Mohon tunggu...
Syaifuddin Gani
Syaifuddin Gani Mohon Tunggu... Editor - Syaifuddin Gani lahir di Salubulung, Polmas, Sulbar 1978. Kini tinggal di Kendari. Bergiat di Teater Sendiri, mengelola Pustaka Kabanti Kendari, dan berkantor di Kantor Bahasa Prov. Sulawesi Tenggara sebagai peneliti.

Syaifuddin Gani lahir di Salubulung, Polmas, Sulbar 1978. Kini tinggal di Kendari. Bergiat di Teater Sendiri, mengelola Pustaka Kabanti Kendari, dan berkantor di Kantor Bahasa Prov. Sulawesi Tenggara sebagai peneliti.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Konawe, Pintu yang Terbuka

16 Mei 2017   11:59 Diperbarui: 16 Mei 2017   12:40 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

: Untuk Firman Venayaksa

Di Konawe, pintu-pintu selalu terbuka

Menganga dan mengulum yang terluka

Siapa yang bertandang, disongsong aduhan gong

Oleh tangan tak nampak, oleh hati tak berjarak

Di Konawe, jendela-jendela selalu terjaga

Sebab di sini, masih terdengar suara tetangga

Darah dan gembira masih satu rumah

Sesiapa bernafsu ganjil, di leher kerbau, syahwatnya terjagal

Jika luka leleh, dicuci di arus Sungai Konaweeha

Menjelma pohon-pohon abadi di hutan Lambuya

Jika pisau hunus, menjelma air doa-doa

Menjadi ketabahan Yunus di lingkar Kalosara

Dingin api di mulut Pabitara

Tetapi jika aib terburai, kampung ditangisi sembilan sungai

Semua diam, luka jadi mendiang, berdarah dalam penyembelihan

dalam penyaliban Mosehe Wonua

Kawan, engkau tertawan di sungai Nun

Engkau bidik hilir, di lensamu sungai diseberangi Hidir

Kita terpana purnama segi empat, sebuah alamat

Lensamu takluk di isyarat yang tak tampak

Di langit Konawe, negeri serupa alam hikayat

Wahai jika ada yang bertandang

Orang Tolaki molulo, mengekalkan kedatangan

Bergenggaman jari-jari, bersahutan mata kaki

Mata dan tubuh beradu dalam rakaat gerak

Kelenjar syahwat memuih bersama dengusan keringat

Lenguhan gulita memekat, merajam malam yang sekarat

Seumpama bumi andaikan matahari

Merayakan hari Penciptaan

Wahai jika ada yang pergi

Pongasih amsal kepahitan sang kekasih, kebeningannya yang tandas, mengair jadi rasa belati

Direguk, mengabadikan kehilangan

Tapi di tiap pertemuan dan perjamuan

Namamu disebut sebagai Oheo sebagai Anaway

Menjelma Oanggo, lagu abadi dalam darah dalam sejarah Konawe

Di hari penciptaan Konawe, bumi leleh

Oheo kekalkan silsilah cintanya menjadi syair pedih Pabitara

Anaway awetkan perawan dan rajah tubuhnya menjadi bandul Kalosara

Meski tubuh dan darah, memutih memerah, di anyir silsilah, di kesumat sejarah

Agar di Bumi Konawe, sirna burai barah, doa darah, selamanya

Konawe, 24 Juni 2013

Kalosara: Simbol adat Suku Tolaki dalam bentuk lingkaran rotan

Pabitara: Juru bicara dalam pernikahan atau ritual adat lain

Mosehe Wonua: Ritual “mencuci” kampung

Molulo: Tarian khas Suku Tolaki

Oanggo: Sastra lisan Suku Tolaki

Pongasih: Minuman khas Suku Tolaki dari sulingan air beras

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun