Mohon tunggu...
Syaifudin UNJ
Syaifudin UNJ Mohon Tunggu... -

Bagian dari rakyat yang berusaha menjadi pengamat kebijakan dan pelayan publik di negeri ini...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Globalisasi: Perkembangan dan Implikasinya*

14 September 2012   17:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27 11401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank Dunia, IMF dan WTO menyebut kebijakan ekonomi yang mereka lakukan dengan istilah “reformasi ekonomi”. Istilah “reformasi ekonomi” yang diberlakukan pada negara-negara yang mengalami kesusahan tidak lain sebenarnya merupakan “pembunuhan” terhadap negara-negara tersebut. Sistem “pasar bebas” yang mereka lakukan dimanipulasi, perjanjian WTO justru memberikan hak istimewa dan berlebih kepada para konglomerat terbesar di dunia keuangan maupun industri, serta mengendalikan kemampuan pemerintah nasional dengan mengatur perekonomian negaranya. Program yang dilakukan IMF memacu pemerintah negara yang mengalami kesusahan memprivatisasi besar-besaran “kue ekonomi” mereka, melakukan liberalisasi pasar dan menghemat pengeluaran yang terkait kesejahteraan sosial masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.

Pasar bebas yang diterapkan justru identik dengan kemiskinan manusia, kerusakan alam dan lingkungan, apartheid (Afrika), rasisme dan perselisihan antar etnis, mengabaikan hak-hak perempuan, dis-lokasi ekonomi, pemindahan paksa atau penggusuran dan pengungsian, petani gurem, pabrik harus ditutup akibat bangkrut dan kehilangan pekerjaan yang menyebabkan pengangguran.  Lebih lanjut Michele Chossudovsky menuduh IMF dan Bank Dunia telah mendukung penggunaan kekayaan global yang dilakukan oleh para spekulan melalui mekanisme manipulasi pasar mata uang dan komoditas. Parahnya, data statistik ekonomi dimanipulasi sendiri untuk menunjukan bahwa kebijakan yang mereka lakukan bekerja sesuai dengan yang seharusnya.

Legitimasi reformasi “pasar bebas” bersandar pada ilusi serta ditopang melalui manipulasi secara terang-terangan melalui data ekonomi dan sosial yang termasuk bagian angka pada kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan bahwa 18 persen dari dunia ketiga adalah sangat miskin dan 33 persen adalah miskin. Dalam studi Bank Dunia, garis kemiskinan global secara sewenang-wenang ditetapkan pada pendapatan per kapita sebesar US $ 1 per hari. Sedangkan yang berpendapatan diatas US $ 1 per hari dianggap sebagai “tidak miskin”.

Melalui manipulasi data statistik pendapatan kotor, Bank Dunia melayani tujuan yang berguna mewakili orang miskin di negara berkembang sebagai kelompok minoritas. Bank Dunia, misalnya memperkirakan bahwa di Amerika Latin dan Karibia hanya 19 persen dari populasi negara tersebut adalah ‘miskin’, sebuah distorsi kotor ketika kita mengetahui bahwa fakta di negara-negara bagian Amerika (dengan pendapatan per kapita tahunan lebih dari US $ 25.000) didefinisikan oleh Biro Sensus Amerika berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini merupakan penilaian subjektif dan bias yang dilakukan, terlepas dari kondisi aktual pada masing-masing negara. Dengan liberalisasi pasar komoditas dalam negeri, harga bahan makanan pokok di negara berkembang telah mengalami kenaikan. Standar satu dolar per hari tidak memiliki dasar rasional, hal ini bisa terlihat pada kelompok populasi di negara berkembang walaupun memiliki pendapatan per kapita 2,3 atau bahkan 5 dolar per hari tetap dikategorikan miskin (karena mereka tidak dapat memenuhi pengeluaran dasar pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan).

Di sisi lain, UNDP (salah satu organisasi PBB yang menangani program pembangunan) merancang ‘Indeks Kemiskinan Manusia’ (Human Poverty Index / HPI) berdasarkan dimensi kekurangan yang paling mendasar, yaitu: rentang lamanya hidup, pendidikan dasar dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesejahteraan. Perkiraan kemiskinan yang diajukan oleh UNDP menggambarkan pola yang lebih menyimpang dan menyesatkan daripada yang dilakukan oleh Bank Dunia. Hal ini dapat dilihat bahwa 10,9 persen dari populasi penduduk Meksiko dikategorikan oleh UNDP sebagai ‘miskin’. Kenyataannya, situasi yang diamati di Meksiko selama dua puluh tahun terakhir terjadi pengangguran massal, lumpuhnya pelayanan sosial, pemiskinan petani kecil dan penurunan secara dramatis dalam pendapatan riil yang dipicu oleh devaluasi mata uang secara berturut-turut.

