Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Robohisasi Ekonomi, Apakah Pertumbuhan Ekonomi Selalu Harus Mengorbankan Lingkungan?

23 September 2024   11:38 Diperbarui: 23 September 2024   11:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembangunan ekonomi kerap kali dilihat sebagai motor penggerak utama kemajuan suatu bangsa. Melalui pertumbuhan ekonomi, negara-negara dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur. Namun, di balik kemajuan tersebut, sering muncul perdebatan yang tak terelakkan: apakah pertumbuhan ekonomi harus selalu dibayar dengan pengorbanan lingkungan? Fenomena ini, Kita sebut saja sebagai "robohisasi ekonomi," merujuk pada proses pertumbuhan ekonomi yang diiringi oleh degradasi lingkungan yang signifikan. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji apakah robohisasi merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan atau sekadar akibat dari pilihan kebijakan yang keliru.

Robohisasi Ekonomi: Definisi dan Dinamika

Istilah robohisasi dalam konteks ekonomi mengacu pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis. Di Indonesia, contohnya, robohisasi sering terjadi melalui penebangan hutan secara luas, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, atau ekstraksi tambang yang masif. Dalam jangka pendek, aktivitas-aktivitas ini dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang tinggi, seperti peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Namun, dampak jangka panjangnya, seperti penurunan kualitas lingkungan hidup, sering kali diabaikan.

Salah satu contoh nyata dari robohisasi ekonomi adalah percepatan pembangunan infrastruktur di kawasan hutan hujan tropis. Demi membuka jalan bagi perluasan perkebunan atau pertambangan, hutan-hutan ditebang dengan kecepatan yang tak terkendali. Di Kalimantan, misalnya, robohisasi melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya ribuan hektar hutan setiap tahun. Padahal, hutan-hutan ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami yang esensial untuk menanggulangi perubahan iklim. Hilangnya hutan ini bukan hanya berkontribusi pada peningkatan emisi karbon, tetapi juga mempercepat kepunahan berbagai spesies yang hidup di dalamnya.

Lingkungan Sebagai Korban Utama

Dalam model pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan eksploitasi sumber daya alam, lingkungan sering kali menjadi korban utama. Para pelaku ekonomi lebih memfokuskan diri pada keuntungan jangka pendek yang diperoleh dari aktivitas seperti penebangan hutan atau penambangan, sementara biaya ekologis yang muncul cenderung diabaikan. Fenomena ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari tragedy of the commons, di mana sumber daya alam yang bersifat bersama---seperti hutan, sungai, dan udara---dieksploitasi secara berlebihan oleh berbagai pihak tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan secara keseluruhan.

Hilangnya hutan tropis, degradasi tanah, dan polusi air yang terjadi akibat robohisasi ekonomi menyebabkan rusaknya layanan ekosistem yang selama ini kita nikmati secara gratis. Padahal, tanpa ekosistem yang sehat, pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan sulit dipertahankan. Hutan, misalnya, berfungsi sebagai penyedia oksigen, penahan air hujan untuk mencegah banjir, serta habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna. Jika hutan-hutan ini hilang, bencana alam seperti banjir dan longsor akan semakin sering terjadi, merusak infrastruktur, mengancam keselamatan manusia, dan membebani ekonomi dengan biaya rehabilitasi yang tinggi.

Paradoks Pertumbuhan Ekonomi

Paradoks utama yang dihadapi dalam konteks robohisasi ekonomi adalah anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat selalu harus disertai dengan pengorbanan lingkungan. Banyak pihak, termasuk pemerintah dan perusahaan, berpendapat bahwa ekspansi ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam adalah satu-satunya jalan untuk mencapai pembangunan yang cepat. Namun, pandangan ini mulai mendapatkan tantangan serius dari para ekonom ekologis dan ilmuwan lingkungan.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus selalu berbanding terbalik dengan keberlanjutan lingkungan. Negara-negara seperti Denmark dan Swedia telah menunjukkan bahwa dengan menerapkan kebijakan yang mendukung ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa menghancurkan lingkungan. Salah satu kuncinya adalah dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan mendorong ekonomi sirkular, di mana limbah dari satu industri dapat diubah menjadi sumber daya bagi industri lain.

Di sisi lain, ada pula model pembangunan ekonomi berbasis pada green economy, di mana pertumbuhan ekonomi direncanakan sedemikian rupa agar selaras dengan pelestarian lingkungan. Pada prinsipnya, green economy berusaha mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dalam setiap aspek kebijakan ekonomi, mulai dari sektor energi hingga pertanian. Ini merupakan jalan tengah yang memungkinkan kita untuk terus berkembang tanpa harus mengorbankan ekosistem yang menopang kehidupan di planet ini.

Solusi Alternatif: Inovasi dalam Kebijakan Ekonomi

Untuk mengatasi masalah robohisasi ekonomi, diperlukan inovasi dalam kebijakan ekonomi yang lebih memperhatikan keberlanjutan ekologis. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah dengan mendorong investasi dalam teknologi bersih dan terbarukan. Di Indonesia, potensi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Investasi dalam teknologi energi bersih tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan kita pada sumber daya alam yang tak terbarukan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor hijau.

Selain itu, pendekatan pajak karbon juga perlu dipertimbangkan. Pajak karbon adalah instrumen ekonomi yang bertujuan untuk menginternalisasi biaya sosial dari emisi gas rumah kaca, sehingga perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan harus menanggung biaya dari aktivitas mereka. Dengan demikian, pelaku ekonomi akan terdorong untuk mengurangi emisi karbon dan mengadopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan.

Sistem subsidi juga perlu ditata ulang. Subsidi yang selama ini diberikan kepada industri ekstraktif yang merusak lingkungan harus dialihkan ke sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan ekologis, seperti energi terbarukan atau pertanian organik. Dengan demikian, insentif ekonomi akan lebih terarah kepada pengembangan sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Menggali Peluang dari Ekonomi Hijau

Meskipun robohisasi ekonomi kerap kali dilihat sebagai cara cepat untuk meraih keuntungan ekonomi, dunia semakin menyadari bahwa pendekatan ini tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi hijau menawarkan peluang besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara bijaksana, kita bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sekaligus melindungi lingkungan.

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi sumber daya alamnya. Ekonomi hijau tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, tetapi juga menjaga kualitas hidup generasi mendatang. Negara-negara yang mengadopsi pendekatan ini juga terbukti lebih tangguh dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan guncangan ekonomi global.

Pertumbuhan ekonomi tidak harus selalu mengorbankan lingkungan. Robohisasi ekonomi, yang merujuk pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak ekologis, mungkin menghasilkan keuntungan jangka pendek, tetapi dampaknya terhadap lingkungan dan kualitas hidup manusia sangat merugikan dalam jangka panjang. Untuk itu, kita perlu beralih kepada pendekatan ekonomi yang lebih berkelanjutan, seperti green economy, yang mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dalam setiap aspek pembangunan.

Dengan kebijakan yang tepat, seperti investasi dalam teknologi bersih, pajak karbon, dan restrukturisasi subsidi, Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia dalam memadukan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan. Pilihannya ada di tangan kita: apakah kita akan terus melanjutkan robohisasi yang merusak, ataukah kita akan mengambil jalan menuju ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun