Jika kita bandingkan dengan sistem kapitalisme murni, ekonomi pasar sosial jelas menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif. Kapitalisme murni, yang mengandalkan kebebasan penuh pasar untuk menentukan alokasi sumber daya, sering kali mengabaikan dampak sosial dari ketimpangan. Di negara-negara yang menerapkan kapitalisme murni, seperti Amerika Serikat, sering kali terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara kelompok kaya dan miskin (Piketty, 2014).
Di sisi lain, sistem ekonomi sosialis---yang mengedepankan kontrol penuh pemerintah atas ekonomi---bertujuan untuk mencapai distribusi kekayaan yang merata. Namun, sistem ini sering kali mengalami kendala dalam mendorong efisiensi dan inovasi, karena kurangnya insentif bagi individu untuk berusaha dan berinovasi. Di Indonesia sendiri, kita pernah melihat penerapan beberapa elemen sosialis dalam ekonomi terencana era Orde Lama, di mana pemerintah mencoba mengontrol banyak aspek ekonomi, tetapi hasilnya adalah stagnasi pertumbuhan (Nell, 2011).
Ekonomi pasar sosial mengambil jalan tengah antara kedua ekstrem tersebut. Di satu sisi, ia mengakui pentingnya pasar bebas dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya peran negara dalam mengurangi ketimpangan dan menjamin perlindungan sosial. Negara-negara Eropa, khususnya Jerman, adalah contoh sukses bagaimana model ini dapat diterapkan untuk menciptakan stabilitas ekonomi sekaligus keadilan sosial.
Tantangan Ketimpangan dan Kemiskinan di Indonesia
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan populasi besar, menghadapi tantangan yang kompleks dalam hal ketimpangan dan kemiskinan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meski tingkat kemiskinan telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun ketimpangan pendapatan tetap menjadi masalah besar. Indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, masih berada pada level yang cukup tinggi, yaitu 0,381 pada tahun 2022 (BPS, 2022).
Salah satu akar masalah dari ketimpangan di Indonesia adalah akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Masyarakat di perkotaan umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan-layanan tersebut dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil. Selain itu, sektor informal yang masih mendominasi pasar tenaga kerja di Indonesia juga berkontribusi terhadap rendahnya upah dan perlindungan sosial bagi sebagian besar pekerja (Suryahadi, 2019).
Di sinilah ekonomi pasar sosial dapat memainkan peran penting. Dengan kebijakan yang mendorong redistribusi yang lebih adil melalui perpajakan progresif dan peningkatan akses terhadap layanan publik, ketimpangan ekonomi dapat ditekan. Namun, penerapan ekonomi pasar sosial di Indonesia tentu memerlukan penyesuaian dan reformasi yang signifikan, mengingat perbedaan konteks antara Indonesia dan negara-negara Eropa yang sukses menerapkan sistem ini.
Potensi Ekonomi Pasar Sosial di Indonesia
Potensi penerapan ekonomi pasar sosial di Indonesia terletak pada kapasitas pemerintah untuk memperkuat peran negara dalam menciptakan kesejahteraan sosial tanpa menghambat dinamika pasar. Seperti yang telah kita lihat di Jerman, intervensi pemerintah yang tepat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menekan ketimpangan.
Salah satu kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia adalah memperbaiki sistem perpajakan yang lebih progresif. Saat ini, sistem perpajakan di Indonesia masih belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi ketimpangan. Reformasi pajak yang lebih adil dan pro-rakyat miskin dapat membantu meningkatkan pendapatan negara untuk mendanai program-program sosial seperti bantuan tunai, jaminan kesehatan nasional, dan pendidikan gratis (Kornhauser, 2015).
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan yang terfokus di daerah perkotaan cenderung memperlebar kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Peningkatan akses terhadap infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan internet di daerah terpencil akan membuka peluang ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat di sana (Todaro & Smith, 2012).