Dari ketinggian sudah mulai terasa saya memasuki teluk Kao yang indah dilihat dari puncak. Sebelah kiri, saya melihat panorama gugusan perbukitan tinggi di wilayah Jailolo puncak. Pemandangannya mirip wilayah Ketep Magelang yang memisahkan Gunung Merbabu dan Merapi di propinsi DI Yogyakarta. Atau mirip dengan pemandangan pegunungan dari Pacet menuju Batu Malang. Dingin, gelap dan berkabut di kejauhan.
Di ujung pandang sebelah kanan saya melihat teluk Kao yang terlihat indah. Panorama biru langit, hijau pepohonan dan biru laut sepanjan garis pantai menciptakan lukisan alam yang menakjubkan. Saya berhenti sejenak di saat matahari sudah mulai panas. Meskipun matahari mulai memanggang, panasnya dikalahkan belaian angin dan pemandangan indah di semua arah.
Rencananya awalnya, naik angkutan mobil trans Halmahera, sebab medannya sulit. Tempat peristirahatan jauh, pom bensin sedikit, kampung kampung berjauhan selebihnya adalah hutan, pegunungan dan kawasan pantai yang indah, pada ketinggian maupun dataran rendah. Tidak aman, bagi yang belum pengalaman membedakan medan.
 Bisa saja terjadi muncul kejadian tidak terduga, karena lintasan perjalanan adalah wilayah konflik agama yang membara. Bara api yang tertutup sekam kehidupan memunculkan banyak hal tak terduga. Konflik agama mudah disulut dan diprovokasi. Tapi ahirnya saya tetap memutuskan perjalanan sendiri dengan sepeda motor supra.Â
Menantang karena belum banyak yang melakukan. Menyenangkan karena bebas menentukan kecepatan, kapan jalan, kapan berhenti, kapan melaju pelan, kapan menikmati pemandangan. Leluasa mengambil gambar dan memanjakan mata dengan panorama.
Jalanan terjal dan berkelok kelok, banyak tanjakan dan pada ketinggian tertentu jalanan sepi dan kabut melayang di sana sini. Perkampungan sepanjang jalanan bagaikan mozaik selang seling perkampungan muslim dan nasrani yang sangat mudah ditandai dari tempat ibadah dan simbol simbol agama.Â
Gereja dan masjid dibangun megah, sangat menonjol sebagai penanda identitas keagamaan. Juga adanya salib yang terjajar rapi, kadang mistis, ikonik di sepanjang jalan yang dilalui mulai Dodinga, Kao, Malifut hingga Tobelo. Salib besar dan kecil ditata meriah, mewah dan warna warni kadang ungu kadang putih, meski tak sedikit yang menampilkan dalam cara indah dan sederhana. Hari itu selesai upacara Pasca, simbol simbol ritualnya masih belum disimpan.
Malifut nampaknya paling ramai dibandingkan desa desa sebelum dan sesudahnya. Pada saat saya melintas, perjalanan dialihkan oleh petugas ke jalan lain karena sedang ada pawai keagamaan Islam.Â
Simbol simbol dan semangat keagamaan di lintasan perjalanan Shofifi Tobelo, mudah mudahan adalah menguatnya spiritualitas masyarakat Maluku kieraha.
Jam 12.00 sampai di Tobelo. Shofifi Tobelo dicapai dalam waktu empat jam, sudah termasuk berhenti di beberapa titik untuk swafoto dan menikmati panorama Halmahera, nusantara belahan utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H