Parahnya dampak dari hal tersebut membuat negara-negara berkembang mengalami beban hutang yang terus meningkat secara signifikan. Jumlahnya pada tahun 1970 berkisar 62 milyar dolar Amerika, kemudian meningkat tujuh kali lipat pada tahun 1980 menjadi 481 milyar dolar Amerika lalu pada tahun 1998 jumlah utang ini meningkat 32 kali lipat menyentuh angka 2 trilyun dolar Amerika. Hal ini terjadi karena lembaga-lembaga pendanaan internasional seperti IMF dan Bank Dunia berusaha terus untuk mengelola utang-utang tersebut yang ditujukan untuk mengarahkan agar negara-negara peminjam secara formal terus berada dalam jeratan utang.

Melalui berbagai macam rekayasa sistem keuangan dan pengelolaan utang, pembayaran dirancang untuk ditangguhkan kemudian secara paksa menawarkan sistem-sistem pembayaran baru yang dibuat secara menarik. Strategi untuk tetap menjerat negara-negara berkembang dengan utang adalah untuk menghalangi negara-negara tersebut membuat kebijakan ekonomi yang mandiri. Jika negara-negara berkembang tidak mau menerima kebijakan tawaran keuangan maka dapat dipastikan negara tersebut akan menghadapi masalah yang sulit dalam melunasi hutangnya atau memperoleh pinjaman baru serta tidak akan memperoleh bantuan internasional. Selain itu negara tersebut pun akan dimasukkan dalam daftar hitam negara yang tidak patuh terhadap aturan dari lembaga-lembaga tersebut. Kondisi ini ibarat rentenir atau “lintah” penghisap darah sampai si korban lemas tidak berdaya karena banyaknya darah yang dihisap oleh sang “lintah”.

Dengan katalain globalisasi merupakan penaklukan suatu negara terhadap negara lain bukan dengan jalan “peluru”, akan tetapi melalui jalan pemberian pinjaman “kertas bernilai (baca:uang)”. Setiap bangsa yang menderita dipaksa harus bertahan sampai mereka menerima manfaat dari globalisasi. Pembatasan investasi luar harus dihilangkan, dilakukan privatisasi fasilitas bersama milik negara, dan pekerja tidak di-PHK tetapi upah mereka dikurangi. Mata uang lokal di negara-negara yang menjadi “korban” sistem pinjaman hutang, pada akhirnya harus menyesuaikan dengan dolar Amerika, yang memiliki dampak spiral inflasi yang sangat intens. Ketika inflasi, hasilnya rakyat tingkat bawah mengalami tekanan yang meningkat, termarjinalkan atau dilanda kelaparan serta tidak berdaya. Pada akhirnya kerusuhan sipil tidak terelakkan, karena hal tersebut bukanlah pilihan.

Chossudovsky menggambarkan beberapa kasus di berbagai negara di dunia yang terkena dampak dari produk globalisasi berupa “pinjaman hutang”, sebagai berikut:

Vietnam: Ada perang baru setelah perang senjata di Vietnam yaitu perang yang tercipta dari konsumerisme gaya barat di Saigon dan Hanoi yang bertolak belakang dengan kondisi kelaparan di tingkat lokal dengan kenaikan harga pangan yang tinggi yang pada akhirnya reformasi ekonomi yang dilakukan oleh IMF gagal menciptakan pemerataan. Justru yang terjadi adalah perkembangan ekonomi yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi sebaliknya sebagian besar masyarakat Vietnam tidak menikmati kondisi tersebut. Perang antara penduduk kota dan desa yang diakibatkan harga kebutuhan pangan meningkat tajam/tinggi, terjadi kelaparan ditingkat desa, PHK dengan skala masif oleh pekerja di sektor industri. Setelah perang senjata Vietnam mendapatkan pinjaman dari IMF yang tujuannya untuk perbaikan pasar ekonomi Vietnam sebesar 1,88 miliar dollar pinjaman diberikan setelah Amerika membuka embargo terhadap Vietnam oleh kelompok negara-negara donor yang istilahnya disebut “Paris Club”. Persoalannya adalah disatu sisi IMF memberikan pinjaman hutang, kemudian IMF menagih hutang yang digunakan Vietnam Selatan untuk membiayai perang yang oleh Michele Chossudovsky disebut dengan istilah “hutang yang buruk”.

Kemudian Chossudovsky menegaskan akan ketakutan serta kecurigaan mengenai kembalinya kolonialisme dan perbudakan ekonomi. Tanpa bayangan keraguan, bahwa ada kampanye yang disengaja dan sistematis “genosida ekonomi” terhadap Afrika dan seluruh negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Investasi pada akhirnya benar-benar tidak lebih dari ‘pengupasan aset’ yang dimiliki oleh negara-negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun