telah lama ingin ditulisnya. Surat di ujung waktu, surat yang ia tahu suatu hari akan dibaca ketika ia sudah tak lagi ada. Tinta hitam yang ia gunakan menari dengan pelan di atas kertas, seperti aliran sungai yang tenang namun penuh makna.
"Kau ingat hari pertama kita bertemu? Waktu itu, aku tidak pernah berpikir bahwa kita akan sampai sejauh ini. Kau begitu indah dengan cara yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata. Tidak ada lukisan yang mampu meniru kecantikanmu, dan tidak ada puisi yang sanggup menggambarkan perasaanku saat itu."
Pena berhenti sejenak. Opa tersenyum tipis. Kenangan tentang pertemuan pertama itu masih begitu hidup di benaknya. Kala itu, ia hanya seorang pemuda yang baru meraba dunia, sedang Roselina sudah memancarkan aura anggun yang membuatnya tersihir. Mereka bertemu di sebuah pameran seni kecil di kota yang tenang, sebuah pertemuan sederhana yang mengubah seluruh hidupnya.
"Enam puluh tahun bersama bukanlah waktu yang singkat, tapi anehnya, terasa seperti kemarin kita baru memulai. Aku belajar banyak tentang cinta darimu. Bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang bertahan, memberi, dan menerima. Kau adalah karya seni terhebat yang pernah hadir dalam hidupku, Roselina."
Kata-kata mengalir perlahan, seiring dengan detak jantungnya yang semakin pelan. Opa tahu, waktu tidak akan selalu berpihak padanya. Tapi ia yakin, meski tubuh ini lelah, cinta yang ia miliki untuk Roselina akan terus ada, bahkan melampaui batas kehidupan.
Oma Roselina duduk di dekat jendela, matanya menerawang ke luar, menyaksikan bulan yang perlahan naik. Ia merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh alam, seolah malam ini memiliki arti khusus. Ia menatap Opa dari kejauhan, lelaki yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari setengah abad. Di matanya, Opa adalah sosok yang tak tergantikan. Mereka telah melalui banyak hal bersama. Setiap kerutan di wajah mereka adalah bukti dari setiap langkah yang pernah mereka lalui---saksi dari hari-hari penuh cinta dan perjuangan.
Di setiap peristiwa, Roselina selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan hatinya. Dalam dunia yang terus berubah, mereka berdua menjadi jangkar satu sama lain, memastikan cinta mereka tetap kokoh meski diterpa badai waktu. Dunia seni juga terus berkembang, dengan diskusi dan teori baru tentang estetika dan makna yang bermunculan. Namun, bagi Oma, seni sejati adalah kehidupan itu sendiri, dan cinta adalah ekspresi tertingginya.
"Roselina, mungkin aku tak selalu mengatakannya dengan kata-kata, tapi cintaku padamu tidak pernah pudar. Setiap hari bersamamu adalah pelajaran baru tentang kesetiaan, tentang menerima dengan ikhlas, dan tentang memberi dengan tulus. Kau adalah berlian dalam hidupku, memancarkan cahaya di tengah segala kegelapan."