Menghikmati Bogor, saya membayangkan Kendari dan kota lainnya di Sulawesi Tenggara. Hutan Bogor terawat rapi. Bukit-bukitnya ditumbuhi teh yang menjadi sumber kehidupan. Jalanannya rapi dan kuat. Kotanya tertata, indah, dan menawan. Tentunya, di sini, juga banyak kelebihan yang pantas dibanggakan. Akan tetapi, biarlah masyarakat dan yang melancong ke sini, melihat dan merasakannya. Meski, tentunya, di Bogor bukan keindahan melulu yang ada. Sebab saya yakin, setiap kota masing-masing memiliki sisi-sisi baik dan buruknya.
Sekitar jam sepuluh malam, 6 Agustus 2009, saat mengerjakan tugas menulis esai, saya mendapat pesan pendek dari Raudal Tanjung Banua, menyusul pesan serupa dari Hasan Al Banna bahwa sastrawan besar Indonesia, W.S. Rendra telah kembali ke haribaan Ilahi. Saya tertegun sesaat dan sadar bahwa manusia pasti mati. Dan si Burung Merak yang menegaskan sebuah pernyataan di usianya yang ketujuh puluh di TIM 2005 silam bahwa saya ingin jadi tokoh historis bukan mitologis ini pun, akhirnya berpulang juga.
Pagi harinya, udara bertambah dingin saja. Rasa duka dan kehilangan menghiasi wajah peserta Mastera. Sastrawan yang getol mengkritik kekuasaan yang lalim dan membantu kaum tertindas ini, berpulang dalam usia 74 tahun. Sebagai sastrawan besar, ia tak pernah "pergi" karena karyanya selalu dibicarakan. Suasana sepi. Kegiatan sesaat lengang. Ia adalah penyair yang dirindukan dan esais yang disayangi. Ia adalah dramawan besar dan banyak melahirkan generasi teater mumpuni. Salah satu kata-katanya yang sangat terkenal ialah "Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi. Hidup adalah perjuangan dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Hari ini, banyak orang yang "berjuang" tapi tidak sesuai dengan kata-katanya, bertentangan dengan janji-janjinya. Begitu pula kota dan provinsi saya, Kendari dan Sulawesi Tenggara, janji-janji diobral sedemikan rupa, sehingga setiap sudut kota dipenuhi baliho kata-kata dan wajah-wajah tersenyum ramah sekaligus menjengkelkan. Kota dan provinsi ini sepertinya dibangun dengan kata-kata belaka.
Sabtu, 7 Agustus 2009, Mastera Esai 2009 ditutup. Sejenak kami mengheningkan cipta dan berdoa untuk sang maestro, Mas Willy. Agus R. Sarjono tidak mengikuti penutupan karena pagi-pagi sekali harus melayat ke rumah duka. Ingin rasanya saya ikut bersamanya ke sana. Saya jadi ingat lakon "Sobrat" yang disutradarainya bersama BTR di TIM tahun 2005 silam. Karya Artur S. Nalan tersebut ia tambahi sebuah dialog sang ibu yang sangat mengesankaan saya dan tak terlupakan, "Ingat Sobrat, para nabi tak pernah berjudi, para nabi tak pernah berjudi". Dialog itu amat menyentuh dan mengingatkan saya pada perilaku para pejabat negeri ini.
Peserta dari Brunai dan Singapura pulang kembali ke negaranya. Kami dari Indonesia kembali ke kampung halaman masing-masing. Salah satu tugas berat kami adalah menulis esai dengan benar dan benar-benar menjadi penulis esai, kata Mas Agus. Saya sendiri tidak tahu, apakah nanti akan menjadi esais atau tidak. Di atas dari semua itu, kami harus kritis kepada penyimpangan kekuasaan, korupsi, kebohongan, pengurasan sumber daya alam, kepongahan, serta  kemerosotan nilai. Upaya menjunjung tinggi kemanusiaan, berpihak pada yang tertindas, mendorong keberadaban, menghormati nilai-nilai universal, saling menyintai, dan tidak saling memusuhi adalah amanah kami yang lain. Sebuah amanah yang super berat, tentunya. Seberat memikul utang negara dan kemiskinan akibat korupsi.
Kami pun tinggalkan Bogor. Di dalam pesawat, di udara, saya masih yakin dengan pesan Rasulullah di atas. Ah, Bogor begitu mengesankan. Hijau teh, udara dingin, sampai maut yang menjemput Mbah Surip dan Rendra. Saya terkesima esai Emha Ainun Najib di sebuah harian yang saya baca di atas pesawat yang melaporkan saat-saat berpulangnya Mas Willy. Beberapa hari sebelum meninggal, beliau sempat bertanya pada Cak Nun, "Nun, kapan aku di bawa pulang". "Dibawa ke mana, Mas, jawab Cak Nun. "Dibawa ke Bengkel di Cipayung. Karena di sanalah rumahku, hutanku, kuburanku". Saya menarik nafas dalam-dalam. Pesawat akan segera mendarat.
Saya mengingat lagi cahaya terang dari Jakarta sampai senja kemerahan ketika tiba di Bandara Wolter Monginsidi kini. Menakjubkan, pesawat mendarat disambut gemuruh suara azan. ***
Syaifuddin Gani adalah penulis kelahiran Salubulung, Mambi, Sulawesi Barat, 1978. Menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Polewali dan Universitas Haluoleo Kendari tahun 1997 dan 2002. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Buku Puisi tunggalnya Surat dari Matahari (KomodoBooks, 2011) masuk dalam daftar lima besar Anugerah Puisi Cecep Syamsul Hari 2010-2011. Tahun 2008 menikah dengan Ita Windasari di Tarakan, Kaltim, dan dikaruniai seorang anak Muhammad Faiz Raihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H