Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata : 60 Tahun Menyatu

10 Oktober 2024   03:31 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:50 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Di sudut ruangan, di bawah sinar lampu temaram, sepasang tangan berkerut saling bertaut. Jemari yang dahulu kuat, kini digerakkan oleh kenangan, oleh cinta yang telah bertahan selama enam dekade. Tjiptadinata Effendi, pria yang selalu berbicara dengan ketegasan di wajahnya, duduk diam, matanya menatap Roselina, wanita yang sejak dahulu menjadi mataharinya, pusat dari dunianya yang tak pernah redup.

Dunia di luar terus berubah. Mobil yang berderu di jalanan, gedung-gedung yang menjulang, dan segala hiruk-pikuk kehidupan modern yang terkadang asing di telinga mereka. Namun, di dalam hati mereka, di dalam ruang yang mereka bangun bersama selama enam puluh tahun, ada kedamaian yang tak tergoyahkan oleh arus waktu. Sebuah dunia yang mereka ciptakan dengan tangan sendiri---sebuah cinta yang tak terpisahkan, mengalir seperti sungai yang tenang.

Di awal perjalanan hidup, ada kegembiraan sederhana. Mereka bertemu di sebuah pertemuan keluarga. Saat itu, dunia terlihat jauh lebih lambat. Roselina mengenakan kebaya putih dengan bordiran emas di tepiannya. Pandangannya lurus, dengan senyum yang lembut, seolah alam semesta menaruh kepercayaan pada wanita ini untuk menjaga ketenangan. Tjiptadinata yang saat itu masih muda, terpikat oleh keteguhan dan kelembutan dalam satu sosok.

Tidak ada yang dapat menghentikan waktu. Satu demi satu tahun berlalu. Di tahun-tahun pertama, cinta masih bergetar dengan semangat yang menyala. Membangun keluarga, merawat anak-anak yang tumbuh besar, membimbing mereka menjadi pribadi yang kuat. Setiap hari adalah perjalanan bersama, diwarnai oleh peluh dan tawa.

Namun, cinta mereka tidak hanya ada dalam kebahagiaan. Ada badai yang datang tanpa aba-aba. Ketika krisis ekonomi menghantam, usaha keluarga goyah. Roselina menahan isak tangis saat malam tiba, namun di siang hari, ia tetap berdiri dengan teguh, memegang erat tangan suaminya. Ada saat di mana pilihan hidup seolah membentur tembok, namun cinta mereka menjadi peta yang menuntun mereka keluar dari kebingungan.

Perjalanan ini adalah tentang kebersamaan yang menemukan bentuk baru seiring waktu. Di usia senja, ketika rambut telah memutih dan langkah mulai melambat, cinta mereka bukan lagi tentang gairah yang membara, tetapi tentang ketenangan yang mendalam, tentang pengertian tanpa perlu kata-kata. Pandangan mereka bertemu dalam keheningan, dan dalam diam itu, semua rasa telah terucap tanpa suara.

Anak-anak mereka telah dewasa, memiliki kehidupan sendiri. Setiap kali mereka berkumpul di rumah tua itu, suasana hangat selalu menyelimuti. Cucu-cucu yang berlarian, suara tawa yang bergema, dan di tengah semua itu, Opa Tjiptadinata dan Oma Roselina duduk di kursi yang sama, saling tersenyum sambil memandang semua hasil jerih payah mereka. Kebahagiaan yang sederhana, namun lebih dari cukup untuk mengisi hati yang telah lama bersama.

Ada sebuah rahasia yang tersembunyi dalam cinta yang bertahan selama enam puluh tahun. Bukan rahasia yang mudah diucapkan, tapi sesuatu yang dirasakan---sebuah kepercayaan yang tak tergoyahkan, sebuah janji yang dipegang erat. Mereka adalah dua individu yang berbeda, namun dalam kebersamaan, mereka telah menemukan cara untuk saling melengkapi, seperti dua helai daun yang melayang bersama di udara, berputar dan melambai, namun selalu jatuh di tempat yang sama.

Malam itu, di perayaan enam puluh tahun pernikahan mereka, semua mata tertuju pada pasangan yang duduk di depan. Semua yang hadir tahu bahwa mereka bukan hanya merayakan waktu, tetapi sebuah perjalanan cinta yang tak terukur oleh angka. Ketika Tjiptadinata memegang tangan Roselina, ada kilatan kecil di mata mereka---sebuah isyarat bahwa cinta itu masih ada, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

Cinta itu telah menjadi bagian dari jalinan hidup mereka, seperti benang yang tenunannya tak terputus, semakin rapat dan semakin kuat seiring waktu. Tidak ada yang dapat memisahkan cinta ini, karena ia telah menjadi satu dengan jiwa mereka, menyatu dalam setiap detak, dalam setiap napas yang mereka hirup bersama.

"Terima kasih," bisik Tjiptadinata dengan suara parau, penuh perasaan. "Untuk semuanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun