Kontestasi Pemilu Serentak 2019 sebagai wujud demokrasi baru saja dilangsungkan. Tidak usai begitu saja, pemilu memunculkan sederet fenomena hiruk pukuknya demokrasi Negeri ini mulai dari saling klaim kemenangan Capres dan Cawapres (berdasarkan hasil quick count dan hitung  internal paslon) hingga korban jiwa panitia pemungutan suara.
Sebenarnya penetapan kemenangan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana terdapat dalam PKPU 5 Tahun 2019 bahwa penetapan pasangan calon terpilih jika hanya terdapat 2 pasangan calon ditentukan berdasarkan suara terbanyak oleh KPU.Â
Adapun penghitungan suara terbanyak yang menjadi dasar penentuan kemenangan berdasarkan penghitungan manual berjenjang mualai dari tingkat TPS, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga perhitungan di Tingkat Nasional. Jelas secara konstitusi kewenangan penetapan kemenangan berada di tangan KPU, lantas kenapa masing-masing paslon saling klaim kemenangan? Ada yang melalui hasil quick count dan dari hitung internal.
Quick Count hingga Klaim Kemenangan
Berdasarkan hasil quick count dari beberapa lembaga survei rata-rata memenangkan Paslon 01 dengan prosentase berkisar 53,5-55,7% atas 02 dengan perolehan prosentase 44-45,48%. Memang berdasarkan hasil tersebut Paslon 01 menang, Lain halnya dengan Paslon 02 yang mengklaim kemenangan berdasrkan perhitungan dari internal Badan Pemenangan yang tidak di buka datanya ke publik.Â
Fenomena inilah yang menjadikan seolah pemilu ini adalah Permainan Kekanak-kanakan kedua Paslon saling klaim kemenangan tidak ada yang merasa kalah. Ya mungkin Demokrasi seperti itulah Demokrasi Kekanak-kanakan. Lantas kemudian yang menjadi pertanyaan orang awam adalah bagaiman quick count itu dan validkah untuk dijadikan prediksi kemenangan?
Jika kita mempelajari sejarah quick count atau hitung cepat, sejatinya merupakan alat kontrol terhadap kemungkinan adanya kecurangan perhitungan suara resmi dan dibuat guna memprediksi hasil pemungutan suara. Para pengampu/lembaga hitung cepat tidak mengambil dari seluruh tempat pemungutan suara (TPS), namun mereka menghimpun data dari sejumlah TPS yang dijadikan sampel. Sampel-sampel ini untuk kemudian divalidasi secara statistik dan dianggap mewakili populasi pemilih sesuai kaidah ilmiah, pada kondisi ini kesalahan bisa saja terjadi yang selanjutnya disebut margin of error.
Kenyataan saat ini di Indonesia khususnya dalam kontestasi Pemilu Pilpres hitung cepat yang dilakukan lembaga survey bisa dikatakan membuat kisruh. Namun, sebaliknya hitung cepat telah membuktikan adanya kecurangan dalam Pemilu di Filipina pada tahun 1980-an. Bermula dari Marcos yang menjabat presiden Filipina sejak 1965. Jabatan presiden seharusnya paling lama diemban selama 8 tahun (dua periode).Â
Setahun menjelang pemilu 1973, Marcos menerapkan darurat militer di Filipina dan pada tahun 1973 mengusulkan konstitusi baru yang memperbolehkannya menjabat lebih dari 2 periode, merangkap Perdana Menteri serta mengendalikan Majelis Nasional. Selama menjabat korupsi, kolusi, nepotisme merebak luas di Filipina, mengekang hak berpendapat dan kebebasan pers, banyak tokoh oposisi yang dijebloskan ke penjara.
Sejak saat itu kelompok oposisi membentuk barisan hingga munculah National Citizens Movement fo Free Elections (NAMFREL) yang Independen. Pada pemilu 7 Februari 1986, Marcos dan Corazon Aquino berebut jabatan Presiden di Filipina. Carazon Aquino mengklaim kemenangannya melalui perolehan suara dari hitung cepat oleh NAMFREL.Â
Namun, di sisi lain Komisi Pemilihan Filipina menyatakan Marcos menang dengan perolehan suara yang hamper imbang. NAMFREL kemudian dapat membuktikan bahwa Aquino menang dengan perolehan suara 70%. Dari sini jelas keberadaan quick count mempunyai fungsi sebagai salah satu kontrol terhadap pemerintah terhadap kemungkinan kesalahan/kecurangan dalam perhitungan suara dan karena dilakukan melalui metode/ kaidah ilmiah tentu kevalidannya dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu faktor pendukung yang dapat memunculkan berdirinya lembaga survei adalah ketersediaan dana untuk pembiayaan operasional dalam riset. Kepentingan riset dan pendanaan kerap menjadi tumpang tindih, di sisi lain mereka hadir sebagai lembaga riset yang harus menjunjung tinggi kaidah-kaidah ilmiah, di sisi lain mereka membutuhkan gelontoran dana untuk pelaksanaan riset.Â
Ironinya hingga sekarang lembaga-lembaga survey enggan untuk terbuka mengenai sumber dana risetnya. Sebagian dari mereka tidak mau buka-bukaan karena lembaga survei lain juga tidak terbuka soal penyandang dana. Mungkin inilah yang menjadi kesangsian masyarakat kebanyakan, bisa saja lembaga survey berafiliasi dengan salah satu pasangan calon. Namun pandangan positif terhadap lembaga survey sangat perlu sebab di dalamnya dinahkodai oleh orang-orang terdidik untuk selalu menjaga dan menjunjung tinggi kaidah-kaidah ilmiah.
Salah Input Data KPU dan Dugaan Kecurangan
Dari anggapan tentang quick count muncul lagi dugaan Kecurangan yang dilakukan oleh KPU. Kejadian ini sempat menjadi perbincangan, bermula dari kesalahan input data C1 di Situng  KPU. Situng merupakan system perhitungan yang dilakukan KPU dengan cara menscan dan mengupload form C1 di setiap TPS guna menanpilkan hitung suara atau real count berdasarkan form C1.Â
Walaupun demikian, situng bukan sistem penghitung yang menjadi dasar penentapan suara terbanyak dalam Pemilu, perhitungan suara resmi tetap mengacu pada perhitungan berjenjang dimulai dari tingkat TPS. Dikutip dalam Liputan6 setidaknya terjadi kekeliruan entri 105 kali, 26 dari laporan masyarakat dan 79 merupakan hasil monitoring dari internal KPU. KPU mengakui adanya human error artinya keasalahan entri tersebut bukan suatu hal kesengajaan. Kesalahan input sebenarnya terjadi untuk kedua pasangan calon namun kebanyakan terjadi pada Paslon 02.
Munculnya human error jelas membuat sanksi masyarakat terhadap KPU dan mejadi catatan dan evaluasi bagaimana proses entri data hingga dapat dipublish menjadi konsumsi public (masyarakat). Dalam sebuah sistem IT wajarnya ada sebuah teknik pratinjau sebagai upaya koreksi/antisipasi kesalahan baik human error maupun data corrup sehingga data dipublish sudah benar dan sempurna serta keresahan masyarakat pun tidak terjadi.
Ketidakshahihan datapun memunculkan ujaran kerja KPU kurang professional, KPU memihak salah satu calon hingga memunculkan real count yang dilakukan Tim/Badan Kemenangan kedua Paslon dan sampai dibentuknya Tim Pencari Fakta Kecurangan oleh salah satu kubu Paslon.
Cita-cita demokrasi tidak lain mensejahterakan seluruh rakyat. Rakyat dalam Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia berada pada posisi yang amat penting, hal ini dikarenakan dalam proses pelaksanaan sistem demorasi tersebut masyarakat dilibatkan sepenuhnya. Suara rakyat memang sakral dalam kehidupan berdemokrasi, dengan adanya hal-hal tersebut kesakralan seolah berubah menjadi suara rakyat yang serak dan fals. Konteks pemilu, peran masyarakat telah diamanatkan dalam undang-undang, sebagaimana tertuang pada pasal 448 Undang-Undang Pemilu Tahun 2017 ayat 1 disebutkan bahwa pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
Upaya pelibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu patut diapresiasi, mengingat bahwa pemilu merupakan sarana dari pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, serta presiden dan wakil presiden.Â
Pelibatan masyarakat dalam pemilu tentu merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta upaya memperbaiki kualitas pelaksanan pemilu. Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang diamanatkan oleh undang-undang untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu dari segala kemungkinan kecurangan dan terus berupaya membangun kekuatan bersama, menuju pelaksanaan pemilu yang jujur, adil dan berkualitas.
Boros Nyawa
Guna peningkatan kualitas demokrasi dan efisiensi Pemilu 2019 kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini dilakukan secara serentak (baca: Pemilu Serentak 2019). Dikatakan serentak karena pemilihan legislatif (DPR RI; DPRD Provinsi; DPRD Kab./Kota dan DPD) dan pemilihan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilakukan sekaligus. Pada pemilu sebelumnya (tahun 2014) pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dibarengkan dengan pemilihan legislatif.Â
Sebenarnya pemilu serentak pernah direncanakan akan dilakukan di tahun 2014 namun, kala itu pemilu 2014 sudah direncanakan terpisah maka jika dipaksakan dikhawatirkan akan terjadi kekacauan. Selain hal tersebut pemilu sertentak diperlukan payung hukum dan waktu itu belum adanya payung hukum serta untuk mewujudkannya butuh waktu yang tidak sedikit dan sulit jika dipaksakan di pemilu 2014.
Pemilu Serentak dilakukan bukan tanpa tujuan salah satunya adalah penekanan/ penurunan biaya Pemilu. Di benak para konseptor barangkali hanya betapa besar biaya yang dapat dipangkas selain efektivitas waktu penyelenggaraan sangat disayangkan hajat demokrasi akan banyak merenggut korban jiwa.
Di lihat dari honor petugas pemilu di perkirakan terjadi efisiensi anggaran 50%, biaya pemutakhiran DPT dapat dipangkas karena hanya dilakukan satu kali saja. Kemudian ada yang berbeda lagi dari pemilu 2019 yakni penggunaan kotak suara berbahan karton kedap air yang dapat memangkas biaya hingga 70% dan penghematan biaya dari segi fasilitas kampanye para calon anggota dewan, KPU sendiri memberi pembatasan fasilitas hanya 3 kali dari 10 kali fasilitas kampanye yang diperbolehkan undang-undang.
Penghematan biaya besar-besaran, harus ditebus dengan banyaknya korban jiwa dalam pelaksanaan pemilu. Alih-alih menekan biaya pemilu, di sisi lain pemborosan nyawa. Demi terlaksananya Pemilu 2019 setidaknya 91 orang tewas yang tersebar di 16 wilayah seluruh Indonesia yang sakit mencapai 374 orang tersebar di 20 wilayah Indonesia.Â
Penyebabnya tidak lain adalah karena faktor kelelahan. Tiap TPS mempunyai DPT rata-rata 150-250-an orang yang artinya setiap petugas di TPS menghitung 750--1250 kali surat suara. Panjangnya proses persiapan hingga perhitungan suara sangat menguras energy yang berujung pada kelelahan. Dari hal ini terlihat kurangnya pertimbangan dari penyelenggara dalam hal teknis pemungutan suara di tingkat TPS. Kemudian dalam hal teknis lain penyelenggara kurang mengatasi minimnya informasi seputar Calon Legislatif kepada pemilih karena pemilih lebih berfokus pada Pilpres.
Pemilu Era Teknologi
Dari berbagai polemik dan kendala yang ada di lapangan kiranya perlu adanya evaluasi baik mengenai proses (teknis) maupun sistem guna peningkatan kualitas demokrasi dan mewujudkan cita-cita demokrasi yang mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Di tengah maraknya perkembangan teknologi, mungkin boleh digital-voting mulai dikembngkan sehingga nantinya menjadi solusi Pemilu di Indonesia.
Memang mewujudkannya membutuhkan segala sesuatu yang tidak mudah mulai dari pembuatan data base pemilih, sistem, dan pengamanan digitalnya. Dengan upaya dan usaha yang keras dari pemangku kebijakan tentunya solusi tersebut bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Penggunaan digital-voting setidaknya akan mempermudah proses pemilu mulai dari pemungutan suara, perhitungan suara sampai perekapan suara karena semuanya dilakukan secara elektronik.
Masa-masa perayaan demokrasi ini marilah kita menjadi rakyat yang cerdas dan mencerdaskan dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, tidak mudah tergerus opini/pemberitaan sesat yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Menunggu pengumuman pilpres berdasarkan konstitusi yang ada karena sejatinya Pemilu (khususnya Pilpres) bukan sekadar menang-kalah, kemajuan dan cita-cita luhur bangsa keadilan, kesejahteraan, kemakmuran bangsa lebih utama serta semua itu hanya dapat terwujud apabila rakyatnya menggunakan alat pikirnya dengan bertindak cerdas.
Teruntuk para mereka yang gugur sebagai akibat kontestasi demokrasi sekiranya LAYAK kita sebut sebagai pahlawan Demokrasi dan sebagai bentuk memanusiakan manusia dengan cara yang manusiawi, mereka sangat patut dan LAYAK mendapatkan santunan yang LAYAK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H