Salah satu tantangan terbesar dalam merger adalah menyatukan budaya kerja dari dua entitas yang berbeda. Misalnya, perusahaan yang memiliki gaya manajemen yang sangat hirarkis akan kesulitan beradaptasi dengan perusahaan yang lebih fleksibel dan informal. Ketidakcocokan budaya ini sering kali mengarah pada disintegrasi tim, penurunan moral karyawan, dan bahkan gelombang pengunduran diri.
Menurut survei dari McKinsey & Company, integrasi budaya adalah faktor nomor satu yang berkontribusi pada keberhasilan atau kegagalan merger. Jika manajemen tidak mampu mengelola perbedaan budaya ini dengan baik, maka sinergi yang diharapkan dari merger sulit tercapai.
2. Penggabungan Teknologi
Di era digital, integrasi teknologi juga menjadi tantangan besar dalam merger. Perusahaan yang memiliki infrastruktur teknologi yang berbeda sering kali menghadapi masalah dalam menyatukan sistem operasi, basis data, dan perangkat lunak. Ketidakmampuan untuk mengintegrasikan teknologi ini dapat mengakibatkan inefisiensi, hilangnya data, hingga penurunan kualitas layanan kepada pelanggan.
Contoh nyata dari kegagalan dalam integrasi teknologi terjadi pada merger antara Sprint dan Nextel pada tahun 2005. Meskipun merger ini bertujuan untuk menciptakan raksasa telekomunikasi, ketidakcocokan antara dua sistem jaringan mereka akhirnya mengakibatkan gangguan besar dalam layanan, yang pada akhirnya berkontribusi pada kegagalan merger.
3. Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia juga memainkan peran penting dalam keberhasilan merger. Dalam banyak kasus, perusahaan yang melakukan merger sering kali menghadapi redundansi di berbagai posisi, yang dapat memicu pemutusan hubungan kerja. Jika manajemen tidak bijaksana dalam menangani isu ini, ketidakpuasan karyawan dapat menjadi faktor besar yang menghambat proses integrasi.
Menurut penelitian dari Bain & Company, manajemen yang kurang efisien dalam mengatasi isu sumber daya manusia setelah merger akan mengalami penurunan produktivitas. Karyawan yang merasa tidak aman dengan masa depan mereka di perusahaan cenderung mengalami penurunan motivasi, yang pada akhirnya berdampak pada keseluruhan kinerja perusahaan.
4. Penilaian Nilai dan Ekspektasi yang Tidak Realistis
Sering kali, kegagalan merger juga disebabkan oleh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap nilai sinergi yang dihasilkan. Manajemen sering kali overestimasi terhadap potensi pertumbuhan atau efisiensi yang dapat dicapai melalui merger, sementara underestimate terhadap biaya yang diperlukan untuk proses integrasi. Hal ini menyebabkan perusahaan menghadapi kesulitan finansial yang berujung pada kerugian jangka panjang.
Sebagai contoh, merger antara Daimler-Benz dan Chrysler pada tahun 1998 dengan tujuan menciptakan salah satu perusahaan otomotif terbesar di dunia ternyata berujung pada kerugian besar. Daimler dan Chrysler tidak berhasil mencapai sinergi yang diharapkan, dan akhirnya keduanya berpisah beberapa tahun kemudian.